Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Di alam bawah sadarnya, Halwa berada di sebuah taman yang indah dan sunyi.
Di depannya terbentang tangga batu yang diselimuti kabut, seolah mengajaknya untuk naik.
Halwa mulai melangkah perlahan ke tangga itu.
Tiba-tiba, suara yang sangat ia rindukan memanggilnya, penuh keputusasaan.
"Halwa, jangan pergi!"
Halwa menoleh. Ia melihat Athar berdiri di bawah tangga, wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam.
Brewok tipisnya yang selama ini tidak pernah ia biarkan tumbuh, kini terlihat jelas di wajahnya yang lelah. Pria itu tampak hancur.
"Jangan tinggalkan aku, Halwa!" teriak Athar, suaranya bergema di taman sunyi itu.
"Athar... aku..."
"Aku mencintaimu, Halwa!" Athar berteriak, air mata mengalir di pipinya.
"Kembali, Halwa. Aku mencintaimu!"
Pernyataan cinta Athar yang begitu tulus itu menembus kabut dan menghentikan langkah Halwa.
Cinta itu lebih kuat daripada panggilan alam.
Halwa tiba-tiba membuka matanya di dunia nyata.
Perawat yang bertugas memantau monitor terkejut melihat angka-angka di layar yang tiba-tiba menunjukkan aktivitas.
Ia menoleh dan melihat mata Halwa sudah terbuka, menatap langit-langit ruangan ICU.
"Dokter! Dokter! Pasien sadar!" teriak perawat itu, segera memanggil tim medis.
Di luar ruang ICU, Athar yang sedang menunduk langsung mengangkat kepalanya mendengar teriakan perawat.
Ia melihat perawat panik dan kemudian melihat ke kaca.
Athar melihat mata Halwa terbuka.
Air mata Athar langsung tumpah deras.
Ia bangkit, tidak bisa masuk, tetapi ia berdiri di depan kaca, tertawa dan menangis bersamaan.
Ia melambaikan tangannya dengan gemetar, berharap Halwa bisa melihatnya dari dalam.
"Halwa! Halwa!" bisik Athar, penuh syukur. Keajaiban itu telah datang.
Dokter dan tim medis segera memasuki ruang ICU, mengabaikan Athar yang masih berdiri panik di luar.
Mereka melakukan pemeriksaan cepat.
Dokter mendekat ke Halwa.
"Nyonya Halwa, bisakah Anda mendengarkan saya? Siapa namamu?"
Halwa mengerjap perlahan, suaranya lemah karena lama tidak bicara.
"Halwa... Pramesti..."
"Bagus sekali, Nyonya Halwa. Apakah Anda tahu di mana Anda sekarang?"
Halwa tidak menjawab, matanya mencari-cari. "Di mana Athar?" tanya Halwa, suaranya sangat lirih.
Athar yang mendengar nama itu disebut, semakin mendekat ke kaca.
Ia melambaikan tangannya dengan ekspresi lega yang luar biasa.
Halwa menoleh ke arah kaca dan melihat Athar, ia tersenyum tipis.
Setelah pemeriksaan awal yang memastikan Halwa sadar penuh dan tidak mengalami kerusakan memori, dokter keluar menemui Athar.
"Tuan Athar, ini keajaiban. Nyonya Halwa sudah sadar dan merespons dengan baik," jelas dokter dengan senyum.
"Kami harus memonitornya lebih lanjut, tetapi kami akan memindahkannya dari ICU ke ruang pemulihan VVIP. Dia membutuhkan istirahat total dan pemulihan fisik. Anda sudah boleh menemuinya, tapi jangan terlalu bersemangat dan buat pasien stres."
Athar tidak bisa menahan dirinya. Air matanya kembali menetes, kali ini karena kebahagiaan.
"Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak," ucap Athar, memeluk dokter itu sebentar karena saking leganya.
Beberapa saat kemudian, Halwa dipindahkan ke ruang perawatan VVIP.
Athar berjalan di samping ranjang Halwa, tidak melepaskan pandangannya sedikit pun.
Di ruang perawatan VVIP yang tenang, Halwa sudah terbaring di ranjang yang nyaman, monitor medis hanya sesekali berbunyi ringan.
Setelah perawat pergi, meninggalkan mereka berdua, Halwa menatap wajah suaminya.
Brewok tipis Athar, matanya yang merah dan lelah, serta wajahnya yang tampak jauh lebih kurus, menceritakan semua penantian panjang yang ia lalui.
"Kamu membuat aku gila, Hal," bisik Athar, suaranya parau.
Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh pipi Halwa.
"Jangan pernah seperti itu lagi."
Halwa tidak bisa bicara banyak. Ia merentangkan kedua tangannya yang lemah. Athar segera memeluknya, hati-hati agar tidak menyentuh luka di punggungnya.
Pelukan itu terasa seperti pelepasan emosi yang tertahan berbulan-bulan.
Mereka menangis sesenggukan, saling berbagi rasa sakit dan syukur yang luar biasa.
"Aku mencintaimu, Sayang. Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku lagi," bisik Athar di telinga Halwa, mencium puncak kepalanya berulang kali.
Halwa hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan, air mata bahagia membasahi pipinya.
Ia tahu, setelah semua yang mereka lalui, ikatan mereka kini jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Tak lama kemudian, pintu ruangan diketuk. Nisa datang, didampingi oleh Kepala Sekolah, Pak Hardiman, dan beberapa guru lainnya. Mereka datang untuk menjenguk Halwa.
"Lekas sembuh ya, Hal," ucap Nisa, matanya berkaca-kaca melihat kondisi Halwa. Ia memeluk Halwa dengan sangat hati-hati.
Guru-guru lain juga menyampaikan ucapan lekas sembuh.
Meskipun Halwa sudah tidak bersekolah di sana, mereka tetap menyambut Halwa sebagai bagian dari keluarga sekolah dan merasa prihatin atas apa yang menimpanya.
Athar memanfaatkan kehadiran para guru. "Pak Hardiman, saya sudah menyiapkan home schooling untuk Halwa. Saya ingin meminta Ibu Dayang,"
Athar menunjuk seorang guru yang tampak ramah, "untuk menjadi guru utama Halwa. Tentu dengan kompensasi yang layak."
Ibu Dayang terkejut sekaligus senang.
Guru-guru lainnya juga menawarkan diri untuk membantu mengajar mata pelajaran spesialisasi mereka, merasa kagum dengan kesetiaan Athar dan kasihan pada Halwa.
Halwa tersenyum bahagia. Ia tidak hanya mendapatkan kembali suaminya, tetapi juga dukungannya untuk melanjutkan pendidikan.
Setelah berbincang sebentar dan mengucapkan doa, mereka semua berpamitan pulang.
Athar kembali duduk di samping ranjang Halwa.
Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Halwa yang kini lebih aktif, mulai bermain dengan brewok tipis Athar yang kasar di pipinya.
"Jangan dicukur, Athar," pinta Halwa, suaranya manja.
"Kenapa? Ini membuat wajahku gatal dan terlihat tua," balas Athar, tersenyum geli.
"Tidak," bantah Halwa. "Aku suka melihatnya. Kamu terlihat lebih tampan, dan ini membuatmu terlihat seperti benar-benar milikku. Seperti seorang pejuang yang menunggu."
Athar tertawa kecil. Hatinya menghangat mendengar pujian tulus itu.
"Baiklah. Kalau istriku yang memintanya, aku tidak akan mencukurnya." Athar mencium punggung tangan Halwa yang masih terpasang infus.
Halwa tiba-tiba merasa lapar, dan nafsu makannya kembali setelah berbulan-bulan hanya mengandalkan infus.
"Athar..." rengek Halwa pelan.
"Ada apa, Sayang? Kamu butuh sesuatu? Mau minum?" tanya Athar sigap.
"Aku pengen makan pizza," pinta Halwa dengan mata berbinar.
Athar tersenyum lembut. "Tentu saja. Tunggu sebentar."
Athar segera menghubungi Yunus. "Yunus, belikan pizza ukuran besar. Pilih rasa yang paling banyak daging. Bawa ke ruang perawatan sekarang juga."
Tak lama kemudian, Yunus datang membawa kotak pizza hangat. Athar dengan hati-hati membantu Halwa duduk bersandar dan menyuapinya sepotong demi sepotong.
Athar juga makan, berbagi kebahagiaan sederhana itu.
Setelah mereka selesai makan bersama, Halwa yang merasa kenyang dan bahagia, merentangkan tangannya.
Athar mengerti. Ia merunduk, membiarkan Halwa memeluk tubuhnya.
Halwa memeluk suaminya erat-erat, bersyukur bahwa ia masih diberi kesempatan untuk merasakan momen-momen indah seperti ini di samping pria yang sangat mencintainya.
"Terima kasih, Athar," bisik Halwa di telinga suaminya.