"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."
🌊🌊🌊
Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.
Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.
Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.
Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.
Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.
Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.
Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Kencan yang Manis
Rafael akhirnya memilih mengajak Serafina jalan-jalan dengan sepeda tua milik keluarga De Luca. Sebenarnya ada motor, tapi setelah seharian melaut, Rafael merasa dirinya masih terlalu bau laut dan berdebu. “Lain kali aku akan ajak kau naik motorku,” janjinya, sambil menyodorkan sadel sepeda yang telah dilap.
Serafina dengan ceria duduk di sadel belakang, posisi menyamping, tangannya erat memegang pinggang Rafael. Jari-jarinya tak henti-hentinya menelusuri tekstur tanktop dan meraba otot perut yang keras di baliknya, membuat Rafael tergelak.
“Sera, tolong ... kita sedang di jalan umum,” pinta Rafael, suaranya parau, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan.
Mereka menyusuri jalan sempit di antara tebing dan pagar pembatas laut. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut Serafina. Di tengah perjalanan, Serafina bercerita.
“Aku ... sebenarnya tidak bisa naik sepeda.”
Rafael terkejut. “Belum pernah sama sekali?!”
“Pernah sekali, waktu kecil. Lalu jatuh dan trauma sejak itu,” aku Serafina.
“Kalau begitu, hari ini adalah hari yang tepat untuk melawan traumanya,” ucap Rafael dengan keyakinan yang menenangkan. Saat Serafina bertanya tujuan mereka, Rafael menjawab, “ke Via delle Conchiglie. Jalan Kerang.”
Sesampainya di sana, Serafina terkagum-kagum. Jalan setapak kecil itu membentang dari ujung desa menuju tebing yang landai ke laut. Yang membuatnya spesial, sepanjang pinggiran jalan dipenuhi oleh tumpukan kerang-kerang indah berwarna-warni, disusun rapi membentuk pola-pola sederhana.
“Setiap musim panas, anak-anak di Mareluna akan menambahkan kerang baru yang mereka kumpulkan di sini,” jelas Rafael, matanya berbinar melihat kekaguman Sera.
Dia lalu dengan sabar mulai mengajari Serafina bersepeda. Prosesnya penuh dengan kelucuan dan kelembutan. Rafael tidak pernah melepaskan pegangannya dari sadel belakang. Tangannya yang kuat menopang Serafina yang goyah.
“Tetaplah lurus, Bella. Lihat ke depan, jangan ke roda.”
Bella. Yang artinya cantik membuat Serafina tidak fokus karena Rafael mengucapkannya dengan mudah.
“Sera, jangan kaku, ikuti saja gerakan sepedanya.”
“Dengarkan suaraku, aku di sini. Aku tidak akan melepaskanmu.”
Suara Rafael yang tenang dan stabil seperti jangkar bagi Sera. Sesekali, saat Serafina berhasil menjaga keseimbangan selama beberapa detik, Rafael akan mengecup pundaknya dengan cepat. Atau, dengan lembut, dia akan merapikan poni Serafina yang berantakan diterpa angin, jarinya menyentuh kulit dahinya dengan penuh kasih sayang.
Lambat laun, rasa takut Serafina mencair. Dia mulai percaya diri. Dan kemudian, tanpa disadari Sera, Rafael melepaskan pegangannya.
Serafina mengayuh beberapa meter sendirian sebelum sadar. Dia menoleh dan kaget melihat Rafael berdiri jauh di belakang, tersenyum lebar. Untuk sesaat, Serafina pura-pura menangis, tapi ekspresinya segera berubah menjadi kebanggaan yang tak terbendung.
“AKU ... AKU BISA!” teriaknya, tak percaya.
“Selamat, Bella! Kau hebat!” balas Rafael, berteriak sambil bertepuk tangan.
Dengan penuh semangat, Serafina memutar sepedanya dan mengayuh kembali ke arah Rafael, kali ini dengan stabil dan percaya diri. Begitu sampai, dia melompat dari sepeda dan langsung berlari memeluk Rafael erat-erat.
Rafael memutar tubuh ringan Serafina di dalam pelukannya, lalu mengecup keningnya dengan penuh rasa sayang. Mereka tetap berpelukan di antara hamparan kerang dan gemericik ombak di bawah.
“Rafa,” bisik Sera, wajahnya masih tertanam di dada Rafael. “Aku ... aku khawatir dengan pekerjaanmu. Pergi dini hari, pulang pagi. Kadang berangkat malam, pulang tengah malam. Apalagi saat musim dingin atau hujan badai. Laut itu berbahaya.”
Rafael mendekatkan dahinya ke dahi Sera. “Itu adalah hidupku, Sera.”
“Tidak bisakah kau jadi penggembala saja? Seperti Papà-mu?” pinta Sera, suaranya kecil.
Rafael menghela napas. “Aku anak kedua. Kakak perempuanku, Giada, mewarisi gangguan paru-paru yang ringan dari Mama. Dia tidak bisa menjadi tulang punggung utama. Aku yang harus memikul tanggung jawab itu sekarang.”
“Tapi ada Papà-mu..”
“Papà dan Mamma sudah waktunya beristirahat dan menikmati masa tua mereka. Aku masih muda dan kuat, tidak boleh bermalas-malasan,” potong Rafael dengan tegas, namun lembut.
Serafina akhirnya menghela napas. “Kalau begitu, aku ingin suatu hari nanti diajak ke laut bersamamu. Naik perahumu.”
Rafael terkekeh. “Kau? Yang waktu itu muntah-muntah di dermaga?”
Serafina mencibir. Rafael lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Sera. “Aku senang kau datang ke hidupku, Serafina. Selama ini, yang selalu ku cari adalah ikan. Tapi akhir-akhir ini, yang ingin ku peluk dan ku cium bukan lagi ikan, melainkan dirimu.”
Serafina tersipu. “Apa kau sering mencium ikan?"
“Tentu,” jawab Rafael, pura-pura serius. “Dan ikan yang terakhir ku cium berubah menjadi putri yang sangat cantik.”
Serafina tertawa. “Itu hanya dongeng!”
“Tidak,” bantah Rafael, matanya berbinar. “Ikan itu adalah Mila.”
Lawakannya yang tidak lucu itu justru membuat Serafina tertawa terbahak-bahak. Hari yang indah itu mereka akhiri dengan sebuah ciuman yang panjang dan manis, sebelum hujan deras tiba-tiba turun di siang yang terik, memaksa mereka pulang.
...🌊🌊🌊...
Di jalan menanjak menuju rumah Livia, Rafael hanya mengantarkan Serafina sampai di bawah. Elio sudah menunggu di sana dengan payung, wajahnya seperti batu.
Serafina yang basah kuyup membuat Rafael merasa bersalah. “Maaf, Elio. Aku tidak menyangka hujan akan turun secepat ini.”
Elio membalas dengan nada dingin. “Kalau kau ingin membuatnya sakit, jangan datang lagi!”
Rafael hanya bisa memandang mereka naik ke atas, sambil tetap duduk di sadel sepedanya yang basah di tengah hujan gerimis. Dia melambai ketika Serafina menoleh, melihat tatapan tidak suka dari Elio yang membuatnya tersenyum kecut sebelum akhirnya mengayuh sepedanya pulang.
Di rumah, Livia tampak khawatir. “Dio mio! Kau basah kuyup, Sayang! Dan kulitmu ... semakin gelap sejak pertama datang ke sini.”
*Ya Tuhan
Elio dengan kasar menarik lengan Serafina ke dalam. “Mandi. Sekarang.”
Serafina, yang terluka oleh sikapnya, membalas, “kenapa kau jadi begitu kasar, Elio? Hanya karena aku dekat dengan Rafael?!”
Elio menghadapnya, wajahnya penuh dengan konflik. “KARENA KAU BISA KEMBALI SUATU HARI NANTI! KE KELUARGA ROMANO! AKU AKAN TETAP MENJADI PENGAWAL PRIBADIMU, DAN KAU AKAN MENIKAH DENGAN SESEORANG DARI KELUARGA TERNAMA, BUKAN ... BUKAN SEORANG NELAYAN!”
Air mata Serafina meleleh. “BERHENTI, ELIO! Berhenti memberiku harapan palsu itu! Aku sedang berusaha hidup di sini, melupakan semua tentang Romano!”
Livia di dapur menghela napas, bergumam, “badai telah datang. Seorang pengawal yang jatuh cinta pada nonanya.”
Di depan pintu kamar mandi, Elio akhirnya menunduk. “Maaf, Signorina. Aku ... aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”
Serafina tidak menjawab.
Dia berbisik sekali lagi ke daun pintu yang tertutup. “Maaf.”
Di dalam hatinya, dia bersyukur belum keceplosan mengungkapkan perasaan sesungguhnya—perasaan yang jauh lebih dari sekadar seorang pengawal pada nonanya. Rasa sakit karena ditolak sudah cukup pahit, apalagi jika rahasia hatinya yang terdalam ikut tercampak.
...🌊🌊🌊...
Elio segera menarik Serafina yang masih berteriak histeris. “Sudah, Signorina! Pulang!”
“Tidak! Rafael! Aku harus menemukan Rafael!”
“Dia sudah tidak ada!” hardik Elio, menariknya lebih keras, menyeretnya kembali ke rumah Livia.