NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Angin malam berembus dengan lembut membawa aroma bunga dari taman kecil yang tidak jauh dari gedung konser musik. Langkah kaki Mia terdengar pelan di antara keheningan malam itu. Daniel berjalan di belakangnya dan menjaga jarak. Wajahnya diliputi oleh rasa kekhawatiran.

"Kelinci kecil… apakah kau baik-baik saja?" tanyanya dengan hati-hati.

Tidak ada jawaban dari Mia.

Hanya suara angin berhembus yang menjawabnya, berembus di antara dedaunan serta membelai rambut Mia yang tergerai. Diamnya seperti kabut yang tidak bisa ditembus. Dan itu membuat Daniel semakin merasa gelisah.

"Dia pasti marah..." batinnya kacau. "Aku tahu betul kalau itu menyangkut tentang Christopher, hatinya selalu paling sensitif. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang."

Langkah Mia tiba-tiba terhenti. Ia berdiri mematung dan membelakangi Daniel.

Lalu tanpa menoleh ke belakang, ia berkata dengan suara lirih.

"Aku… aku terlihat seperti anjing yang dibuang oleh majikannya, ya?"

Daniel sontak terpaku ditempat. Jantungnya terasa seperti ditarik turun oleh beban yang tidak terlihat.

“Apa?!” serunya pelan. “Kenapa… kenapa kau menggambarkan dirimu seperti itu?! Kau tidak boleh menilai dirimu sekejam itu, Mia!”

Ia maju perlahan mendekati Mia. Sorot matanya penuh dengan kesedihan.

“Kau lebih dari itu. Kau, bukanlah sesuatu yang bisa dibuang begitu saja…” ucapnya lembut. “Kau itu sangat berharga, Mia.”

Mia mengedipkan mata sekali. Tidak ada air mata disana, namun ia berusaha tetap tegar.

Mia tersenyum tipis. Senyuman yang terasa lebih menyakitkan daripada tangisannya.

"Daniel..." katanya, masih tanpa menatap Daniel. "Kau tidak ingin mengajakku makan malam? Kelinci kecilmu ini sangat kelaparan sekarang."

Daniel tercengang, ia tidak sempat merespons.

“Hah?"

"Oh! T-tentu! Aku akan mencarikan tempat yang bagus sekarang. Yang enak, dan banyak dagingnya…” Lalu ia menggaruk tengkuknya sendiri sambil tertawa gugup. “Eh, kamu… kamu masih vegetarian, kan?”

Untuk pertama kalinya di malam itu, Mia terkekeh pelan.

Ia menggelengkan kepalanya pelan.

"Selama itu bukan kenangan, aku bisa menelannya."

Daniel menatapnya lama. Jawaban itu sederhana, namun penuh dengan luka.

Ia menghela napas perlahan.

"Aku senang kau tidak marah padaku…” katanya akhirnya.

Mia mulai melangkah lebih dulu, tanpa melihat ke belakang.

“Aku terlalu lelah untuk marah sekarang.”

Dan Daniel hanya bisa mengikutinya, dalam diam, ia berharap bisa menjadi sandaran di saat Mia benar-benar terpuruk.

***

Lampu-lampu kuning temaram menggantung di langit-langit restoran, menambah nuansa hangat di antara hiruk-pikuk kota yang mulai tenang. Aroma makanan yang menggugah selera menyambut setiap pengunjung yang masuk ke dalam restoran itu, termasuk dua sosok yang baru saja tiba: Daniel dan Mia.

Daniel dengan sigap membukakan pintu untuk Mia.

“Kelinci kecil, ayo masuk,” ujarnya sambil tersenyum kecil. “Tempat ini cukup terkenal, loh. Kakakku yang merekomendasikannya waktu aku main ke kota ini.”

Mia melangkah masuk dengan perlahan. Matanya menyapu seluruh ruangan, menatap interior restoran dengan pandangan kosong yang penuh pikiran.

“Ini… pertama kalinya aku ke tempat seperti ini,” gumamnya lirih. “Cukup tenang, ya…”

Daniel menuntunnya menuju kursi dekat jendela yang menawarkan pemandangan jalanan malam yang masih sedikit ramai. Ia menarikkan kursi untuk Mia, lalu menyerahkan buku menu kepadanya.

“Aku sudah mencoba hampir semua restoran di sekitar venue konser kemarin. Tapi… entah kenapa, aku berharap kau akan menyukai tempat ini.”

Mia menerima buku menu itu dengan perlahan. Jemarinya menelusuri sampulnya, namun tatapannya tak benar-benar membacanya. Ia justru lebih tertarik memperhatikan dinding kayu yang hangat, lilin kecil di meja, dan musik jazz mengalun lembut yang diputar di latar belakang.

“Kau benar…” katanya akhirnya. “Aku menyukai suasananya. Kau… sungguh mengenalku dengan baik, Daniel.”

Daniel tersenyum sangat lebar. Andaikan ekornya bisa terlihat pasti sudah bergetar kegirangan saat ini.

“Kalau begitu, pesanlah apa pun yang kau suka. Hari ini aku yang traktir,” ujarnya dengan penuh semangat.

Mia sempat ingin menolaknya.

“Tapi—”

“Tidak ada tapi-tapian,” potong Daniel dengan cepat, “Hari ini, kau hanya perlu makan yang banyak… dan merasa bahagia.”

Beberapa saat kemudian, pesanan mereka telah tiba. Uapnya mengepul, aroma daging panggang dan sup miso memenuhi meja. Daniel menyendok suapan pertamanya, lalu menatap Mia dengan mata antusias.

“Bagaimana, enak, kan? Aku bahkan bela-belain antre waktu pertama kali datang ke sini. Sampai hujan-hujanan, loh?”

Mia terkekeh pelan, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.

“Ya… aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali makan sambil tertawa.”

Daniel menatapnya begitu dalam. Ada rasa haru sekaligus nostalgia yang menyelusup ke dalam dadanya. Malam ini terasa seperti mimpi.

“Kelinci kecil…” bisiknya. “Aku… sangat senang. Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi seperti ini.”

Ucapan itu menggantung di udara.

Mia membiarkan keheningan menyelimuti udara. Kemudian ia menatap makanannya sebentar, lalu meletakkan sendoknya dengan pelan di sisi piringnya. Lalu sorot mata itu berubah.

“Daniel…” katanya pelan. “Terima kasih, ya… karena sudah mengajakku ke konser dan membawaku ke tempat seindah ini. Tapi...”

Daniel menyipitkan matanya, ia merasakan ada firasat buruk. Suasana restoran yang semula nyaman kini terasa mencekam dan seakan waktu ikut menahan napas.

"Tapi apa?" tanyanya dengan hati-hati.

Mia menundukkan kepala.

"Aku sekarang sudah menikah," ucapnya dengan lirih.

Mata Daniel membesar. Ia terdiam selama beberapa detik. Namun, dengan kekuatan luar biasa ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk senyum hangat meski air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Aku tahu itu," katanya akhirnya.

Mia sontak terkejut.

"Kau... tahu?"

Daniel mengangguk pelan, ia menundukkan kepala sejenak untuk menahan gejolak yang mulai meluap.

"Aku dengar dari seorang teman, tapi meski begitu, aku tetap menyukaimu, Mia. Sejak dulu, hatiku hanya akan aku berikan padamu."

"Daniel..." ucapannya lirih, nyaris hilang begitu saja.

Daniel menatapnya dengan lekat. Ada kesedihan di dalam sorot matanya.

"Aku tahu kau sedang mengalami sesuatu yang buruk," ujarnya pelan. "Cahaya itu... semangat dan keceriaanmu... semuanya menghilang. Kau bukan seperti Mia yang dulu ku kenal."

Mia mengalihkan pandangannya dari Daniel, ia menatap jendela restoran seolah berharap ia bisa melarikan diri lewat sana.

"Itu bukan urusanmu," jawabnya cepat. "Aku hanya... jatuh dari tangga waktu itu. Bukan karena—"

"Jangan berbohong padaku!" potong Daniel dengan nada tajam. Lalu ia menggenggam tangan Mia dengan erat. "Aku melihat bekasnya. Itu bukan luka karena terjatuh, aku sangat yakin. Itu... luka dari kekerasan, bukan?"

Seperti disengat petir, Mia membeku, napasnya tercekat, dan tatapannya membesar.

"Daniel, tolong... lepaskan tanganku dulu," pintanya dengan suara gemetar.

Daniel tidak langsung melepaskannya, namun genggamannya mulai melemah. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya dipenuhi oleh keputusasaan.

"Aku mohon, Mia... beri aku kesempatan. Aku tidak menuntut apa-apa darimu. Biarkan aku tetap di sisimu... sebagai teman... atau apapun yang kau mau. Aku hanya ingin kau aman."

Mia menundukkan kepala dan mencoba menarik tangannya dari genggaman Daniel, namun gagal. Akhirnya ia menghela napas panjang, mencoba mengatur detak jantungnya yang tidak karuan.

"Baiklah..." bisiknya pelan. "Aku mengerti. Tapi tolong... lepaskan dulu tanganku. Ini sangat tidak nyaman..."

Sebelum Daniel sempat menjawab, tiba-tiba suara dingin menyusup dari arah belakang mereka.

"Wah... sejak kapan kau jadi begitu populer, Mia?"

Mia seketika membeku. Ia mengenali suara itu. Tubuhnya bergetar pelan. Lalu ia menoleh dengan cepat, detik itu juga matanya membelalak karena terkejut.

"Ch-Chris?"

Sosok pria berdiri tidak jauh dari mereka, tubuhnya berdiri tegak, matanya tajam dan menusuk, jangan lupa, senyuman sinis tergantung di wajahnya.

"Begini caramu bermain trik sekarang?" tanya Christopher dingin. "Duduk berdua, bergenggaman tangan... manis sekali."

Napas Mia tercekat. Tatapan Christopher menusuk jauh ke dalam jiwanya membuat semua keberaniannya runtuh seketika. Di meja itu, tangannya dan Daniel masih saling bertaut.

Sebenarnya, malam itu Christopher hanya berniat menikmati makan malam santai setelah menonton konser bersama Lusy. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya yang akhir-akhir ini terasa begitu tegang. Namun, saat hendak masuk ke sebuah restoran kecil di sudut kota, langkahnya tiba-tiba terhenti.

Suara lembut yang tidak asing memanggil perhatiannya. Suara itu, yang selama ini mengisi mimpi dan kenangan pahitnya, suara itu milik Mia.

Tanpa berkata sepatah pun, Christopher mengikuti arah suara itu. Diikuti Lusy yang melenggang di sampingnya, mereka melangkah masuk dan berhenti di sebuah sudut tersembunyi restoran. Dari celah ruangan, Christopher menyaksikan pemandangan yang membuat darahnya mendidih, ia melihat Mia dan Daniel duduk berdua, dengan tangan yang masih bertaut erat.

"Bukankah itu Mia?" Lusy berpura-pura terkejut, meski senyumnya sekilas menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar keterkejutan.

Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Christopher, "Kenapa dia bisa bersama Daniel? Bukankah dulu Daniel sangat menyukainya? Apa mereka masih saling berhubungan di belakangmu?"

Jawaban tak segera datang dari Christopher. Matanya terasa memanas. Dadanya terasa sesak oleh amarah yang sulit dikendalikan. Tanpa memperdulikan suasana restoran itu, ia melangkah cepat ke arah mereka dengan ekspresinya yang gelap dan penuh murka.

Tatapannya langsung tertuju pada tangan Mia dan Daniel yang masih bertaut.

Mia tersentak saat melihat kehadiran pria itu. Sontak Mia merasa panik, ia langsung menarik tangannya dari genggaman Daniel dan berdiri terburu-buru.

"Kak! Ini… ini bukan seperti yang kau pikirkan!" ucapnya gugup. "Kami hanya menonton konser… lalu aku lapar… dan Daniel—"

"Diam, Lee Mia!!" bentak Christopher tajam hingga beberapa orang di restoran ikut menoleh kearah mereka. "Kau benar-benar menjijikkan!"

Wajah Mia langsung memucat. Tubuhnya menggigil saat mendengar suara Christopher yang bergemuruh penuh dengan kemarahan.

"Berani sekali kau berbicara padaku setelah ketahuan berselingkuh seperti ini!" lanjut Christopher, matanya masih menatap tajam ke arah Daniel.

Mia menunduk. Air matanya mulai berkumpul di pelupuk matanya, tetapi ia berusaha menahannya mati-matian.

"Ingin balikan dengan cinta lama, ya?" Christopher mencibir. "Kalian pasti pasangan yang cocok. Sama-sama munafik dan pandai bersembunyi."

"Kau bahkan belum menandatangani surat perceraian itu," lanjutnya, suaranya kini lebih rendah tapi tajam begitu menusuk hati. "Tapi sekarang, dengan wajah tidak tahu malumu, kau malah menggoda pria lain? Hebat. Kau benar-benar penggoda yang handal."

"Tidak..." gumam Mia. Suaranya pelan dan bergetar. "Kami hanya kebetulan bertemu di rumah sakit saat itu. Ini pertama kalinya kami keluar bersama. Hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, aku janji. Aku akan pulang sekarang."

Ia berusaha berdiri tegak, tapi sorot mata penuh kemenangan dari Lusy membuat hatinya terasa tercabik. Tangannya mengepal erat, ia berusaha menahan gejolak emosi yang hampir meledak.

Namun saat langkahnya hendak berbalik, ia menoleh dan akhirnya bertanya dengan pelan namun juga jelas.

"Kalau begitu... kenapa kau bisa bersama Lusy?" katanya sambil menatap tajam ke arah wanita di samping Christopher. "Bukankah kalian juga makan malam berdua? Kalau kau bisa... kenapa aku tidak?"

Christopher tertegun. Sorot matanya kini berubah.

"Apa... kau berani menuduhku sekarang?" tanyanya perlahan, tidak percaya akan keberanian Mia.

Suasana kian membeku, ketegangan seolah menari di antara hembusan napas. Tidak ada yang berani bersuara. Hanya napas berat dan perasaan yang menggumpal di antara mereka.

.

.

.

.

.

.

.

- TBC -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!