Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.
Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.
Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.
Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.
Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: Hutan dan Pertarungan Rahasia
Langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak yang tertutup dedaunan basah. Oiko, Mikami, dan Rinya melangkah pelan melewati hutan yang tampak tenang, meski bayang-bayang pepohonan menjulang tinggi memberi kesan seolah ada mata-mata yang mengawasi dari kegelapan.
Sesekali, angin berdesir dan menggoyangkan dedaunan. Burung-burung berkicau di kejauhan, namun suasana tetap terasa waspada.
Tiba-tiba—kruuukkk...
Sebuah suara lirih namun jelas terdengar dari arah Rinya. Perut mungilnya meronta minta perhatian. Wajah Rinya memerah seketika.
“Uuhh…” gumam Rinya, malu.
Oiko yang berjalan di sebelahnya langsung melirik, lalu tersenyum geli. “Lapar ya?”
Namun, bukannya menjawab, Oiko malah mengulurkan tangannya ke arah kepala Rinya dan memegang kuping bulu di atas kepala gadis itu. Sentuhan itu membuat kuping Rinya berkedut.
Rinya menyipitkan mata, menatap Oiko dengan tatapan mencurigakan. “Kamu ini… suka banget ya megang kupingku.”
“Eh!? A-aku… aku cuma penasaran! Ini… berbulu dan... lucu,” jawab Oiko panik, pipinya merona malu.
Rinya nyengir kecil. “Eeeee~ dasar mesum…”
Di belakang mereka, Mikami hanya bisa menghela napas dan menggeleng pelan. “Kalian ini, bener-bener gak pernah serius…”
Langkah mereka kembali berlanjut melewati semak dan akar-akar pepohonan tua. Namun tiba-tiba, flap flap flap!—burung-burung terbang panik dari balik semak-semak di depan.
Mereka bertiga langsung menghentikan langkah.
“...Ada sesuatu,” bisik Mikami dengan waspada.
Dari semak yang bergetar hebat, dua sosok monster muncul—satu makhluk besar berbentuk manusia bertarung melawan monster serigala bertubuh seperti manusia, berdiri dengan dua kaki dan memiliki kuku panjang seperti pisau.
Monster serigala itu melompat ke depan, melancarkan serangan bertubi-tubi dengan cakarnya, sementara pria besar itu menangkis sekuat tenaga. Namun kulitnya mulai terkoyak—tubuh manusia biasa itu tak mampu bertahan lama.
“Dia bakal mati kalau terus kayak gitu!” seru Mikami, cemas.
Namun, pria itu tampak terus melawan. Ia mencoba menahan cakar serigala dengan tongkat kayu besar, namun cakar itu menghancurkannya dengan mudah.
“Kita harus ngumpet!” kata Oiko cepat.
Ia meraih tangan Rinya dan Mikami, menarik mereka ke arah semak-semak lebat di pinggir. Rinya sempat terkejut dan mengeluh, “Eh? Eh?!”, sementara Mikami hanya pasrah ditarik masuk.
Mereka bertiga bersembunyi di balik rimbunan semak, menahan napas. Suara desingan cakar dan raungan mengisi udara.
Craaaasssh!!
Serigala humanoid itu terus menggila, mencakar, menggigit, dan menghancurkan apapun di sekitarnya. Beberapa orang—mungkin warga atau petualang—yang bersama pria besar itu, sudah terkapar di tanah, berdarah dan tak bergerak.
Pria besar itu—meski terluka—masih bertahan. Tapi gerakannya melemah. Tubuhnya penuh goresan. Darah menetes dari pundaknya. Ia mundur pelan, namun serigala itu terus mengikutinya… mendorongnya lebih dalam ke hutan.
Oiko mengepalkan tinjunya. “Kita gak bisa cuma diam…!”
Namun Mikami mencengkeram bahunya. “Tunggu dulu. Kita gak tahu seberapa kuat serigalanya. Kita harus cari waktu yang tepat.”
Dari balik semak, mereka bertiga hanya bisa menyaksikan, untuk saat ini...
Pria besar itu terus disayat, cakaran demi cakaran menghujam kulitnya. Darah mengalir deras membasahi tanah dan pakaiannya yang telah compang-camping. Nafasnya terengah, namun ia masih mencoba bertahan.
“Awooooooooooo!!”
Serigala humanoid itu melolong keras. Lengannya terangkat tinggi, siap memberikan cakaran terakhir. Pria itu menggertakkan gigi, matanya mulai redup, tubuhnya bergetar karena tak sanggup lagi berdiri tegak. Ia benar-benar terpojok.
Sementara itu, di balik semak, Oiko, Rinya, dan Mikami hanya bisa menyaksikan dengan tubuh tegang.
Rinya memeluk Mikami erat-erat, wajahnya sembunyi di bahu temannya. Rambutnya yang halus dan kuping hewannya menyentuh tangan Mikami tanpa sengaja.
“Hei—eh?!” Mikami nyaris berteriak. Ia kaget bukan karena monster, melainkan karena kelembutan kuping Rinya.
“L-lembut banget…” gumamnya keceplosan.
Rinya menoleh cepat, wajahnya merah. “K-kau bilang apa barusan?”
Mikami panik. “Gak! Gak ada! Aku—lihat ke depan aja!”
Namun perhatian mereka langsung kembali ke tengah arena ketika suara erangan terdengar lagi. Pria besar itu kembali diserang—serigala itu mencakar dadanya hingga darah muncrat ke rerumputan.
Oiko mengepalkan tangannya.
Dia nggak bisa diam lebih lama lagi.
Matanya penuh kemarahan. Tanpa pikir panjang, Oiko bangkit dari persembunyian dan melangkah keluar dari semak-semak.
“WOEEEE!!!”
Suara teriakan Oiko menggema keras. Semua mata langsung tertuju padanya—termasuk milik serigala buas itu.
Mikami tersentak. “O-Oiko!?”
“Dia gila!? Apa yang dia lakukan!?” serunya dalam hati.
Pria besar yang tadinya hampir tak sadarkan diri perlahan menoleh ke arah suara itu. Matanya setengah terbuka, menatap bocah yang muncul entah dari mana.
Serigala humanoid itu menghentikan serangannya, berdiri tegak, lalu perlahan menoleh ke arah Oiko.
Tatapan merah menyala itu menembus Oiko seperti pisau. Mulut serigala itu menyeringai, memperlihatkan gigi-gigi tajamnya. Ia mengangkat cakarnya—masih berlumuran darah yang terus menetes, lalu berkata dengan suara berat dan serak,
“Manusia...”
Langkahnya lambat tapi pasti. Setiap langkah meninggalkan jejak darah di tanah, suara dedaunan kering terinjak makin mendebarkan.
Oiko menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya memburu. Kakinya bergetar, tapi ia tak bergerak mundur.
Serigala itu terus berjalan mendekat. Nafas beratnya seperti dengusan binatang buas yang siap mencabik mangsanya.
Sementara di balik semak, Mikami gemetar. “Apa yang dia pikirkan sih…? Kenapa dia malah maju sendiri begitu…?”
Rinya pun tak kalah panik. “Oiko bodoh…! Dia bisa mati kalau begini!”
Namun Oiko tetap berdiri di tempatnya, menatap langsung ke mata monster itu.
...
Angin berhembus lembut, tapi suasana di tengah hutan terasa berat, nyaris mencekik. Daun-daun kering melayang di udara, menari dalam kegelisahan yang tak terlihat. Oiko berdiri di hadapan makhluk itu—serigala bertubuh manusia, penuh darah, dengan mata merah menyala yang menatap langsung ke dalam jiwanya.
“K-Kenapa aku malah keluar...?” gumam Oiko lirih, wajahnya pucat, tubuhnya sedikit gemetar.
Serigala itu mengangkat cakarnya. Sekejap saja, secepat kilat, dia melesat maju.
SRAAKK!!
Perut Oiko tersayat. Darah muncrat, mengalir deras dari luka terbuka di bawah pusarnya. Tubuhnya terdorong ke belakang, hampir tumbang, tapi dia masih berdiri.
"Aaaaakh...!" erangnya, satu tangan memegangi luka yang makin deras mengucurkan darah hangat.
Namun serigala itu tidak memberinya waktu bernapas. Ia menggeram, lalu kembali menyerang dengan brutal. Cakar-cakarnya mengoyak udara—swip! swip! swip!—berusaha mencabik Oiko tanpa ampun.
Oiko berusaha menghindar, langkahnya terhuyung, tapi refleks dan insting bertahan hidupnya menyelamatkannya dari kematian instan. Meski tubuhnya lemah, matanya masih hidup.
“Dia menyerang tanpa jeda…” pikir Oiko, wajahnya tegang.
Di semak-semak, Mikami dan Rinya hanya bisa menonton. Rinya menutup wajahnya, memeluk Mikami erat karena takut, tak berani menengok. Mikami sendiri membeku, matanya tertuju pada sahabat mereka yang hampir hancur di depan matanya.
“Apa yang dia pikirkan…? Kenapa malah keluar sendirian?” bisik Mikami dalam hati, cemas.
Serigala itu kini melompat tinggi, tubuhnya seperti bayangan kelabu yang menutupi cahaya matahari di sela-sela pepohonan. Ia hendak menebas Oiko dari atas.
Namun Oiko tak lagi mundur. Dia mengatupkan rahangnya, menguatkan kakinya, dan menarik napas dalam-dalam.
Tangannya bergetar… lalu muncul aura.
[Skill Aktif: Pukulan Terkuat – Dikonfirmasi]
Aura hitam keunguan meledak dari tangan kanannya. Seperti kilatan petir yang membungkus lengan hingga bahunya. Tanah di sekitarnya retak. Angin seolah berhenti bergerak.
Serigala tersenyum, sebuah senyuman liar penuh ejekan saat ia melayang, cakar terbuka siap merobek kepala Oiko.
Namun tepat ketika cakar itu hendak menyentuh Oiko…
DUGHHHH!!!
Suara dentuman bergema keras. Seisi hutan terguncang.
Oiko menghantamkan pukulannya ke atas—langsung ke arah serigala. Benturan dahsyat terjadi. Cakar itu hancur. Tulangnya remuk. Seluruh lengan serigala meledak menjadi potongan daging dan darah di udara, beterbangan bagaikan kelopak bunga kematian.
Tubuh serigala terhempas jauh ke belakang, menabrak pohon besar dan menghancurkannya dalam satu dentuman keras. Debu beterbangan. Tanah berguncang.
Mikami hanya bisa menatap kosong. “Dia… berhasil…?”
Rinya masih memeluknya erat, tak menyadari bahwa Oiko telah menyelamatkan mereka semua.
Oiko berdiri di tengah kabut debu dan serpihan darah, tubuhnya gemetar, darah mengalir deras dari perutnya, tapi ia masih hidup.