"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Felix meronta-ronta di pelukan neneknya. “Jangan cuma di sini, Pih! Aku mau ketemu Ate Cekalang juga!” teriaknya penuh emosi.
“Iya, Nak … tenang, Papih pasti mencari Ate Cantik itu,” ucap Jefri menenangkan.
Dengan kekuasaannya, mencari seseorang di kota bukan hal yang sulit bagi Jefri. Hanya saja, ia gengsi. Semalam, ia sudah mengusir Hana, dan sekarang harus mencarinya kembali.
“Cabal … cabal aja! Papih uang banyak, anak buah banyak … cepet cari Ate itu!” ucap Felix sambil menangis..
“Pokoknya, kalau nggak ketemu, aku mogok makan!” ancam Felix.
Dan kalau sudah seperti itu, Jefri hanya bisa menuruti. Ia tidak mau terjadi apa-apa pada anak semata wayangnya.
“Emangnya siapa Ate Cantik itu?” tanya Viona penasaran.
“Ah … aku lupa namanya, Oma,” jawab Felix polos.
Viona menatap Jefri, yang hanya menggelengkan kepala.
“Sejak kapan aku mengajarkan kamu menjadi tidak tahu terima kasih?” ucap Viona kesal.
“Baik … baik, aku akan mencarinya,” ujar Jefri akhirnya. Ia harus mencarikan Hana. Jika tidak, dua orang yang ia cintai—Felix dan Viona—akan marah padanya
,,,
Pagi pun tiba … suasana di rumah Handoko terasa tegang.
“Hanaaaaaaaa! Kenapa nggak buat sarapan?!” teriak Mirna kesal. Meja makan kosong, padahal biasanya sudah tersedia.
Handoko keluar sambil masih mengenakan sarung.
“Kenapa kamu panggil-panggil Hana, ha?” ucap Handoko kesal.
“Kamu nggak lihat apa? Malas sekali dia! Kenapa sarapan tidak ada? Aku sudah lapar!” ucap Mirna gusar.
“Kamu lupa. Kemarin sore kan kamu yang mengusirnya,” jawab Handoko sambil duduk, menatap meja yang kosong.
Mirna terdiam. Ia baru sadar kalau kemarin sore ia sudah mengusir Hana, dan pagi ini malah berteriak memanggilnya.
“Ka Hanaaaaaa!” teriak Sinta. “Kenapa bajuku belum digosok?”
Sinta berjalan ke meja makan dengan muka masam sambil membawa pakaian yang lecek.
“Bu … ka Hana kemana sih? Kenapa sekarang dia berubah? Lihat nih bajuku lecek, belum digosok!” Sinta terlihat kesal.
“Sinta, mulai sekarang kamu harus cuci baju sendiri, gosok baju sendiri,” ucap Handoko tegas.
“Ih … nggak mau! Kan itu tugas Ka Hana?” protes Sinta
“Semua orang yang ada di sini rupanya sudah pikun, ya? Bukankah kemarin sore kalian sudah mengusir Hana?” ucap Handoko lagi, menegaskan peringatannya.
Sinta duduk di kursi menghadap meja makan. Baru pagi ini mereka menyadari bahwa meja makan kosong, tanpa makanan. Biasanya, setiap pagi sudah tersedia sarapan, tapi sekarang tidak ada—begitu pula ketidakhadiran Hana..
“Sinta, kamu buatkan Ayah kopi?” ucap Handoko, memecah suasana tegang.
“Ih, ogah! Emangnya aku pembantu!” jawab Sinta kesal.
“Mirna, buatkan aku kopi?” Handoko menatap ke arah Mirna.
Mirna memandang Handoko dengan tajam, tapi tetap berdiri dan melangkahkan kaki ke dapur. Tak lama kemudian, Mirna datang membawa secangkir kopi.
“Kok cuma satu, Bu? Untuk aku mana?” tanya Sinta.
“Emang aku pembantu kamu apa?” jawab Mirna kesal.
“Nyebelin … semuanya nyebelin …,” ucap Sinta kesal sambil mengerutkan wajah.
“Sudahlah, mulai sekarang belajar mandiri,” ucap Handoko tegas.
“Ga! Aku enggak mau! Pokoknya Bapak harus sediakan pembantu. Aku nggak mau disibukkan dengan urusan rumah!” ucap Sinta, menyilangkan tangan di dada.
“Sudahlah … sekarang Hana tidak ada. Semua rencana kita berantakan. Mau tidak mau, kamu harus menurunkan standar kamu, Sinta,” ucap Handoko tegas.
“Enggak bisa ya … aku tetap mau menikah di Hotel Markur. Itu impianku, Yah,” Sinta masih bersikeras dengan keinginannya.
“Ya sudah, berarti kita harus menggadaikan rumah ini ke bank. Hanya ini jalan satu-satunya,” ucap Handoko.
“Tidak bisa dong, Yah! Bagaimana kalau nggak kebayar nanti rumah aku disita bank, ya?” Sinta masih belum mengerti bahwa Handoko memang sudah tidak sanggup. Jangankan untuk membiayai pesta pernikahan mewah yang nilainya ratusan juta, bahkan untuk kehidupan sehari-hari saja Handoko sudah pusing.
“Kita harus mencari jalan agar Hana mau menikah dengan Erik. Hanya Erik yang bisa membantu kita,” ucap Mirna dengan nada datar.
“Kamu jangan merencanakan hal buruk pada Hana, Mirna. Sudah cukup penderitaan dia!” ucap Handoko kesal.
“Belum cukup … aku belum puas. Wajah dia sangat mirip … kamu cukup diam saja, biar aku yang mengurusnya,” ucap Mirna dingin.
“Kamu jangan keterlaluan, Mirna!” geram Handoko.
“Diamlah,” ucap Mirna.
Handoko terdiam, kemudian mengambil kopi dan berdiri keluar menuju teras.
“Sebenarnya ada apa sih, Bu?” tanya Sinta penasaran.
“Nanti juga kamu akan tahu,” ucap Mirna sambil tersenyum licik.
“Tapi Bu, sekarang aku lapar. Masakkan mie dong,” ucap Sinta.
“Buat sendiri. Ibu bukan pembantu kamu,” jawab Mirna.
Sinta kesal, lalu pergi ke kamarnya dengan langkah mendengus.
“Ini semua gara-gara kamu! Apa susahnya kamu menikah dengan rentenir itu? Kamu kan pantasnya menikah dengan orang seperti itu, tidak seperti aku yang cantik, pintar, dan terpelajar … ah, aku lapar lagi! Kenapa kamu tidak ada? Aku jadi lapar, sedangkan waktu ada kamu, aku tidak pernah lapar!” ucap Sinta kesal.
Kemudian Sinta pergi ke dapur. Ia bahkan tidak bisa menyalakan gas. Mirna melihat ada mi instan, dan teringat waktu SD, ia pernah meremas mie, kemudian mencampur bumbunya dan memakannya tanpa dimasak.
“Brengsek kamu, Ka! Gara-gara kamu tidak ada, aku jadi makan mie seperti ini!” gerutu Sinta kesal sambil menatap mie di tangannya.
…
Sementara itu, Riko pusing. Hari semakin dekat, sedangkan uang untuk resepsi pernikahan belum juga ada gambaran.
“Pak, kita dapat komplain dari customer. Katanya barang yang kita jual kadaluarsa,” ucap pegawai grosirnya.
“Hubungi Hana,” jawab Riko.
Petugas itu kemudian kembali ke tempat kerja dan mencoba menghubungi Hana.
Tak lama, seorang perempuan datang menemui Riko.
“Pak, laporan keuangan kita kok ada yang nggak sinkron, ya?”
“Untuk itu, hubungi Ibu Hana,” jawab Riko.
“Pak, ini ada pemasok yang katanya belum dibayar,” lanjut perempuan itu.
“Hubungi saja Hana,” tegas Riko.
“Pak,” ucap ketiga pegawai serempak.
“Kenapa kalian bukannya bekerja, malah laporan nggak jelas terus?” ucap Riko kesal.
“Pak … Bu Hana sudah tidak mau mengurus toko lagi, pak. Katanya ruko ini tidak ada hubungannya lagi sama dia,” jawab seorang pegawai.
“Brakkk!” Riko memukul meja dengan keras.
“Kenapa dia bilang begitu?” tanya Riko kesal.
“Ya, kami tidak tahu, pak,” jawab para pegawai.
“Pergilah kalian,” ucap Riko tegas.
Sekarang Riko sendirian di ruangannya, menatap tumpukan dokumen dengan wajah penuh frustrasi.
“Hana … oh, Hana … kenapa kamu tidak mau mengurus toko lagi? Bukankah uangmu ada padaku, Hana?” ucap Riko kesal.
Kemudian Riko mencoba menghubungi Hana, tapi rupanya nomor dia sudah diblokir.
“Bagaimana dengan masa depan tokoku? Selama ini aku ketergantungan pada Hana. Hana selalu memberikan ide-ide cemerlang … tapi aku kan sarjana, masa aku kalah sama yang lulusan SMA?” gumam Riko frustasi.
Riko membuka laporan keuangan. Semakin dilihat, semakin pusing wajahnya.
“Sial … sial … aku harus membuat Hana kembali padaku,” gumam Riko.
Kemudian Riko mengambil ponselnya dan menelpon Sinta.