NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:414
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Fiksi yang Bocor

"Kok saya ngerasa kenal Mas ya? Rasanya kayak Mas pernah janji mau selalu ada." kata gadis itu.

Rian hanya bengong sambil melihat gadis itu, memperhatikan tanpa berkedip.

"Mas? Mas Rian?"

Suara gadis kurir itu menarik Rian kembali dari lamunannya. Gadis itu masih berdiri di sana, memegang vas bunga yang hampir jatuh tadi dengan canggung. Kacamatanya miring, dan ada noda tanah di ujung hidungnya. Sangat manusiawi. Sangat... tidak sempurna.

Berbeda dengan Elara di dalam "mimpi" yang selalu terlihat agak glowing selayaknya tokoh utama novel, gadis di depannya ini terlihat lebih real. Rambutnya diikat asal-asalan, ada kantung mata tipis, dan seragam kurirnya kebesaran.

Tapi mata itu. Tatapan itu. Dan luka parut di tangan kirinya.

"Nama kamu siapa?" tanya Rian. Suaranya terdengar mendesak, membuat gadis itu sedikit mundur karena kaget.

"Eh? Emm..." Gadis itu menyeimbangkan vas bunga di meja, lalu merogoh saku rompinya. Dia mengeluarkan sebuah kartu nama yang lecek. "Saya Lara. Lara Elvira. Saya kerja part-time di florist depan rumah sakit."

Lara Elvira.

Elara.

Rian tersenyum tipis. Ternyata di dunia nyata, namanya cuma dipisah spasi.

"Lara," ulang Rian, merasakan nama itu bergulir di lidahnya. "Tangan kamu... kenapa?"

Lara refleks menyembunyikan tangan kirinya ke belakang punggung. Wajahnya memerah malu. "Oh, ini... konyol sih, Mas. Dulu pas SMA saya pernah iseng mainan pulpen, terus kepeleset pas lagi lari, eh nancep. Bekasnya nggak mau ilang sampai sekarang. Jelek ya?"

"Nggak," jawab Rian cepat. "Itu bukti. Bukti kalau kamu pejuang."

Lara mengerutkan kening, bingung dengan pujian random dari pasien yang baru sadar koma ini. "Mas aneh ya. Tapi... makasih."

Rian mengambil tuts piano hitam yang ada di meja. Dia menyodorkannya pada Lara.

"Coba pegang ini," pinta Rian.

"Buat apa?" Lara ragu, tapi rasa penasaran, sifat dasar Elara yang selalu ingin tahu, memenangkannya. Dia mengulurkan tangan kanannya dan menyentuh permukaan kayu eboni tuts itu.

TING!

Sebuah suara denting piano yang sangat jernih dan tinggi terdengar di ruangan itu. Bukan dari HP, bukan dari speaker, tapi langsung bergema di udara.

Lara tersentak kaget dan menarik tangannya seperti kesetrum.

"Mas denger itu?" tanya Lara panik, matanya membelalak.

"Denger," Rian mengangguk mantap. "Itu nada C8."

"Kok bisa...?" Lara menatap tuts mati itu dengan horor sekaligus takjub. "Tadi pas saya pegang, rasanya kayak... ada listrik. Terus saya kayak liat kilatan gambar. Ada salju... ada piano rusak... dan ada Mas Rian pake jas hujan kuning."

Jantung Rian berdegup kencang. Dia ingat. Atau setidaknya, jiwanya ingat.

"Itu bukan cuma kilatan, Lara," kata Rian serius. "Itu memori."

Lara menggelengkan kepala, berusaha menepis perasaan aneh itu. "Aduh, kayaknya saya kebanyakan hirup pestisida bunga deh. Jadi halu."

Lara buru-buru merapikan rompinya. "Yaudah Mas, tugas saya udah selesai. Bunganya ditaruh sini ya. Semoga cepet sembuh. Dan... soal ngopi itu..."

Lara menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak, lalu tersenyum malu.

"...kalo Mas udah boleh pulang, mampir aja ke toko bunga. Di sebelahnya ada coffee shop. Siapa tau Mas mau nepatin janji yang saya nggak tau kapan Mas buatnya itu."

Setelah mengucapkan itu, Lara berbalik dan berjalan cepat keluar kamar, seolah melarikan diri dari rasa kikuk yang menyerangnya. Dia sempat menabrak kusen pintu sedikit sebelum menghilang di koridor.

Rian tertawa kecil. Tawa yang terasa sakit di rusuknya, tapi melegakan di hatinya.

Dia ada. Elara ada. Nyata, hidup, dan sama cerobohnya.

Tapi senyum Rian perlahan memudar saat dia melihat kembali ke buku catatan di pangkuannya.

Kalimat yang baru saja dia tulis:

"Bab 32: Cara Menghidupkan Orang Mati dengan Tinta dan Kenangan."

Tinta pulpen di kertas itu... bergerak.

Rian mengucek matanya. Dia pikir itu efek obat. Tapi tidak. Tinta biru standar dari pulpen rumah sakit itu perlahan berubah warna menjadi emas berkilau. Huruf-hurufnya bergeser sedikit, memperbaiki tulisan tangan Rian yang jelek menjadi tipografi yang rapi dan elegan.

Dan di bawah kalimat itu, muncul paragraf baru dengan sendirinya. Tinta emas itu merembes dari serat kertas, membentuk kata-kata:

"Sang Penulis mengira dia sudah menutup buku. Tapi dia lupa, tinta yang tumpah tidak bisa dimasukkan kembali ke dalam botol. Fiksi yang terlalu kuat akan membocorkan realitas. Dan sekarang, monster-monster itu tidak butuh portal lagi. Mereka hanya butuh... izin."

Rian membeku. Bulu kuduknya meremang.

Ini tulisan siapa?

Ini bukan tulisan Adrian. Gaya bahasanya beda. Ini lebih mirip... narasi sistem.

Rian menatap punggung tangan kanannya. Urat-urat emas di bawah kulitnya berdenyut lagi.

"Gue masih punya akses admin?" bisik Rian tak percaya.

Dia harus mengetesnya.

Rian mengambil pulpennya. Dengan tangan gemetar, dia menulis kalimat sederhana di bawah paragraf emas itu:

"Seorang perawat masuk membawa segelas jus jeruk dingin."

Rian menunggu. Satu detik. Dua detik.

Ceklek.

Pintu kamar terbuka. Seorang perawat, bukan yang tadi, masuk membawa nampan.

"Permisi Mas Rian," kata perawat itu ramah. "Ini ada tambahan vitamin dari dokter gizi. Jus jeruk dingin. Diminum ya biar seger."

Perawat itu meletakkan gelas berembun itu di meja, lalu keluar lagi.

Rian menatap gelas jus itu dengan horor.

Itu terjadi. Benar-benar terjadi.

Dia baru saja menulis realitas.

Rian menyadari implikasinya. Jika dia bisa menulis realitas di sini, berarti "Dunia Nyata" ini... mungkin juga rapuh. Atau lebih buruk lagi, kekuatan Villa Edelweiss sudah bocor ke dunia ini lewat dirinya.

"Oke," gumam Rian, keringat dingin mulai bercucuran. "Kalau gue bisa manggil jus jeruk... gue harusnya bisa nemuin yang lain."

Rian membalik halaman buku catatannya. Dia menulis dengan cepat dan tegas:

"Tunjukkan lokasi Sarah dan Bobi sekarang."

Tinta emas kembali muncul, meresap keluar dari kertas, membentuk sebuah peta kasar. Itu denah rumah sakit ini.

Ada dua titik merah yang berkedip di denah itu.

Titik pertama ada di lantai 1: Kantin Rumah Sakit. Labelnya bertuliskan: [BOBI - COMEDIAN].

Titik kedua ada di lantai 5: Bangsal Psikiatri (Ruang Isolasi). Labelnya bertuliskan: [SARAH - GLITCH].

Rian terbelalak. Sarah di ruang isolasi psikiatri?

Dan di bawah label Sarah, ada teks kecil tambahan:

STATUS: SYSTEM UNSTABLE. MEMORY LEAK DETECTED.

"Sial," umpat Rian. Dia langsung mencabut jarum infusnya dengan kasar.

"Aw!" Darah menetes sedikit, tapi Rian masa bodoh. Dia turun dari kasur, kakinya goyah tapi dia memaksakan diri. Dia menyambar buku catatan, pulpen, dan tuts piano hitam itu.

Rian keluar dari kamar rawat inapnya, berjalan terpincang-pincang menyusuri koridor. Orang-orang melihatnya aneh, pasien dengan baju berantakan dan darah di tangan, tapi Rian tidak peduli.

Dia harus ke lantai 1 dulu. Bobi lebih dekat.

Rian masuk ke lift, menekan tombol 1. Jantungnya berpacu.

Ting.

Pintu lift terbuka di lantai 1. Aroma makanan kantin menyeruak. Rian berjalan cepat menuju kantin yang ramai.

Matanya menyapu sekeliling. Dan di sana, di meja pojok, dia melihat sosok yang familiar.

Bobi.

Bobi yang asli. Dia memakai jaket ojol (ojek online) warna hijau. Dia sedang makan soto ayam dengan lahap, sambil tertawa ngakak menonton video di HP-nya. Di sebelahnya ada helm.

Rian menghampirinya, napasnya tersengal.

"Bobi?"

Cowok itu mendongak. Mulutnya penuh bihun. Dia menatap Rian bingung.

"Ya? Siapa ya, Mas?" tanya Bobi polos. Logat bicaranya sama persis. Wajah konyolnya sama persis.

"Bobi... lo inget gue?" Rian memegang meja kantin agar tidak ambruk. "Villa Edelweiss? Piano? Palu Banned?"

Bobi mengerutkan kening, menelan sotonya. "Waduh, Mas salah orang kali. Saya emang namanya Bobi, tapi saya nggak pernah ke villa-villaan. Mahal, Mas. Saya mah narik ojol tiap hari."

Rian kecewa, tapi dia tidak menyerah. Dia mengeluarkan tuts piano hitam itu lagi.

"Pegang ini," kata Rian.

"Jualan jimat ya, Mas? Nggak minat, makasih," tolak Bobi sopan tapi tegas.

"Pegang aja sebentar!" paksa Rian.

Bobi yang kaget akhirnya nurut karena takut Rian ngamuk. Dia menyentuh tuts itu dengan ujung telunjuknya yang berminyak bekas gorengan.

TING!

Bunyi denting itu terdengar lagi.

Mata Bobi mendelik. Dia kaku (freeze) selama tiga detik. Sendok di tangannya jatuh berdenting ke mangkok.

Saat Bobi sadar lagi, dia menatap Rian dengan mulut menganga lebar.

"Anjir..." bisik Bobi. "Gue... gue barusan liat diri gue mukul virus pake palu gede banget. Itu apaan?!"

"Itu ingatan lo yang ilang," kata Rian cepat. "Kita nggak punya banyak waktu, Bob. Lo harus ikut gue. Sarah dalam bahaya."

"Sarah? Sarah yang galak itu?" Bobi memegang kepalanya yang pening. "Gue... gue nggak kenal dia di dunia ini, tapi kok gue kangen dia ya?"

"Ayo!" Rian menarik jaket Bobi.

Mereka berdua lari menuju lift lagi. Kali ini tujuan mereka lantai 5. Bangsal Psikiatri.

Di dalam lift, Rian menulis lagi di buku catatannya: "Lift tidak akan berhenti sampai lantai 5."

Lift langsung melesat naik, mengabaikan orang-orang yang memencet tombol di lantai lain.

Sampai di lantai 5, suasananya beda. Sepi, dingin, dan ada penjaga keamanan di pintu kaca tebal.

"Gimana cara masuknya, Yan? Lo pasien kabur, gue tukang ojol. Mana boleh masuk," bisik Bobi.

"Pake ini," Rian menunjukkan buku catatannya.

Dia menulis: "Penjaga keamanan mendadak sakit perut dan harus ke toilet sekarang juga."

Sedetik kemudian, satpam yang menjaga pintu itu memegang perutnya, wajahnya pucat, dan langsung lari terbirit-birit meninggalkan posnya.

"Sakti bener lo!" Bobi takjub.

Mereka menyelinap masuk. Rian mengikuti peta tinta emas di bukunya. Menuju Ruang Isolasi 3.

Di depan pintu Ruang Isolasi 3, ada jendela kaca kecil untuk mengintip ke dalam.

Rian mengintip.

Di dalam ruangan berdinding busa itu, ada seorang gadis yang duduk di pojok, mengenakan baju pasien pengikat (straitjacket). Rambutnya berantakan.

Itu Sarah.

Tapi Sarah tidak diam. Dia menggumamkan sesuatu terus-menerus sambil membenturkan kepalanya pelan ke dinding busa.

Rian menempelkan telinganya ke pintu.

"...Ctrl Alt Del... Task Manager not responding... System 32 error..."

Sarah menggumamkan istilah komputer.

"Sarah..." panggil Rian.

Sarah menoleh tajam ke arah pintu.

Rian mundur kaget.

Mata Sarah... biru.

Bukan biru normal. Tapi biru bercahaya. Blue Screen of Death.

Di dunia nyata ini, Sarah mengalami gangguan jiwa karena otaknya masih terhubung dengan sistem Adrian.

Sarah menatap Rian lewat kaca kecil itu. Lalu dia menyeringai. Senyum yang terlalu lebar.

"Admin ditemukan," kata Sarah dengan suara yang terdengar seperti dua logam bergesekan. "Mengunduh Virus... 40%..."

Tiba-tiba, lampu di lorong rumah sakit itu berkedip-kedip liar.

Dan dari arah lift di belakang mereka, terdengar bunyi DING.

Pintu lift terbuka.

Keluarlah seorang dokter. Dokter yang tinggi, tegap, dan rapi. Dia mengenakan jas dokter yang sangat putih.

Tapi wajah dokter itu tidak ada. Wajahnya hanyalah halaman kosong.

Dan di tangannya, dia memegang sebuah penghapus papan tulis.

Dokter Tanpa Wajah itu mengangkat penghapusnya ke arah Rian dan Bobi.

"Kalian seharusnya tidak ada di bab ini," suara dokter itu terdengar langsung di kepala mereka. "Kalian adalah Typo yang terlewat."

Dokter itu menggosokkan penghapusnya ke udara.

Dinding di sebelah kiri Rian tiba-tiba hilang, menyisakan lubang putih hampa yang mengarah ke ketiadaan...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!