Alisa Veronica gadis cantik yang hidup sebatang kara dalam kesederhanaan. Menjalin kasih dengan seorang pemuda yang berasal dari keluarga terpandang di kota Bandung. Rayyen Ferdinand. Mereka menjalin kasih semenjak duduk di bangku SMA. Namun, kisah cinta mereka tak semulus yang di bayangkan karena terhalang restu dari orang tua yang menganggap Alisa berasal dari keluarga yang miskin dan asal-usul yang tidak jelas. Di tambah lagi kisahnya kandas setelah Rayyen melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Rayyen pergi tanpa sepatah kata atau mengucap kata putus pada Alisa. Ini yang membuat Alisa galau brutal dengan kepergian Rayyen. Enam tahun berlalu, kini Alisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang semakin cantik, berbakat dan tentunya kini dia mempunyai bisnis sendiri . Alisa mempunyai toko kue yang cukup terkenal di Jakarta. Dan dia mempunyai 2 cabang di Bandung dan Surabaya. Ada suatu acara dimana ia di pertemukan kembali dengan Rayyen dengan situasi yang canggung dan penuh tanda tanya. Rayyen datang bersama gadis cantik yang terus bergelayut manja di lengan kekarnya. Sedangkan Alisa datang dengan sahabat baiknya, Marko. Seakan waktu di sekeliling berhenti bergerak, Alisa merasakan sesak kembali setelah bertemu dengan Rayyen. Banyak sekali pertanyaan yang ingin dia lontarkan ke wajah kekasihnya itu. Namun itu semua hanya berputar dalam otaknya tanpa keluar satu kata pun. Akankah kisah cinta mereka akan terulang kembali??? Kita liat saja nanti. Heheheh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 DONA AYUMI KUSUMA
“Lo kebanyakan nonton sinetron ikan terbang. Makanya otak lo udah kena doktrin sinetron banget. Nggak semua kehidupan nyata tuh kayak di sinetron, Don. Siapa tahu calon ibu tiri lo sama saudara tirinya itu sebenarnya baik, cuma belum keliatan aja.” kata Alisa, berusaha menenangkan sahabatnya.
“Baik dari Hongkong! Lo lupa ya sama cerita gue? Si Andara itu dari awal udah kelihatan nggak suka sama gue. Tatapan sinisnya tuh udah kayak sinar X-ray, nembus sampai hati. Terus, feeling gue juga kuat, Lis. Mamanya si Andara itu deketin Ayah gue pasti karena ada maunya.” jawab Dona sambil manyun.
“Don, lo baru ketemu Andara sekali doang, dan itu juga sekilas. Bisa jadi dia juga sebenarnya nggak setuju mamanya nikah lagi. Jadi, ya wajar aja kalau dia kelihatan sebel waktu ketemu lo. Mungkin situasinya juga awkward buat dia.”
“Tapi, Lis, feeling gue tuh jarang salah. Gue yakin banget mereka punya niat lain. Makanya, gue harus gercep amankan masa depan gue sebelum semuanya diacak-acak sama keluarga baru itu.” Dona menjawab sambil menatap jauh seakan melihat masa depan yang penuh drama.
Alisa hanya mengangguk-angguk sambil menyeruput minumannya. “Ya udah deh, kalau emang feeling lo udah kuat banget, sekalian aja minta Ayah lo balik namain beberapa aset atas nama lo. Atau minimal kasih lo saham di perusahaannya. Biar aman.”
Mata Dona langsung membesar kayak habis dapat kabar diskon 90% di mall.
“DEABAKKKK! Gila lo emang jenius, Lis! Kenapa gue nggak kepikiran dari tadi, ya? Wah, bener juga tuh. Gue harus minta saham juga! Abis ini gue langsung melipir ke kantor Ayah!”
Alisa langsung panik, “Eh, Don… Gue tadi cuma becanda loh. Jangan seriusan banget.”
“Enggak, ini ide cerdas. Makasih ya, Lis! Gila, lo emang penyelamat hidup gue. Abis ini gue mau eksekusi langsung.”
Alisa cuma bisa menghela napas panjang. Kadang sahabatnya ini memang terlalu impulsif.
“By the way, jadi lo mau tinggal bareng gue di Jakarta nanti?” tanya Dona sambil melahap potongan terakhir tiramisu-nya.
“Gue nggak enak Don, masa tinggal di rumah lo yang dibeliin ayah lo?” jawab Alisa dengan raut ragu.
“Yaelah, rumah itu dikasih buat gue. Bukan buat Ayah gue tinggal juga. Jadi lo harusnya nggak enaknya sama gue, bukan sama Ayah gue.”
“Nyebelin banget lo. Maksud gue kan rumah itu pemberian Ayah lo, masa gue ikutan nebeng sih?”
“Ih bego, ngapain juga lo capek-capek ngekost kalau rumah gue kosong dan nyaman? Ngabisin uang lo doang.”
Alisa tetap kukuh. “Tapi tetep aja gue ngerasa nggak enak.”
“Kasih garam biar enak. Lis, please lah. Kita kan sahabatan. Gue juga cuma punya lo nanti di Jakarta. Gue takut kesepian di sana. Ayolah tinggal bareng.”
“Hm, ya udah deh. Tapi gue bayar tiap bulan, ya. Gue nggak mau numpang gratis.”
“Apaan sih! Nggak usah bayar-bayar. Simpen aja uang lo buat keperluan kuliah. Ayah gue juga masih transferin uang ke gue tiap bulan.”
“Kalau gitu, mendingan gue ngekost atau tinggal di asrama kampus deh daripada numpang gratisan.”
“Duh, aneh banget sih lo. Dikasih gratis malah nolak.”
“Jadi gimana, boleh bayar atau nggak nih?” Alisa makin mantap dengan sikapnya.
“Iya deh, lo bayar aja 100 ribu per bulan. Biar gue tenang.”
“Apaan 100 ribu, itu mah tarif parkir di mall seharian. Ngaco lu.”
“Ya udah, itu harga spesial. Kostan Alisa edition. Terima aja.”
Alisa akhirnya mengangguk, terlalu capek untuk berdebat lebih panjang.
“Good girl. Jadi, tiga hari lagi kita cabut ke Jakarta ya.” kata Dona semangat.
“Iya, iya. Siap, Bu Bos.” jawab Alisa sambil tersenyum.
Setelah mengantar Alisa pulang ke panti, Dona langsung tancap gas ke kantor ayahnya yang ada di pusat kota. Gedung tujuh lantai itu berdiri kokoh, nggak terlalu tinggi, tapi cukup bergengsi. Perusahaan ayahnya bergerak di bidang properti, dari sewa gedung sampai pembangunan perumahan.
Dona masuk dengan santai, melewati beberapa karyawan yang menyapanya sopan. Ia membalas dengan senyuman ramah. Tapi langkahnya jadi terhenti mendadak saat membuka pintu ruang kerja ayahnya.
Di sana, Maryam—calon ibu tirinya—sedang duduk manja di pangkuan ayahnya, Bayu. Pemandangan yang bikin Dona pengen cabut balik lagi ke parkiran.
Maryam langsung lompat dari pangkuan Bayu sambil ngerapiin bajunya, sementara Bayu terlihat salah tingkah.
“Dona… ayah… hmm…” Bayu mencoba buka suara.
“Nggak usah dijelasin, Ayah. Aku ngerti. Tapi lain kali, kalau mau… ‘mesra-mesraan’, tolong kunci pintunya. Gimana kalau tadi yang masuk karyawan? Rusak image Ayah. Ayah tuh, dikit-dikit iman, gampang banget kegoda sama setan.”
Maryam mencoba tetap tersenyum meski wajahnya mulai merah karena malu dan emosi.
“Maafin tante, ya. Tante nggak ada niat yang aneh-aneh. Tapi, kita kan udah dewasa, dan sebentar lagi juga mau menikah. Wajar dong kalau ada… kedekatan,” kata Maryam sambil nyengir nggak jelas.
Dona cuma nyengir sinis.
“Justru makin dewasa harusnya makin ngerti batasan. Belum halal ya belum boleh. Meski Ayah nanti nikahin tante, sekarang kan belum. Jadi, ya… grape-grape tadi tuh dosa, Tante. Tapi ya maaf, bukan maksud gue ngegurui. Tante pasti lebih ngerti lah.”
Bayu kelihatan makin malu, sementara Maryam mulai ngepal tangan tapi tetap pasang wajah manis.
“Dona, jangan ngomong gitu ke tante Maryam.” tegur Bayu pelan.
“Yang mana yang salah, Ayah? Aku cuma ngingetin kalau yang tadi itu nggak dibenarkan. Ayah udah tua juga, harusnya jadi contoh yang baik.”
Bayu menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralisir suasana.
“Iya, Ayah minta maaf. Jadi, ada perlu apa ke sini?”
“Ada yang penting. Tapi cuma mau ngobrol berdua aja sama Ayah.” jawab Dona sambil melirik Maryam dari ujung mata.
“Maryam di sini aja, nggak apa-apa kan? Lagian sebentar lagi juga jadi bagian dari keluarga kita.”
“Belum. Dia belum resmi jadi bagian keluarga kita. Jadi maaf, dia masih orang asing buat aku.”
“Dona…” Bayu mencoba menegur.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku pulang aja deh. Kayaknya Dona butuh waktu sama Ayahnya. Nanti aja kita ngobrol lagi, ya?” kata Maryam sambil menyentuh bahu Bayu.
“Maaf, Sayang…” Bayu menatap Maryam dengan wajah bersalah.
“Gapapa, Mas. Aku ngerti kok. Aku pulang dulu, ya.” Maryam pun pamit dan sempat mencium pipi Bayu sebelum pergi.
Dona langsung pasang muka mau muntah. “Hooeekkkk… beneran bikin eneg.”
Setelah Maryam keluar, Dona menatap ayahnya dengan wajah serius.
“Yah, aku mau ngobrol serius. Tentang saham dan masa depan aku…”.