Dikhianati oleh pria yang ia cintai dan sahabat yang ia percaya, Adelia kabur ke Bali membawa luka yang tak bisa disembuhkan kata-kata.
Satu malam dalam pelukan pria asing bernama Reyhan memberi ketenangan ... dan sebuah keajaiban yang tak pernah ia duga: ia mengandung anak dari pria itu.
Namun segalanya berubah ketika ia tahu Reyhan bukan sekadar lelaki asing. Ia adalah kakak kandung dari Reno, mantan kekasih yang menghancurkan hidupnya.
Saat masa lalu kembali datang bersamaan dengan janji cinta yang baru, Adelia terjebak di antara dua hati—dan satu nyawa kecil yang tumbuh dalam rahimnya.
Bisakah cinta tumbuh dari luka? Atau seharusnya ia pergi … sebelum luka lama kembali merobeknya lebih dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meldy ta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Racun Rumah Tangga
"Semalam kamu tidur di luar ya, Ren?" tanya Ny. Jonathan dengan sengaja meskipun ia sudah tahu segalanya.
"Iya, Bu. Rumah temen. Kebetulan Reno karena kelamaan main sama temen kuliahan dulu," jawab Reno dengan cepat sambil melirik ke arah Emma.
"Oh ... yaudah lain kamu jangan lagi tinggalin Karin tidur sendirian. Nggak baik loh."
"Iya nggak, Bu."
"Oh ya, Emma. Nanti kamu jadi kan belanja ke butik yang Tante bilang itu loh kemarin, jadi?"
"Jadi, Tan. Rencananya nanti agak siangan mungkin. Reno, anterin aku ya."
"Jangan dong, Emma. Nanti biar supir Tante aja yang anterin kamu. Soalnya di kantor lagi sibuk banget sekarang. Tahu sendiri karena permasalahan Reyhan sama wanita itu."
"Yaudah gapapa kok, Tan." Emma terdiam, namun ia berpikir sesuatu. 'Apa mungkin semalam ada yang tahu saat kami lagi berduaan?'
Reno dan Emma berjalan di meja makan pagi itu seolah tak pernah terjadi apa pun. Keduanya duduk berdampingan, sesekali kembali melanjutkan obrolan ringan tentang berita di koran atau gosip terbaru dari dunia bisnis. Ny. Jonathan duduk di seberang mereka dengan anggun, menyisipkan teh sambil memantau keduanya.
"Emma, selama kamu belum kembali ke rumahmu, anggap saja rumah ini tempatmu beristirahat," ujar Ny. Jonathan. "Kau seperti keluarga di sini."
Emma tersenyum lembut. "Terima kasih, Tante. Aku merasa seperti di rumah."
Reno menahan tawa kecil. "Tentu saja, Emma. Kau selalu tahu caranya bersikap manis."
"Itu sudah pasti, Tan. Malam ini Tante akan suruh Reyhan untuk menginap di sini. Dia mulai jarang pulang karena perempuan itu."
Ucapan itu seketika membuat Reno melirik tajam ke arah Emma.
Di lantai atas, Karin berdiri di depan cermin. Ia mendengar semuanya. Wajahnya datar, tanpa emosi. Tapi dalam hatinya, ia sudah menyusun rencana.
Malam ini, ia akan menghubungi pengacaranya. Ia sudah tidak tahan lagi hidup dalam kebohongan ini. Ia menikahi Reno demi keluarga dan uang, tapi bahkan harga diri pun punya batas.
Sementara itu, di rumah kecil mereka, Adelia mulai menyadari sesuatu. Reyhan jadi lebih sering melamun. Tatapannya sering kosong, dan senyumnya tidak sedalam biasanya.
Suatu malam, ketika mereka sedang membereskan dapur setelah makan malam, Adelia menyeka tangannya dengan handuk lalu berkata, "Rey, kamu berubah."
Reyhan menoleh. "Berubah gimana maksudmu? Haruskah kita bahas ini lagi?"
"Kamu jadi lebih jauh. Lebih ... diam. Dan aku nggak bodoh. Aku tahu ada yang kamu sembunyikan. Maaf, tapi dadaku masih sangat sesak."
Reyhan menarik napas panjang. "Aku harus jujur. Emma kembali. Dan dia sekarang tinggal di rumah itu."
Adelia menegang. "Tinggal?"
"Ibu yang minta. Aku juga nggak nyaman, tapi aku nggak bisa melarang." Reyhan mengusap wajahnya. "Aku harus jujur karena aku nggak mau kamu dengar dari orang lain."
"Itu aja?" tanya Adelia, menatap langsung ke matanya.
Reyhan diam.
"Rey, kalau kamu mau aku percaya, kamu juga harus jujur sepenuhnya. Jangan separuh-separuh."
"Itu aja yang bisa kukatakan sekarang."
Adelia memutar badan, berjalan ke kamar sambil menahan air mata. Tapi bahkan sebelum Reyhan bisa menyusulnya, sebuah pesan masuk ke ponsel Adelia.
Sebuah unggahan media sosial dari akun fashion yang tidak ia ikuti, menampilkan kenangan lama Reyhan dan Emma. Tidak ditandai, tapi jelas—wajah Reyhan yang tersenyum memandang Emma di salah satu acara luar negeri.
Adelia membeku. Di pagi berikutnya, mereka bertengkar.
"Apa aku ini cuma pelarianmu, Rey?!" Adelia menangis di ruang tamu.
"Enggak! Kamu bukan pelarian!"
"Tapi kamu juga nggak bisa bilang kamu sudah lepas sepenuhnya dari dia! Kamu bahkan masih simpan gantungan kunci dari dia di mobilmu!"
Reyhan terdiam. Napasnya berat.
"Kamu nggak tahu rasanya jadi aku. Selalu dibandingkan dengan bayangan perempuan yang bahkan belum pernah aku kenal. Aku berjuang sendiri, Rey."
"Aku tahu. Dan aku salah. Tapi aku juga manusia, Del. Aku pernah jatuh. Aku pernah kehilangan. Tapi aku memilih kamu sekarang."
"Tapi apakah kamu milih aku karena aku hamil ... atau karena kamu benar-benar mau hidup sama aku?"
Reyhan menatap matanya dalam. "Aku memilih kamu ... karena aku ingin. Bukan karena aku harus."
Mereka sama-sama terdiam. Hujan mulai turun di luar rumah. Reyhan memegang tangan Adelia, menariknya pelan ke pelukannya.
"Kita nggak sempurna. Tapi aku tahu aku nggak mau kehilanganmu."
Adelia menyandarkan kepalanya di dada Reyhan. "Aku butuh waktu, Rey. Bukan buat marah ... tapi buat yakin. Aku cuma ingin tahu kalau aku dipilih, bukan cuma diselamatkan."
Dan malam itu, mereka berpelukan di bawah suara hujan. Tidak bicara apa-apa lagi. Tapi keduanya tahu, cinta yang mereka bangun sedang diuji oleh masa lalu yang belum benar-benar selesai.
Namun, ketenangan itu kembali terganggu beberapa hari kemudian, saat Ny. Jonathan datang diam-diam ke rumah Adelia. Wanita itu datang tanpa Reyhan, dengan tatapan dingin dan senyum tipis yang tak bisa ditebak.
"Aku akan berbicara sebentar saja," katanya, duduk di ruang tamu tanpa dipersilakan.
Adelia berdiri kaku.
"Aku tahu kau wanita keras kepala," lanjut Ny. Jonathan. "Tapi kadang, cinta harus tahu kapan berhenti menjadi beban."
Ia menyodorkan sebuah map. Di dalamnya, ada surat perjanjian dan angka yang tak sedikit.
"Pergilah sebelum anak itu lahir. Sebelum semuanya makin rumit. Kau akan mendapat kehidupan yang nyaman. Apartemen, tabungan, bahkan jaminan untuk anakmu. Tapi jangan lagi menyeret Reyhan ke dalam hidupmu."
Adelia menatap map itu lama, lalu menggeleng. "Saya tidak dijual, Bu."
"Sayang sekali," jawab Ny. Jonathan, bangkit. "Tapi tawaran itu akan selalu berlaku. Saat kau sadar bahwa cinta tak cukup untuk hidup."
Setelah wanita itu pergi, Adelia terduduk. Tawaran itu membekas. Bukan karena tergoda, tapi karena mulai muncul pertanyaan dalam benaknya: apakah Reyhan layak kehilangan segalanya hanya karena memilih dirinya?
---
Sementara itu, di tempat lain, dua wanita yang menyimpan dendam dalam diam akhirnya bertemu.
Karin dan Emma, yang dulu pernah menjadi teman di sebuah acara para pengusaha elite berkumpul saat kuliah, tak sengaja berpapasan di sebuah butik mewah di pusat kota. Suasana seketika menjadi dingin.
"Karin," sapa Emma dengan senyum yang tak sampai ke mata.
"Emma Clarissa," jawab Karin datar. "Aku dengar kamu tinggal di rumah mertuaku."
"Untuk sementara. Atas permintaan Ny. Jonathan sendiri."
"Lucu. Aku pikir wanita sepertimu sudah tidak punya harga diri untuk menumpang pada mantan."
Emma tertawa pelan. "Setidaknya aku masih bisa membuat Reyhan menoleh."
Karin menyilangkan tangan. "Dan kau pikir itu kemenangan?"
Mereka saling mendekat, tersenyum, tapi kata-kata mereka mengiris.
"Kau hanya istri di atas kertas, Karin."
"Dan kau? Cuma bayangan yang Reyhan tinggalkan. Berkali-kali."
"Bayangan ini akan menjadi perusak di dalam hidupmu, Karin."
Pertemuan itu berakhir tanpa bentakan, tapi dengan tatapan penuh amarah yang belum tuntas.
Kedua wanita itu tahu, medan perang mereka tak lagi soal cinta—tapi tentang siapa yang akan bertahan paling lama di sisi pria Jonathan bersaudara.