Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kemarahan bagas
“Mungkin saja,” jawab Arga dengan senyum tipis.
Raut wajahnya yang nampak polos justru membuat penjaga kantin itu ikut tersenyum—namun bukan senyum ramah, melainkan senyum meremehkan.
“Kalau mau selamat, jangan coba-coba membuat onar di depan umum. Apalagi di sekolah,” ucap pria itu, menatap Arga dengan penuh keseriusan.
Arga menaruh roti yang ia pegang, lalu berdiri tegak. Tatapannya tak luput dari wajah pria tersebut, tenang namun tajam.
“Aku hanya seorang murid biasa Pak. Jadi mana mungkin aku berani membuat masalah?” balasnya, masih dengan senyum yang tidak gentar.
Penjaga kantin itu terkekeh singkat. Ia mendekatkan tubuhnya, hingga wajahnya hanya berjarak sejengkal dari Arga. Tatapannya menembus, seperti sedang menguliti lapisan demi lapisan yang coba disembunyikan Arga.
“Murid biasa ya? Heh… kalau benar begitu, kenapa tatapanmu berbeda dengan yang lain?”
Suasana kantin yang mulai tenang kembali menegang. Beberapa siswa yang belum sempat pergi melirik sekilas, lalu buru-buru menunduk, enggan ikut terseret dalam percakapan itu.
Arga mengangkat alis tipis, senyum kecil masih melekat di wajahnya.
“Mungkin Bapak saja yang terlalu peka,” ujarnya santai, tapi nada suaranya terdengar lebih dingin.
Pria itu menyipitkan mata, lalu berbisik rendah.
“Kamu pandai menyembunyikan sesuatu Nak. Tapi ingat… aku sudah terlalu sering melihat senyum seperti itu. Biasanya, orang yang tersenyum seperti itu… tidak pernah benar-benar menunjuk kan jati dirinya yang sebenar nya.”
Arga terdiam sepersekian detik, lalu matanya sedikit menyipit. Senyum tipisnya tetap bertahan, tapi sorotnya berubah—lebih menusuk.
“Kalau begitu… anggap saja Bapak salah orang,” balasnya datar.
Penjaga kantin itu hanya menghela napas, senyumnya berubah menjadi garis miring penuh makna.
“Hati-hati Nak. Dunia ini sempit. Cepat atau lambat… topengmu akan runtuh.”
Tanpa menanggapi lebih jauh, Arga mengambil roti lain, meletakkan uang di atas meja, lalu berbalik pergi dengan langkah tenang.
Pria itu masih menatapnya, senyum meremehkan kembali muncul di wajahnya.
Di sudut kantin, Keysha dan Kinan yang berpura-pura sibuk sejak tadi saling bertukar pandang. Keduanya tahu—percakapan singkat itu bukan sekadar obrolan biasa antara murid dan penjaga kantin. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang tersembunyi di baliknya.
Dalam setiap langkahnya yang menjauh, Arga terus melirik ke belakang sambil pura-pura menggigit roti. Gerakannya tampak santai, tapi sorot matanya waspada.
Di belakang, sang penjaga kantin mengeluarkan pisau kecil—pisau yang biasa ia gunakan untuk mengupas jeruk. Bilahnya ia bersihkan perlahan dengan kain, sementara pandangannya tak pernah lepas dari punggung Arga yang makin jauh meninggalkan kantin.
Siang harinya, saat jam pulang tiba, Arga memilih naik angkutan umum. Ia enggan menerima tawaran Rindi untuk dibonceng, khawatir sepupunya itu dimarahi sang ayah bila ketahuan.
Meski begitu, Rindi tetap bersikeras. Dengan motornya yang dipacu pelan, ia mengikuti angkot dari belakang, memastikan mereka tetap pulang bersamaan.
“Makasi Pak,” ucap Arga sambil turun dari angkot, tangannya menutup pintu mobil sebelum kendaraan itu melaju lagi.
Rindi yang sedari tadi menunggu segera membelokkan motornya ke halaman. Mereka akhirnya tiba bersamaan di rumah—Arga dengan langkah tenangnya memasuki pekarangan, sementara Rindi menuntun motor pelan ke sisi depan rumah.
Namun di saat mereka berdua sudah melangkah mendekati pintu depan, pintu tersebut tiba-tiba terbuka lebar. Di ambang pintu, Bagas berdiri dengan wajah keras, sementara istrinya—dengan tatapan tajam dan kaku—berdiri di sisinya. Keduanya jelas sudah menunggu kedatangan mereka.
“Siang Om,” ucap Arga sopan, berusaha tetap tenang meski suasana terasa menekan.
Rindi hanya menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di depan perut. Ia tak berani menatap langsung ke arah ayah dan ibunya. Ada ketegangan di udara, berbeda dari biasanya.
Namun sikap ramah Arga sama sekali tidak dibalas dengan keramahan. Bagas justru melangkah maju, dan tanpa banyak bicara, tangannya terangkat tinggi.
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Arga. Suaranya memecah udara siang itu.
“Kurang ajar!” bentak Bagas dengan wajah merah menahan emosi. “Baru saja masuk sekolah, sudah berani bikin onar? Dasar ponakan tidak tahu diri!”
Tubuh Arga terdorong ke belakang akibat tamparan dan dorongan keras yang menyusul kemudian. Ia terjatuh ke tanah, debu halaman menempel di seragamnya.
“yah—!” Rindi terperanjat, ingin melangkah maju menolong Arga, tapi langkahnya tertahan saat tatapan ibunya menghujam bagai pisau.
Arga meringis, pipinya panas dan tubuhnya terasa perih. Namun alih-alih membalas, ia bangkit perlahan. Napasnya berat, matanya menatap lurus pada Bagas dengan keberanian yang tak ia tunjukkan sembarangan.
“Om… aku tidak membuat onar. Semua yang Om dengar itu salah paham,” ucap Arga dengan suara bergetar menahan marah sekaligus sakit.
Bagas tidak bergeming. Matanya menyipit, penuh kecurigaan.
“Diam!” bentak Bagas, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Arga.
Suara itu keras, menusuk, membuat suasana halaman depan rumah seketika membeku. Arga yang tadinya masih berusaha menjelaskan dirinya langsung terhenti.
Nafasnya tercekat, matanya menunduk, menerima begitu saja tuduhan yang dilemparkan padanya.
“Dasar anak berandalan!” lanjut Bagas dengan nada penuh amarah.
Tanpa memberi kesempatan, Bagas melayangkan tinjunya ke arah perut Arga.
“Puak!” suara hantaman telak terdengar.
“Ah!” Arga meringis, tubuhnya melipat sambil kedua tangannya spontan menahan perut yang sakit. Wajahnya memerah, bukan hanya karena rasa nyeri, tapi juga karena amarah yang ia pendam keras-keras agar tidak meledak.
Namun Bagas tak puas. Ia kembali mendorong Arga dengan kasar.
“Apa kamu lihat-lihat? Mau jadi jagoan kayak ayahmu, hah?”
Arga terhuyung lalu jatuh ke tanah, terpuruk di halaman. Debu menempel di pakaiannya, namun ia tetap diam, rahangnya mengeras, menahan harga diri dan amarah yang mendidih di dada.
“Yah, jangan keras begitu sama Arga!” suara Rindi pecah, penuh ketakutan. Ia hendak berlari menolong Arga.
Namun sorot tajam Bagas segera menghentikan langkahnya.
“Diam! Sini kamu!” bentaknya lagi, telunjuknya kini mengarah ke putrinya.
Rindi tertegun. Matanya berkaca-kaca, kepalanya menggeleng pelan. Ia menunduk, menolak untuk mendekat.
“Ma, bawa Rindi masuk ke dalam!” perintah Bagas kepada istrinya, nadanya dingin, tak memberi ruang bantahan.
istri bagas yang bernama Ratna nyengir puas melihat arga, ia segera meraih lengan Rindi. “Ayo, ikut mama masuk…” ucap nya sambil menarik rindi.
Rindi menoleh sekilas pada Arga yang masih terpuruk di tanah. Hatinya teriris melihat arga dihina dan dipukul tanpa bisa melawan. Tapi ia tak berdaya. Perlahan ia ditarik masuk ke dalam rumah, sementara Bagas tetap berdiri di depan halaman, menatap Arga seakan ingin memastikan rasa takut itu menancap dalam.
Suasana menjadi hening, hanya terdengar desah napas Arga yang masih berusaha bangkit meski tubuhnya terasa berat.
Dengan senyum khasnya yang selalu menunjukkan keteguhan hati, Arga perlahan bangkit dari posisinya yang terpuruk di tanah. Rasa sakit di pipinya masih membekas, namun sorot matanya tetap tajam, menolak untuk tunduk.
“Jadi ini balasan om… atas semua kebaikan ayahku dulu?” ucap Arga lantang, menatap langsung ke arah Bagas tanpa gentar.
Bagas menyipitkan matanya, wajahnya memerah menahan amarah. Kalimat Arga jelas menusuk harga dirinya. Masa lalu yang berusaha ia kubur namun kembali diungkit hingga membuat nya merasa malu.
“Tutup mulutmu! Dulu dan sekarang itu berbeda! Jangan sok tahu, dasar anak ingusan! Kau tidak tahu apa-apa!” bentak Bagas sambil menunjuk tepat ke wajah Arga.
Arga hanya menarik napas pelan, kemudian menepuk-nepuk seragamnya untuk membersihkan debu. Senyumnya masih mengembang, bukan senyum bahagia, melainkan senyum sinis yang menyiratkan rasa kecewa sekaligus keberanian.
“Dulu om selalu datang meminta pertolongan pada ayahku… dan beliau tidak pernah menolak. Tapi sekarang? Kenapa om justru tidak bisa membalas kebaikan itu?” kata Arga, kali ini dengan nada tenang namun penuh sindiran.
“Diam kamu, bocah! Tutup mulutmu!” bentak Bagas dengan suara bergetar menahan amarah.
Wajahnya mulai memerah, urat di leher menegang. Emosi yang sedari tadi ditahan kini kian mendidih akibat ucapan Arga.
“Kenapa? Om malu?” sindir Arga dengan senyum menantang, matanya tak sedikit pun gentar.
Bagas melangkah cepat, lalu plak!—tamparan keras mendarat di pipi Arga. Kepala Arga terhempas ke samping, namun bukannya mengaduh, ia malah tertawa pelan.
“Hahaha… dasar orang yang tidak tahu diri,” ucap Arga sambil menoleh kembali, senyum sinis masih menempel di wajahnya.
Bagas makin tersulut. Dengan kasar, ia meraih kerah baju Arga dan menariknya kuat hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
“Apa kamu bilang?! Aku orang yang tidak tahu diri?!” suara Bagas meledak, penuh amarah bercampur gengsi.
Arga hanya menatap lurus ke matanya, senyum itu masih belum hilang, seolah tamparan dan gertakan barusan sama sekali tak berarti.
"Kalau bukan karena Om, ayah aku tidak mungkin mati," ucap Arga tegas, matanya menatap tajam tanpa gentar.
Bagas terdiam sepersekian detik, wajahnya memerah, lalu jari telunjuknya terarah ke wajah Arga. "Kamu…!" bentaknya, suara beratnya menggema di ruangan yang mendadak hening.
Omongan Arga tadi membuat Bagas tak sanggup merangkai kata. Amarah menyesakkan dadanya, membuat napasnya memburu. Ia menatap wajah keponakannya itu dengan tatapan penuh benci, seolah ingin melumat habis.
"Kenapa? Apa ucapan aku barusan memang benar?" sindir Arga, bibirnya melengkung dengan senyum meremehkan.
Bagas makin hilang kesabaran. Dadanya bergemuruh, dan dengan teriakan penuh emosi ia melayangkan pukulan keras ke arah wajah Arga.
Namun, pukulan itu berhenti di udara. Tangan kiri Arga sudah lebih dulu menahan kepalan tangan Bagas dengan cengkeraman kuat.
Arga menatap lurus ke mata pamannya, nada suaranya dingin. "Pukulan Om sangatlah lemah. Bahkan lebih tepatnya… seperti pukulan seorang wanita."
Cengkeraman Arga semakin erat, membuat urat tangan Bagas menegang. Suasana di halamam depan rumah mendadak menjadi tegang, seolah udara pun ikut membeku menanti ledakan berikutnya.
Meski Arga masih remaja, namun Bagas tahu betul siapa sebenarnya sosok di hadapannya itu jika sudah mulai hilang kendali. Sorot mata Arga yang tajam dan genggaman tangannya yang kokoh membuat Bagas sadar, satu langkah salah bisa berakhir fatal bagi dirinya.
Dada Bagas naik turun, napasnya terasa berat menahan emosi, tetapi juga terselip rasa gentar. Perlahan ia menarik kembali tangannya dari genggaman Arga.
nunggu banget nih lanjutannya