NovelToon NovelToon
Gadis Magang Milik Presdir

Gadis Magang Milik Presdir

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:7.6k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gala Dinner

Siang itu kantor sudah sedikit lebih lengang. Jam makan siang baru saja lewat, dan sebagian karyawan mulai kembali ke meja masing-masing. Di lantai delapan, ruang presdir tetap terasa sunyi, hanya diisi bunyi kertas yang dibalik dan ketukan keyboard yang ritmis. Anna berdiri di depan meja besar berlapiskan kaca itu, merapikan berkas—seperti rutinitas yang sudah sangat ia kuasai beberapa minggu terakhir.

Meski hanya anak magang, gerakannya teratur, terlatih, dan tidak ragu. Liam memperhatikan hal itu diam-diam, walau ia tidak akan pernah mengakuinya. Anna bekerja dengan efisiensi yang hampir mengganggu keheningan ruangan. Dalam hitungan menit, berkas yang semula tersebar sudah tersusun rapi menjadi tiga kategori berbeda, lengkap dengan sticky note warna pastel sebagai penanda prioritas.

Ketika Anna hendak meraih map terakhir di ujung meja, suara Liam memecah keheningan.

“An.”

Nada itu pendek, datar, tapi cukup untuk membuat Anna berhenti tepat di tengah gerakannya. Ia menoleh pelan.

“Iya, Pak?”

Liam bersandar ke kursi kerjanya. “Besok malam saya harus menghadiri gala perusahaan, kan?”

Anna mengangguk. “Benar, Pak. Acara tahunan dari asosiasi bisnis internasional. Anda mendapat undangan sebagai panelis kehormatan.”

Liam diam sejenak, seperti mempertimbangkan sesuatu di kepalanya. Anna menunggu, menatap wajah presdir yang hampir selalu sulit ditebak. Tidak jelas apakah ia sedang menghitung rencana kerja atau sedang menilai sesuatu tentang dirinya. Liam memang seperti itu—membuat orang lain menebak-nebak apa yang ada di balik tatapan dinginnya.

“Kamu,” ucap Liam akhirnya, “sepulang kerja besok ada agenda lain?”

Anna menggeleng. “Tidak ada, Pak. Saya sudah merapikan semua jadwal sampai Jumat. Besok sore pun saya tidak ada kegiatan kampus.”

“Baik.”

Tanpa jeda, Liam langsung mengambil black card dari dompet kulit tipisnya dan meletakkannya di atas meja, tepat di titik yang sedang Anna rapikan. Gerakan itu tegas—bukan lemparan, bukan dorongan, lebih seperti tanda keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat.

“Kamu beli baju.”

Anna berkedip, tidak yakin apakah ia salah dengar.

“Ma—maaf, Pak?”

“Beli baju,” ulang Liam dengan lebih jelas. “Gaun formal. Pilih yang cocok. Setelah itu pergi ke salon. Rapikan semuanya.”

Anna terdiam, bibirnya terbuka sedikit, tapi tidak ada suara keluar.

“Lalu,” lanjut Liam sambil bangkit dari kursinya, meraih jasnya dan menyampirkannya di lengan, “temani saya ke gala besok malam.”

Kali ini Anna benar-benar kehilangan kata-kata. Jemarinya yang memegang map mengendur perlahan.

“Me… menemani, Pak?”

Liam menatapnya sebentar—lama, dalam, seolah pertanyaan itu sebetulnya tidak perlu ditanyakan. Tatapan itu membuat Anna merasa seolah ruangan mendadak sempit.

“Ya. Kamu datang dengan saya.”

Nada suaranya tidak memberi ruang untuk interpretasi lain.

Liam kemudian memutar badan, bersiap keluar dari ruangan. Namun sebelum ia mencapai pintu, ia menambahkan kalimat terakhir yang membuat Anna makin membeku:

“Jangan menolak. Saya tidak suka penolakan.”

Dengan itu, Liam pergi begitu saja.

Pintu tertutup pelan.

Keheningan menyelimuti ruangan kembali, namun kali ini keheningan yang berbeda—penuh getaran halus yang menekan dada Anna.

Ia masih berdiri di tempat yang sama. Tangannya refleks menunduk melihat black card itu, tergeletak begitu saja di antara map yang belum sepenuhnya ia rapikan. Kartu hitam elegan dengan emboss nama Liam di sudutnya. Salah satu kartu yang hanya dimiliki anggota direksi. Nilainya? Jangan ditanya. Bukan cuma soal uang, tapi otoritas di baliknya.

Anna menatapnya lama, hampir takut menyentuhnya.

“Ha… hah?” gumamnya pelan, suara tercekat, “Dia serius?”

Anna menahan napas, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Jantungnya berdebar kacau. Ia bukan tipe yang mudah panik, tetapi perintah tadi… sungguh di luar dugaan.

“Gak salah kan dia… minta gue nemenin?”

Dia mengulang monolog itu di kepalanya.

Anna berjalan mundur dua langkah, duduk di sofa kecil di sisi ruang, dan memegang kepala. Napasnya tidak beraturan.

“Aku… cuma anak magang…”

Suara itu meluncur dari bibirnya lirih.

Ia berusaha menganalisa, tapi pikirannya penuh suara dan bayangan

Liam berdiri tegap, memberikan perintah seolah itu hal paling normal lalu memberikan kartu hitam itu. Kata “temani saya” dan larangan menolak. Gala yang berkelas internasional dan Liam akan datang berpasangan—dengannya?

What the hell

“Masa iya…” gumamnya lagi, “masa iya Pak Liam gak punya orang lain? Kan ada manager PR? Sekretaris tetap? Bahkan banyak kolega bisnis yang biasa datang bareng…”

Ia makin bingung.

Kakinya mengetuk lantai tanpa sadar. Tangannya memainkan ujung kemeja. Matanya menatap ke meja besar tempat kartu itu berada.

“Kenapa gue?”

Pertanyaan itu menusuk paling kuat.

Ia bukan siapa-siapa. Bukan pegawai tetap. Bukan orang penting di perusahaan. Ia bahkan masih mahasiswa yang berjuang membagi waktu.

Jika orang lain melihat? Apa yang mereka pikirkan?

Bahwa Liam membawa anak magang?

Bahwa ada sesuatu?

Bahwa Anna… dipilih sebagai pendamping?

“Astaga…” Anna memeluk tasnya erat.

Ia benar-benar ingin menolak. Secara pribadi, ia merasa tidak pantas. Secara profesional… ia ragu. Gala itu bukan sembarang acara. Semua mata akan tertuju pada pasangan yang datang bersama Liam.

Namun kata-kata Liam kembali terngiang:

“Jangan menolak. Saya tidak suka penolakan.”

Anna memejamkan mata.

Dia tahu karakter Liam. Bila dia mengatakan sesuatu, maka itu final.

“Mau gak mau gue harus ikut…” gumamnya lemah.

Beberapa menit berlalu sebelum Anna akhirnya bangkit dan kembali ke meja. Dengan hati-hati ia mengambil black card itu, memasukkannya ke dompet kecil di dalam tasnya. Tangan kirinya sedikit bergetar.

Ia melihat pantulan dirinya di kaca kabinet buku: wajahnya memanas, pipi sedikit merah, mata membesar antara shock dan panik. Namun ada juga sedikit rasa lain yang tidak ia mengerti sepenuhnya—entah itu gugup, takut, atau… penasaran?

Anna menggeleng cepat. “Jangan mikir aneh-aneh, An. Ini cuma tugas. Iya. Tugas. Sekpri sementara emang kadang nemenin bos ke acara. Udah.”

Namun suara hatinya membalas pelan.

Tapi anak magang? Dibeliin baju? Salon? Pakai black card pribadi beliau? Serius?

Anna kembali duduk dan menutup wajah dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan… kenapa hidup gue jadi kayak drama?”

Tepat saat itu, Gema membuka pintu—tanpa mengetuk seperti biasa—dan langsung melihat Anna yang tampak hilang arah dengan wajah memerah dan tas tercengkeram erat.

“Eh? Kamu kenapa, An?”

Gema menaikkan alis.

Anna hanya mengangkat kartu hitam itu dengan ekspresi setengah-hidup.

Gema membeku. Lalu… perlahan tersenyum nakal.

“Hooo… jadi akhirnya dia minta kamu temenin gala.”

Anna terlonjak. “Kok tau?!”

“Karena Liam gak pernah ngajak siapa-siapa.”

Gema terkekeh. “Kalau dia tiba-tiba ngasih black card—itu cuma berarti satu hal.”

Anna menelan ludah keras-keras. “Apa?”

Gema mendekat, menepuk bahu Anna.

“Kamu spesial.”

Anna hampir melompat mundur. “APAA?!”

Gema tertawa semakin keras. “Tenang, saya cuma bercanda… setengahnya.”

Anna memukul lengan Gema pelan, namun wajahnya semakin merah. Ia semakin bingung antara menyangkal atau kabur.

Gema akhirnya menghela napas dan berkata lebih serius:

“An, tenang. Kamu cuma nemenin. Tapi… siap-siap, semua mata bakal ke kamu. Liam itu pusat perhatian. Dan kalau dia datang bawa partner baru—apalagi yang muda kayak kamu—pasti rame.”

Anna membeku untuk kesekian kalinya hari itu.

Gema menepuk punggungnya. “Good luck, calon pendamping gala.”

Anna menatap kosong ke depan.

Pikirannya hanya satu:

“Aku… benar-benar harus pergi sama dia.”

Dan entah kenapa, meski panik, jantungnya berdebar bukan hanya karena takut.

Ada sesuatu yang berdesir halus.

Sesuatu yang belum punya nama.

1
Evi Lusiana
liam sm ana yg galau,aku yg baper thor,di tunggu up ny thor🙏
Evi Lusiana
ana gk peka dg perasaan liam
elistya suci
up lagi dong thor🙏🙏🙏
Evi Lusiana
gengsi lo gdein liam
Noer Edha
karya ini membuat kita masuk dalm arus ceritqnya...setiap kalimatx tersusun..dan memuaskan bagi sqya yang membacanya..
Evi Lusiana
sial bner nasib ana thor punya boss ky gk puny hati
Evi Lusiana
dasar boss aneh,msih mencari² titik lemah ny seseorang yg bnr² cerdas
Evi Lusiana
kesempatan datang bwt ana
Drezzlle
udah jatuh tertimpa tangga ya rasanya pasti
Evi Lusiana
betul kt lusi,ceo kok gk profesional
Evi Lusiana
egois gk sih si liam,jd bos besar hrsny profesional kko pun mo memberi hukuman sm ana y gpp tp jgn smp smua org jd mengucilkany krn kmarahan liam sm smuany
Evi Lusiana
bagus critany thor,perusahaan yg tdk hny mnilai fisik lbih k kmampuan calon karyawan ny
Evi Lusiana
percayalah ana tiada perjuangan gg sia2
Evi Lusiana
mewek bacany thor,bayangin hdp merantau sndr menanggung beban sndri
Evi Lusiana
semangat ana kebahagiaan menantimu
Valen Angelina
makanya Liam jgn jahat2 ..nnti jatuh cinta gmn wkwkwkw🤣
Valen Angelina
bagus ceritanya...moga lancar ya 💪💪💪
Valen Angelina
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!