Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Taman Everielle
Musim semi mulai merayap masuk ke Narathor. Bunga-bunga liar bermekaran di sepanjang jalan desa, dan ladang herbal yang dikelola Rae dan Mareen menjadi lebih harum dari biasanya. Namun di balik kedamaian itu, badai kecil mulai tumbuh diam-diam—bukan di langit, tapi di hati Seraphyne.
Sudah tiga hari sejak pertemuan terakhir mereka di rumah itu. Tiga hari sejak Alvaren menyebut mimpi-mimpinya. Dan sejak itu, ia semakin sering datang.
Awalnya hanya untuk mengantar tanaman obat, lalu membantu Rae memperbaiki pagar kandang kambing, atau sekadar duduk sambil mengobrol ringan dengan Mareen yang selalu ramah. Tapi Seraphyne tahu—Alvaren datang untuknya.
Hari itu, Alvaren muncul lebih awal dari biasanya. Matahari baru menggeliat dari balik perbukitan saat ia tiba di rumah penyembuh itu, membawa sekeranjang apel segar dan luka di bahunya.
“Berkelahi dengan serigala?” tanya Mareen sambil terkekeh.
“Bukan. Hanya pasukan baru yang tidak tahu arah saat latihan pedang,” sahut Alvaren ringan.
Seraphyne muncul dari dapur, rambutnya masih basah karena baru membilas diri. Ia tertegun melihat Alvaren, lalu dengan cepat menunduk. “Kau... datang pagi sekali.”
Alvaren menyunggingkan senyum hangat. “Kau juga bangun pagi.”
Mereka saling pandang. Tak ada kata, hanya hening yang mengisyaratkan banyak hal. Rae berdeham keras-keras di belakang, pura-pura sibuk dengan daun-daun yang dikeringkan. “Ephyra, bisa bantu aku di dapur?”
“Aku akan membantunya,” potong Alvaren sebelum Seraphyne sempat bergerak. Ia menoleh ke Rae, senyum nakalnya kembali muncul. “Kau bilang butuh seseorang yang kuat, bukan?”
Seraphyne menghela napas, tahu bahwa ia tak bisa menolak tanpa membuat semuanya canggung.
Di dapur, mereka bekerja berdampingan. Seraphyne mengiris akar kering, Alvaren menumbuknya di lesung. Mereka tidak banyak bicara, tapi irama kerja mereka seakan telah selaras.
Saat tangan mereka bersentuhan hanya sekilas, saat berganti alat—Seraphyne menarik tangannya cepat-cepat. Alvaren menatapnya dalam-dalam.
“Aku merasa seperti pernah melakukan ini bersamamu,” gumamnya.
Seraphyne tak menjawab.
“Kau bukan hanya seorang penyembuh biasa, bukan?” lanjut Alvaren pelan.
Ia menoleh. Tatapan itu bukan mencurigai. Justru sebaliknya—penuh rasa ingin melindungi.
“Aku bukan orang yang penting,” jawab Seraphyne akhirnya. “Aku hanya... pernah kehilangan banyak hal.”
Alvaren menunduk, menyentuh lengannya dengan lembut. “Mungkin itu yang membuatku ingin lebih sering ada di sini.”
Seraphyne menatap tangannya. “Kau tidak seharusnya terlalu dekat denganku.”
“Mengapa?”
"Karena aku akan mati," jawabnya dalam hati. "Karena aku menggendong neraka di dalam tubuhku. Karena batu api tidak memberi ruang untuk cinta."
Namun bibirnya hanya bergetar tanpa suara.
Alvaren memegang tangannya lebih erat. “Aku tahu ini terasa aneh. Tapi aku ingin tahu apa yang kau sembunyikan, Ephyra. Karena saat aku di dekatmu... rasanya seperti pulang.”
Seraphyne menahan air mata yang nyaris jatuh.
Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya berlama-lama dalam genggaman itu.
Bersalah. Terluka. Tapi juga... hidup.
"Kau tidak harus menjawab semua pertanyaanku. Aku sudah mengatakannya padamu, aku akan mencari jawaban sendiri." lanjut Alvaren yang membuat Seraphyne tersenyum getir.
"Maka kau akan menderita.." gumamnya nyaris tak terdengar.
"Ephyra, maukah kau ikut denganku ke suatu tempat?" tanya Alvaren, menatap Seraphyne penuh harap.
Seraphyne ingin menolak, tapi ia juga penasaran kemana Alvaren akan membawa. Akhirnya ia mengangguk pertanda setuju.
Alvaren tersenyum. Dia menuntun Seraphyne ke barak untuk mengambil kuda kesayangannya. Dia membantu Seraphyne naik ke atas kuda, disusul olehnya yang duduk di belakang Seraphyne—kemudian kuda berjalan mengikuti perintah tuannya.
Sejenak Seraphyne mengingat masa lalunya bersama Alvaren. Ini pernah mereka lakukan ketika melakukan penyamaran ke luar istana karena muak dengan tuntutan para menteri.
Ketika sampai di tempat yang Alvaren tunjukkan, Seraphyne membeku.
Taman Everielle, begitu Seraphyne dulu menamainya—berasal dari bahasa kuno yang berarti 'tempat di mana segalanya tetap mekar, bahkan saat hati layu'.
Taman itu luas, membentang seperti pelukan hangat. Barisan bunga Althea putih mengelilingi bagian tengah, simbol kedamaian dan cinta abadi—bunga kesukaan Seraphyne. Di antaranya tumbuh bunga azurine biru pucat, hanya bisa hidup jika ditanam dengan air dari sungai sihir, dan konon hanya akan mekar jika ditanam oleh tangan yang benar-benar mencintai.
Pohon-pohon meliora, dengan daun keperakan dan bunga ungu lembut, berdiri mengelilingi taman seperti penjaga setia. Di musim semi, bunga-bunga mereka jatuh perlahan seperti salju yang wangi, membuat tanah seolah diselimuti cahaya ungu yang lembut.
Di bagian tengah taman terdapat bangku batu berukir lambang kerajaan lama—dua mahkota bertumpuk dan sepasang tangan terulur, melambangkan kesatuan antara kekuatan dan kasih. Di sanalah Alvaren dan Seraphyne dulu sering duduk berdua, berbagi diam, tawa, dan impian. Bangku itu kini berlumut, tapi masih berdiri kokoh, menyimpan bisikan masa lalu yang tak pernah benar-benar padam.
Aroma harum dari campuran bunga dan tanah basah masih sama. Angin yang berhembus di sana membawa suara lembut, seolah waktu sendiri berjalan pelan jika kau berdiri terlalu lama di tengah taman itu.
"Tempat ini indah, bukan?" tanya Alvaren sambil menatap Seraphyne.
Seraphyne melepas penutup matanya, cahaya merah menyilau dari sana—menjadi penanda bahwa dialah sebenarnya pemilik batu api.
"Darimana kau menemukan tempat ini?" tanya Seraphyne sambil berjalan menuju bangku batu diikuti oleh Alvaren.
"Hal ini mungkin terdengar gila, tapi tempat ini muncul dalam mimpiku, Ephyra. Di sini kita menghabiskan waktu berdua, menghindari bisingnya istana yang selalu menekan kita. Apa kau masih menganggap mimpiku hanya bunga tidur?"
Seraphyne membungkuk ke sisi bangku, mengambil peti kecil yang tertanam di dalam tanah. Peti itu masih ada, berisikan janji mereka untuk hidup bersama selamanya.
"Kau tidak harus tahu semuanya, Alvaren." lirih Seraphyne sambil membuka peti itu disaksikan oleh Alvaren.
Peti itu terbuat dari kayu obsidian langka yang hanya bisa dipahat dengan sihir kehidupan—tahan waktu, cuaca, dan bahkan sihir kematian. Ukurannya tak lebih besar dari kedua tangan yang disatukan, namun nilainya melampaui segala mahkota.
Di dalam peti itu berisi batu kecil berbentuk setengah lingkaran—satu dipegang Alvaren, satu lagi oleh Seraphyne. Batu itu konon hanya bersinar ketika keduanya berada di tempat yang sama dengan hati yang terpaut. Dulu, mereka percaya jika batu itu bersinar kembali, maka janji mereka belum berakhir.
Di sisi dalam tutup peti terukir kalimat dari Seraphyne, dengan tulisan tangan halus:
“Jika waktu berkhianat pada kita, biarlah tanah menyimpan kisah ini, sampai kita kembali sebagai kita.”
Kini, ratusan tahun telah berlalu, dan peti itu tetap tersembunyi di bawah akar tua. Tapi dunia telah bergerak, takdir berputar, dan Alvaren—tanpa ingatan, namun dengan hati yang tak pernah benar-benar lupa—berjalan kembali ke tempat di mana janji itu terkubur.
Seraphyne menatap Alvaren yang masih menatap peti di tangannya. "Bawalah peti ini sampai kau mengingat semuanya, dan saat itu tiba.. temui aku di tempat yang pernah kita janjikan untuk tinggal di sana. Di tempat itu aku meninggalkan peti kecil berisi perasaanku sebelum kita berakhir seperti ini."
Alvaren menerima peti itu dengan perasaan campur aduk. Sekali lagi dia menatap Seraphyne seolah bertanya, tapi dia harus mencari jawaban sendiri.