Jingga seorang gadis cantik yang hidupnya berubah drastis ketika keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang justru menjadi orang pertama yang melemparkannya keluar dari hidup mereoka. Dibuang oleh ayah kandungnya sendiri karena fitnah ibu tiri dan adik tirinya, Jingga harus belajar bertahan di dunia yang tiba-tiba terasa begitu dingin.
Awalnya, hidup Jingga penuh warna. Ia tumbuh di rumah yang hangat bersama ibu dan ayah yang penuh kasih. Namun setelah sang ibu meninggal, Ayah menikahi Ratna, wanita yang perlahan menghapus keberadaan Jingga dari kehidupan keluarga. Davin, adik tirinya, turut memperkeruh keadaan dengan sikap kasar dan iri.
Bagaimanakan kehidupan Jingga kedepannya?
Akankan badai dan hujannya reda ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R²_Chair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menata Hari Tanpa Arjuna
Sudah lebih dari dua minggu semenjak Arjuna menghilang tanpa sepatah kata.
Dan dalam rentang waktu itu, Jingga berulang kali berharap suatu pagi ia akan melihat bayangan pemuda itu berdiri di antara pepohonan, kamera tergantung di lehernya seperti biasa.
Tapi harapan itu tak pernah jadi kenyataan.Tidak ada jejak langkah.Tidak ada suara jepretan kamera.Tidak ada panggilan santai seperti, "Pagi, calon fotografer baru.”
Terasa kosong dan hampa.Seolah Arjuna memang bukan bagian dari dunia ini sejak awal.Namun satu hal yang tidak kosong adalah kamera kecil yang ia tinggalkan.Kamera itu menjadi bagian dari hidup Jingga, seperti bagian dari dirinya yang baru.
Pagi ini Jingga bangun saat matahari masih malu-malu menembus tirai kayu kamar kecilnya. Ia mengambil kamera di meja, mengusapnya perlahan.
“Pagi,” katanya pelan, seolah kamera itu bisa mendengar.
Ia merapikan syal pemberian Kake Arga lalu keluar. Aroma kopi dan roti bakar memenuhi dapur sederhana.
“Kamu mau sarapan dulu?” tanya Kake Arga.
“Nanti saja, Kek. Aku mau cari cahaya pagi dulu,” jawab Jingga dengan senyum kecil.
Kake Arga mengangguk sambil memperhatikan. “Kamu semakin rajin memotret. Itu bagus.”
Jingga tersenyum. “Aku merasa damai,Kek. Setiap kali memotret,rasanya seperti dunia ini tidak seburuk yang pernah aku pikirkan.”
“Itu artinya kamu mulai menemukan tempatmu.”
Jingga tidak menjawab, tapi dalam hatinya, ia tahu Kake Arga benar.
Setelah pamit pada Kake Arga,Jingga berjalan menyusuri halaman. Apa pun yang ia lihat, ia potret.Rumah Kake Arga yang tua tapi kokoh dengan dinding kayu yang retaknya membentuk pola seperti peta.
Tumbuhan rambat yang merambat di pagar bambu.Kursi goyang tua yang menjadi tempat Kake Arga membaca koran setiap sore.
Beberapa jepretan ia ambi,Jingga merasa setiap sudut rumah itu menyimpan cerita yang ingin ditangkapnya.
Ia memotret bunga liar yang tumbuh tanpa nama.Ia memotret sarang burung kecil yang baru dibangun.Ia memotret bayangan dirinya sendiri yang jatuh di tanah.
Semua terasa penting.
Karena semuanya adalah bagian dari hidup barunya,hidup yang tidak pernah ia kira akan ia miliki.
°°°°
Setelah beberapa hari, Jingga tidak lagi hanya memotret sekitar rumah. Ia mulai melangkah lebih jauh ke desa.Orang-orang mulai mengenalnya, setidaknya sebagai gadis muda yang selalu membawa kamera.
“Pagi, Jingga!” seru Ibu Lira, pemilik warung kecil.
Jingga mengangguk dan memotretnya saat sedang menyusun sayur.
Ibu Lira hanya tertawa. “Nanti aku jadi terkenal nih, difoto-foto.”
Jingga tersenyum malu. Dia mulai nyaman dengan candaan kecil seperti itu hal yang dulu mungkin membuatnya gugup.
Ia memotret anak-anak desa yang berlari mengejar layang-layang.Ia memotret pak tua yang sedang memperbaiki alat pancing.Ia memotret langit biru yang bersih tanpa suara pertengkaran seperti di rumah lamanya.
Seakan setiap sudut desa memberi Jingga sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari keluarga kandungnya yaitu ruang untuk bernapas.
Jingga berhenti sesaat tepat di depan sebuah jalan dimana dulu ia dan Arjuna pernah jalan berdua sambil memotret.
Walau Arjuna menghilang,bayangannya tetap menyertai Jingga. Bukan sebagai seseorang yang ia cari karena kehilangan, tetapi sebagai sosok yang meninggalkan bekas baik dalam hatinya.
“Lihat dengan hati, bukan hanya mata.”
Kalimat Arjuna yang selalu terngiang di telinganya,seolah pengingat setiap kali ia akan memotret.Dan ia mempraktikkan itu setiap hari.Ia mulai mengerti mengapa Arjuna selalu berbicara tentang cahaya.
Cahaya bukan sekadar sinar matahari.
Cahaya bisa berupa momen kecil yang membuat hati bergetar.
Cahaya bisa datang dari senyum Kake Arga.
Dari suara air sungai.Dari langkah anak kecil yang berlarian.Dari angin lembut yang mengusap wajah.Cahaya juga bisa datang dari luka yang perlahan sembuh.
Setelah puas,Jingga langsung pulang ke rumah Kake.Suasana masih sama,sunyi namun terasa hangat.Hingga malam menjelang setelah makan malam bersama Kake Arga, Jingga duduk di teras sambil melihat hasil fotonya.
“Bagus-bagus semua,” komentar Kake Arga sambil melihat salah satu foto. “Kamu punya bakat.”
Jingga tertawa kecil. “Masih belajar, Kek.”
“Belajar yang tekun. Kamera itu sudah menemukan tuannya.”
Jingga memeluk kamera itu. “Kadang aku masih mikir, kenapa Arjuna memberikan kamera ini padaku.”
Kake Arga menghela napas pelan. “Mungkin karena dia melihat kamu membutuhkan sesuatu untuk menggenggam masa depanmu sendiri.”
Jingga menatap bintang.
“Kamu kangen dia?” Kake Arga bertanya tanpa menatap langsung.
“Bukan kangen lebih ke penasaran, Kek. Rasanya seperti ada teka-teki besar yang belum selesai.”
“Kalau dia memang bagian dari hidupmu, suatu hari kamu akan bertemu lagi. Kalau tidak dunia akan menggantikan tempatnya dengan orang lain yang lebih berarti.”
Jingga terdiam lama. Kata-kata Kake Arga selalu masuk seperti air ke tanah kering.
Jingga menghela napasnya,Kake Arga benar.Sekeras apapun Jingga mencari jika Arjuna bukan untuknya pasti tidak akan bertemu lagi.
Dan sejak itu, Jingga tidak lagi mencari Arjuna.Ia memotret seperti yang Arjuna inginkan melihat dunia,menangkap cerita.
Ia memotret pagi yang berkabut.Ia memotret petani yang pulang membawa karung padi.Ia memotret seekor kucing yang tidur di bawah pohon mangga.
Setiap kali menekan tombol kamera, ia merasa semakin dekat pada dirinya sendiri.Semakin jauh dari masa lalu yang menyakitkan.Kadang, ketika ia melihat hasil foto yang bagus, ia tersenyum,
“Lihat, Ka juna. Aku belajar.” Lirihnya
Dan walaupun Arjuna tidak di sana, Jingga merasa seolah seseorang mendengarnya.
Hari-hari Jingga tidak lagi ditandai dengan rasa kehilangan.Ia mulai membantu Kake Arga lebih banyak membersihkan pekarangan, menjemur hasil kebun, memasak makanan sederhana.
Kehidupannya mungkin tidak sempurna.Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa harus membuktikan apa pun.Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri.
Dan kamera itu,kamera pemberian Arjuna menjadi saksi bagaimana Jingga mulai tumbuh menjadi gadis yang berbeda.
Lebih kuat.
Lebih tenang.
Lebih percaya diri.
Terkadang, Jingga masih mendongak ke bukit, berharap melihat Arjuna duduk di sana.Tapi ia tidak lagi merasa sendirian ketika harapan itu tidak terwujud.
Karena kini, ia punya dunia yang ia bangun sendiri.Ia punya Kake Arga.Ia punya desa yang menerimanya.Dan ia punya cahaya baru dalam hidupnya yaitu cahaya yang ia ciptakan melalui lensa kamera.
Jingga naik ke atas kasur, sebelum tidur Jingga menatap kamera kecil itu sekali lagi.Ia menyentuh ukiran kecil di dalamnya.
~A.R.~
“Kamu di mana sekarang?” bisiknya.
Namun Jingga tersenyum.
“Tidak apa-apa. Aku akan terus memotret. Seperti janjiku.”
Ia merapikan selimut dan memejamkan mata.Besok, ia akan memotret lagi.Ia akan merekam dunia yang perlahan menerimanya.Ia akan membangun hidupnya sendiri, sudut demi sudut, cahaya demi cahaya.
Dan tanpa ia sadari, perjalanan yang lebih besar sudah menantinya di balik hari-hari sederhana itu.
...🍀🍀🍀...
...🍃Langit Senja Setelah Hujan🍃...