Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Kekuatan Macam apa ini
Langit Jakarta sudah mulai berganti warna dari jingga ke ungu pekat ketika Arjuna akhirnya turun dari bus kota yang sesak. Kepalanya masih sedikit pening, bukan hanya karena guncangan bus, tapi juga karena badai emosi yang ia alami seharian. Hinaan yang ia terima di kampus megah itu masih membekas, terasa perih seperti luka baru. Namun, rasa sakit itu entah bagaimana telah berubah menjadi bara api di dalam dadanya. Di sebuah warnet kecil yang pengap di dekat terminal, dengan sisa-sisa tekad yang berhasil ia kumpulkan, Arjuna telah menyelesaikan semuanya. Ia menelan semua keraguan dan rasa mindernya, memindai dan mengunggah setiap dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran beasiswa Universitas Nusantara Global.
Setiap klik mouse terasa seperti sebuah pembangkangan. Setiap isian formulir adalah pernyataan bisu bahwa ia tidak akan membiarkan hinaan mereka meruntuhkan mimpinya. Ia mungkin miskin dan datang dari desa, tapi otaknya dan hatinya tidak bisa mereka remehkan.
Kini, yang tersisa hanyalah menunggu. Dan bertahan hidup.
Ia berdiri di tepi jalan raya yang ramai, mencari angkot yang menuju ke arah kosnya di Bekasi. Suara klakson dan deru mesin menjadi musik latar yang memekakkan telinga. Saat matanya menyapu sekeliling, mencari papan jurusan angkot yang tepat, perhatiannya teralihkan oleh sebuah pemandangan di mulut sebuah gang sempit yang remang, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sekelompok pemuda—sekitar lima atau enam orang—dengan penampilan khas anak jalanan, tampak mengerumuni seseorang. Gaya mereka intimidatif, postur mereka tegang. Di tengah kerumunan itu, berdiri seorang pemuda lain yang usianya tak tampak jauh berbeda dari Arjuna. Pemuda itu kurus, mengenakan kemeja flanel yang sedikit kebesaran dan memeluk tas selempang tua dengan erat. Wajahnya pucat, dipenuhi ketakutan, namun ada secercah perlawanan di matanya yang menatap para pengeroyoknya.
Sebagian dari diri Arjuna menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Pak Hadi, pria baik hati di kereta, sudah memperingatkannya untuk selalu waspada di Jakarta. Ini bukan urusannya. Ia sudah punya cukup banyak masalah sendiri.
Namun, bagian lain dari dirinya tidak bisa diam saja. Ia teringat bagaimana rasanya menjadi kecil dan tak berdaya saat dihina di kampus tadi. Ia melihat pemuda itu—yang sama sepertinya, seorang perantau yang mencoba bertahan hidup—sedang diintimidasi. Apakah ia akan membiarkan orang lain merasakan ketidakadilan di depan matanya?
Nasihat Eyang Prabu kembali terngiang, "Gunakan untuk kebaikan, bukan kesombongan."
Didorong oleh rasa penasaran dan sentakan nurani yang tak bisa ia abaikan, Arjuna memutuskan untuk mendekat. Ia tidak langsung menghampiri, melainkan berjalan perlahan di seberang jalan, berpura-pura melihat-lihat sambil telinganya berusaha menangkap percakapan mereka.
"Udah, Bos, serahin aja dompet sama HP-nya daripada muka lo ancur!" suara salah satu anak jalanan, yang paling besar badannya, terdengar kasar dan mengancam.
"Jangan, Bang... tolong..." jawab pemuda itu dengan suara bergetar, memeluk tasnya semakin erat. "Ini uang buat bayar sewa kos, Bang. Kalau nggak bayar malam ini saya diusir."
"Halah, gue nggak peduli!" sahut yang lain, seorang pemuda kurus dengan tato di lengannya. "Kita juga butuh duit buat 'malam mingguan'! Lo kerja lagi besok juga bisa!"
"Betul itu! Daripada kita paksa, mending lo kasih baik-baik!"
Jantung Arjuna berdebar lebih kencang. Ini jelas pemalakan. Situasinya bisa menjadi berbahaya. Ia melihat sekeliling, berharap ada satpam atau polisi, namun tidak ada. Orang-orang lain yang berlalu lalang seolah memilih untuk tidak melihat, mempercepat langkah mereka, tak ingin terlibat masalah.
Arjuna mengepalkan tangannya. Cincin di jarinya terasa dingin, namun ada energi samar yang mulai berdenyut dari sana, seolah merespons gejolak emosi dan niatnya untuk menolong. Ia tahu ini gila. Ia hanya seorang diri, sementara mereka berenam. Tapi ia juga tahu, ia bukan lagi Arjuna yang sama seperti saat ia meninggalkan desanya.
Perlahan dan hati-hati, ia menyeberang jalan, mendekati mulut gang itu dari sisi yang sedikit tersembunyi di balik sebuah gerobak pedagang kaki lima yang sudah tutup. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa?
Jantung Arjuna berdetak kencang, memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Ia tahu ia tidak bisa melawan mereka semua sekaligus dalam pertarungan terbuka. Ia harus cerdik. Matanya liar menyapu tanah di sekitarnya, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa ia gunakan. Di dekat kakinya, di antara kerikil dan debu jalanan, tergeletak sebuah batu kecil seukuran ibu jari. Cukup.
Dengan gerakan cepat dan senyap, Arjuna memungut batu itu. Saat jemarinya menggenggam permukaan batu yang kasar, ia merasakan energi dari cincin di jarinya seolah mengalir ke ujung lengannya. Fokusnya menajam. Dunia di sekitarnya seolah melambat. Ia bisa melihat targetnya dengan sangat jelas: kepala bagian belakang dari pemuda bertubuh paling besar yang tadi paling vokal mengancam.
Tanpa ragu, Arjuna melempar batu kecil itu dengan sentakan pergelangan tangan yang kuat dan presisi yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri.
PLAK!
Batu itu melesat akurat, mengenai sasarannya dengan bunyi yang cukup keras.
"ADUH!" Pemimpin gerombolan itu memekik kesakitan sambil refleks memegangi kepalanya. "Sialan! Siapa yang lempar?!"
Seketika, situasi berubah. Kelima temannya yang tadi fokus pada korban kini tersentak kaget. Mereka berhenti mengintimidasi dan langsung menyebar, mata mereka liar menelusuri kegelapan gang dan jalanan di sekitarnya.
"Siapa woi?! Keluar lo, banci! Mainnya lempar-lemparan!" teriak pemuda kurus bertato, suaranya menggema di antara dinding-dinding gang yang sempit.
Pemuda yang menjadi korban pemalakan itu menggunakan momen tersebut. Ia mundur beberapa langkah, menatap sekeliling dengan ekspresi bingung bercampur harapan. Siapa pun yang melempar batu itu, baru saja memberinya celah untuk kabur.
Melihat perhatian mereka teralihkan, Arjuna tahu inilah saatnya. Menarik napas dalam-dalam, ia melangkah keluar dari balik bayangan gerobak. Ia tidak berlari atau berteriak. Ia hanya berjalan dengan tenang dan mantap memasuki mulut gang, menempatkan dirinya di antara gerombolan itu dan korban mereka.
Penampilannya yang tenang dan sorot matanya yang tajam di bawah cahaya lampu jalan yang redup membuat keenam anak jalanan itu tertegun sejenak. Mereka mungkin mengharapkan seseorang yang lebih besar atau lebih sangar, bukan seorang pemuda berpenampilan sederhana yang tampak tidak mengancarkan ancaman sama sekali.
"Lo yang lempar tadi?" tanya si pemimpin gerombolan, menatap Arjuna dengan marah sambil mengusap-usap kepalanya yang masih terasa nyeri.
Arjuna tidak menjawab pertanyaan itu. Matanya menatap lurus ke arah mereka, dingin dan tak gentar. "Dia tidak punya masalah dengan kalian," katanya dengan suara datar namun jelas. "Tinggalkan dia."
Keberanian dan ketenangan Arjuna yang tak terduga itu membuat mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya tawa mengejek meledak dari salah satu dari mereka.
"Hahahaha! Lihat, teman-teman! Ada pahlawan kesiangan!" ejek pemuda bertato itu. "Lo siapa, hah? Mau ikut campur? Lo nggak lihat kita ada berapa orang?"
Si pemimpin gerombolan melangkah maju, melenturkan jari-jarinya hingga berbunyi gemeretak. "Gue nggak peduli lo siapa. Tapi karena lo udah ikut campur, kayaknya HP dan dompet lo juga bakal jadi milik kita malam ini."
Tiga orang mulai menyebar, membentuk formasi setengah lingkaran untuk mengepung Arjuna dan korbannya. Udara terasa semakin tegang. Pemuda yang tadi dipalak kini berdiri di belakang Arjuna, menatap punggung penyelamatnya dengan cemas.
Arjuna tetap diam. Cincin di jarinya terasa semakin dingin, seolah mengumpulkan energi. Ia tidak menginginkan ini, tapi jika mereka memaksa, ia akan menggunakan kekuatan yang baru ia sadari untuk melindungi bukan hanya dirinya, tetapi juga orang lain yang tak berdaya. Pertarungan tampaknya tak terhindarkan.