🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Daffa, aku kembali...
1 bulan kemudian...
Siang ini Fera datang menjemput Celine di bandara, dengan menaiki mobilnya sendiri dia membawa sahabatnya itu ke apartemen yang sudah disiapkan. Satu minggu lalu Celine menghubunginya dan menyuruhnya untuk menyiapkan sebuah apartemen untuknya. Selain itu Celine juga meminta Fera untuk merahasiakan kepulangannya dulu pada siapapun, termasuk pada Dion, suami Fera.
Sengaja Celine melakukan itu karena dia ingin memberikan kejutan untuk Daffa. Begitu yakin jika cintanya Daffa masih utuh untuknya, apalagi setelah mendengar cerita dari Fera selama di mobil tadi yang semakin memperkuat keyakinannya itu. Semakin tidak sabar saja dia ingin menunggu waktu dimana mereka akan bertemu kembali, agar rindu yang sudah lama terbendung bisa tersalurkan.
"Jadi kapan kamu mau nemuin, Daffa?" Fera meletakkan gelas berisi minuman dingin diatas meja, lalu dia ikut duduk di atas sofa dimana Celine sedang duduk sambil memandangi foto mantan suaminya.
"Mungkin besok, semakin cepat semakin baik. Aku merindukannya dan dia juga pasti sangat merindukan aku," jawabnya begitu yakin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Celine meletakkan foto ditangannya keatas meja, lalu menghadap ke arah Fera yang duduk disampingnya. "Jadi sekarang dia tinggal dengan keluarganya?"
"Ya, beberapa bulan setelah kamu pergi, kedua orang tua Daffa memintanya untuk tinggal kembali di rumah mereka dengan harapan Daffa bisa bangkit dari keterpurukannya setelah bercerai dan ditinggal oleh kamu," jawab Fera apa adanya, karena memang seperti itu yang dia ketahui.
Hatinya mendadak sakit, mengingat bagaimana dulu dia meninggalkan Daffa dan lebih memilih karir. Sekarang dia sudah menjadi seorang model seperti impiannya, memiliki nama, tapi semua itu tak lantas membuatnya bahagia. Justru selama tinggal di Paris dia terus dihantui rasa bersalah dan penyesalan yang begitu mendalam.
Tapi sekarang dia sudah kembali. Kembali untuk cinta pertamanya, seseorang yang dulu pernah melamarnya dan menjadikannya sebagai istri. Meski karena egonya dia harus mengakhiri semuanya.
Sekarang Celine ingin memperbaiki semuanya, memulai semuanya dari awal lagi. Karena dia tau jika Daffa masih sangat mencintainya dan tidak akan pernah melupakannya.
"Daffa, aku kembali. Dan kali ini aku tidak akan pernah pergi lagi meninggalkan kamu,"
-
-
-
Setelah satu bulan lebih bersama, tinggal di atap yang sama, satu ranjang bersama, kini Daffa sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Aini di hidupnya. Kebiasaan pulang hingga larut malam bahkan sekarang sudah dia tinggalkan dan lebih memilih menemani istrinya dirumah.
Sebuah rumah pun sudah Daffa siapkan sebagai hadiah pernikahan, dan sudah mulai mereka tempati sejak siang tadi. Sengaja Daffa membeli rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman orang tuanya, supaya mamanya bisa datang kapan saja dan bisa menemani Aini jika dirinya sedang tidak ada di rumah.
Sebenarnya Aini sempat menolak karena rumah itu ditujukan untuknya dan atas namanya. Bagi dia yang hanya seorang gadis biasa, rumah semewah itu terasa sangat berlebihan. Namun Daffa terus meyakinkannya. Karena menurutnya membahagiakan istri itu perlu, apalagi dia tergolong mampu.
"Sudah bacanya, dilanjut besok lagi. Sekarang waktunya istirahat." Daffa mengambil alih buku novel yang ada ditangan Aini, menutupnya dan meletakkannya di atas nakas.
"Sudah selesai kerjaannya, Mas?"
Daffa mengangguk, duduk di tepian ranjang menghadap ke arah istrinya, "Sudah, dilanjut lagi besok saja dikantor."
Hampir setiap malam Aini menemani Daffa lembur jika suaminya itu sedang ada kerjaan. Sambil menunggu biasanya dia akan menyibukkan dirinya dengan membaca buku novel supaya tidak menggangu kerja suaminya. Karena Daffa memang sengaja mengerjakan pekerjaannya di dalam kamar supaya dia bisa terus menatap wajah Aini yang akhir-akhir ini mulai mengganggu pikirannya.
"Makasih ya, Mas."
"Makasih untuk apa?"
"Untuk semuanya... Karena kamu sudah memperlakukan aku seperti seorang istri yang sesungguhnya,"
Daffa mengulum senyum, agak sedikit malu dan canggung, "Memangnya istri yang sesungguhnya itu yang seperti apa, Nur Aini Anindita?"
Ekspresinya langsung berubah menjadi tegang, Aini segera meralat ucapannya saat mengerti akan maksud ucapan Daffa.
"Ma-maksud aku... kamu sudah baik sama aku dan sampai membelikan rumah segala. Ya... Walaupun menurut aku ini agak sedikit berlebihan sebenarnya, Mas."
Melihat Aini yang menjawab dengan sedikit gugup, Daffa justru semakin ingin menggodanya, "Yakin cuma itu saja?"
"Ya-yakin, emang mau jawaban apa lagi?" tak kuat menatap lebih lama karena debaran jantungnya semakin tidak bisa dikendalikan, Aini memilih menatap ke arah lain demi bisa menghindari tatapan mata Daffa yang sekarang sedang menatapnya dengan begitu intens.
Sayangnya itu cuma terjadi untuk beberapa detik saja, karena Daffa segera meraih dagunya dan membawanya kembali untuk menatapnya.
"Kita sama-sama tau, jika sebenarnya aku belum sepenuhnya memperlakukan kamu seperti seorang istri yang sesungguhnya. Aku belum melakukan kewajibanku yang lain denganmu, Aini."
Suaranya berat, ada rasa bersalah dalam setiap kata-katanya. Sepenuhnya dia tau ada kewajiban lain yang belum terpenuhi untuk menyempurnakan pernikahan mereka. Belum ada rasa cinta menjadi alasan kuat baginya untuk belum melakukannya meskipun sebenarnya tidak masalah karena mereka adalah suami istri yang sah.
"Mas, kita sudah sepakat tentang ini, dan tidak ada paksaan apapun. Aku..."
Ucapannya terhenti kala jari telunjuk Daffa menempel di bibirnya, bahkan sekarang tangan kekar itu mulai menyapu lembut kulit wajahnya, mengusapnya dengan selembut mungkin, penuh dengan kehati-hatian.
Tatapan ini berbeda dari biasanya, bahkan Aini sulit untuk bisa mengartikannya. Untuk beberapa detik mereka saling terdiam dan hanya mampu saling menatap, membiarkan suara jarum jam berbunyi memenuhi isi ruangan.
"Boleh?"
"Heuh..."
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧