Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Mereka akhirnya makan bersama di ruang makan.
Meja penuh: ayam goreng bumbu buatan Aira, capcay, gehu, sambal terasi, dan kue hangat yang… sedikit miring bentuknya. Ustadz Fathur duduk sopan sambil menahan senyum... entah karena makanan yang melimpah atau karena Aira yang dari tadi tidak berani mengangkat wajah.
Pak Hadi memulai, “Silakan, Ustadz. Ini masakan Aira sama istri saya. Hehe… Lumayan lengkap hari ini.”
Aira nyaris tersedak sendiri mendengar namanya disebut. Ih, kenapa sih harus dibahas-bahas… batinnya.
Bu Maryam langsung menimpali santai, “Iya, masakannya banyak. Kan kapan lagi masak segini lengkap kalau bukan hari istimewa.”
Aira mendelik kecil ke arah ibunya, tapi Bu Maryam berpura-pura tidak melihat.
Ustadz Fathur tersenyum sopan. “Alhamdulillah, saya senang bisa mampir. Maaf sudah merepotkan.”
Pak Hadi mengangkat tangan. “Ah, enggak, enggak. Justru saya senang kalau bisa bersilaturahim.
Aira cuma diam, menunduk, sesekali mencolek sambal sambil mencuri pandang ke Ustadz Fathur. Tapi tiap kali matanya hampir bertemu, dia langsung berpaling cepat-cepat sampai nyaris menjatuhkan sendok.
Saking salah tingkah, Aira tanpa sadar mengomentari makanannya sendiri.
“Hmm, ayamnya enak juga yah… padahal aku pikir bakal gos...”
Aira langsung tutup mulut.
Tiga pasang mata menatapnya.
Aira tersenyum kaku. “Hehe… bercanda.”
Setelah makan selesai…
Bu Maryam berdiri sambil merapikan kerudung. “Aira, kamu cuci piring dulu ya. Papa sama ustadz ngobrol lagi.”
“Hah? Aku sendiri?”
“Emang kamu pikir ayam dan capcay itu masak sendiri?”
“Tapi...”
Pak Hadi menahan tawa.
Ustadz Fathur juga tersenyum, terlihat menahan sesuatu.
Dengan pasrah dan pipi memerah, Aira mengangguk. “Baiklah… Aira bagian cuci piring. Aira itu wanita mandiri, kuat, dan… korban keadaan.”
Bu Maryam mencubit lengan Aira pelan. “Pergi sana!”
Aira berjalan ke dapur sambil komat-kamit. “Kalau tau gini tadi aku pura-pura pingsan aja…”
Bu Maryam menggeleng, Pak Hadi tertawa kecil, sedangkan Ustadz Fathur hanya menunduk sambil tersenyum..entah lucu atau justru makin yakin pada sesuatu.
Aira masih berkutat di dapur, piring berbunyi kring-kring saat ia cuci dengan perasaan campur aduk. Sementara itu, di ruang tamu, suasana berubah lebih tenang dan berat. Pak Hadi menggeser duduknya sedikit mendekat, menandakan pembicaraan mulai masuk inti.
“Jadi, bagaimana rencananya, Nak Fathur?” tanya Pak Hadi dengan suara yang lebih dalam dan penuh wibawa seorang ayah.
Ustadz Fathur menghela napas pelan, matanya menunduk sejenak sebelum menjawab.
“InsyaAllah sore nanti saya ke rumah Pak Yai untuk mengurus berkasnya, Pak. Biar cepat selesai dan tidak menunda apa yang sebaiknya disegerakan.”
Pak Hadi mengangguk mantap, wajahnya terlihat lega sekaligus haru. “Bagus kalau begitu, Nak. Lebih cepat lebih baik.”
Ada jeda.
Ustadz Fathur sempat melamun, memikirkan kehidupan barunya nanti. Bukan hanya tentang pernikahan… tapi juga tempat tinggal. Rumah yang sempat ia rencanakan, tanah yang belum jelas, semua itu tiba-tiba terasa rumit.
Seakan membaca pikirannya, Pak Hadi mencondongkan tubuh dan berkata dengan nada matang seorang kepala keluarga, “Oh iya, Ustadz. Setelah saya pikir-pikir lagi dan setelah tahu kalau rumah yang ustadz tempati itu adalah rumah wakaf, lebih baik tinggal di sini saja.”
Fathur langsung menoleh. “Hah? Tinggal… di sini, Pak?”
Pak Hadi tersenyum kecil. “Iya. Gak usah mikirin rumah dulu. Yang penting kalian memulai hidup dengan tenang. Urusan rumah bisa dibahas nanti-nanti lagi.”
“Tapi, saya jadi sungkan, Pak… saya yang mengajak menikah. Masa saya...”
“Udah, gak usah dipermasalahkan,” potong Pak Hadi lembut tapi tegas.
“Dengerin Papa. Kita ini tidak punya keluarga besar, Nak. Rumah ini pun tidak ramai. Lebih baik kita berkumpul. Ada istri saya, ada Aira… dan nanti ada kamu. Justru lebih baik kalau rumah ini terasa hidup lagi.”
Kata-kata itu membuat dada Ustadz Fathur menghangat.
Ia memang tidak memiliki rumah yang benar-benar layak ditempati dalam waktu dekat. Dan tinggal bersama mertua? Banyak lelaki yang mungkin minder… tapi bukan dia. Ia tahu Pak Hadi tulus. Dan ia ingin menjaga keluarga ini.
Ustadz Fathur menunduk pelan, bukan karena terpaksa... tapi karena terharu.
“Kalau begitu… saya terima, Pak. Terima kasih banyak. Semoga Allah balas kebaikan bapak sekeluarga.”
Pak Hadi menepuk bahunya lembut. “Nggak usah begitu, Nak. Yang penting kamu jaga Aira baik-baik. Dia itu keras kepala, tapi hatinya lembut. Jangan disakiti.”
Fathur tersenyum samar. “InsyaAllah, Pak… Saya akan jaga dia.”
Dari dapur, terdengar suara pecahan dan Aira teriak kencang, “ASTAGH-FIRULLAAAHH! Piringnya jatoh!”
Pak Hadi dan Ustadz Fathur menahan tawa, suasana tegang langsung mencair.
“Nah itu…” kata Pak Hadi sambil menggeleng, “Kamu bakal butuh banyak sabar.”
Ustadz Fathur tersenyum lebih lebar, suaranya rendah.
“InsyaAllah, Pak… saya siap.”
***
Sementara di dapur.
Aira membawa tumpukan piring kotor yang masih berada di meja ke dapur sambil komat-kamit ngomel sendiri. Baru saja ia meletakkan satu piring di bak cuci, seekor cicak kecil melintas di dinding tepat di samping wajahnya.
“HAH! CICAK LAGI KAU!” pekiknya spontan.
Kaget, Aira refleks mengibaskan tangan, tapi justru...
Prang! Piring di tangannya kembali jatuh ke lantai dan pecah jadi dua.
Aira terlompat ke belakang seperti habis ditembak. “Astaghfirullahaladzim! Kau ini ya, cicak! Kenapa hidupmu diatur banget sama aku! Nunggu aku bawa piring baru nongol! Coba kalau aku bawa uang, kamu nongol juga nggak?!” omelnya sambil menunjuk cicak yang sudah kabur ke langit-langit.
Bu Maryam yang mendengar suara pecahan piring langsung masuk. “Aira…” suaranya panjang penuh makna.
Aira buru-buru menyapu pecahan piring, tapi masih terus ngomel, “Ma, itu cicak udah dendam sama aku kayaknya…”
Bu Maryam menghela napas panjang. “Kalem dikit, Ra. Kamu harus bisa merubah sikap kamu. Apalagi di depan sana ada calon suami kamu…”
Aira langsung mendongak, wajahnya manyun. “Mamaaa… ih… calon suami lagi, calon suami lagi. Aku tuh udah begini, Ma. Refleks. Mau gimana lagi?”
“Ya ditahan…” ujar Bu Maryam sabar.
Aira langsung pasang wajah serius, tangan bersedekap. “Nanti kalau ditahan, keluar dari bawah bagaimana, Ma?”
Bu Maryam tertegun.
Lima detik.
Lalu memutuskan menyerah sepenuhnya. “…Mama balik ke depan saja, ya.”
Tanpa komentar tambahan, Bu Maryam berbalik sementara Aira kembali ngomel sambil menyapu.
“Cicak… cicak… kalau berani turun sini, kita duel. Jangan nongkrong di atas kayak gangster…”
Suasana ruang depan masih terjaga rapi. Pak Hadi dan Ustadz Fathur sedang duduk sambil membicarakan pernikahan.
Pak Hadi langsung menoleh ke arah Bu Maryam yang muncul dari arah dapur.
“Kenapa Aira, Ma? Piringnya jatuh?”
Bu Maryam menghela napas pasrah. “Iya, Pa. Katanya gara-gara cicak. Akhirnya cicaknya dia omelin.”
Glek.
Ustadz Fathur menelan ludah pelan. Wajahnya menegang sepersekian detik.
Dalam hatinya: Astaghfirullah… cicak saja diomelin. Kalau saya lupa nutup galon, apa saya diomelin juga?
Pak Hadi justru tertawa geleng-geleng kepala.
“Hahaha… anak itu memang random banget. Papa juga nggak ngerti.”
Bu Maryam duduk mendekat sambil menambahkan dengan polos,
“Nanti… kalau sudah jadi istri… tegur aja ya, Ustadz. Jangan sungkan. Siapa tahu Ustadz yang menegur dia bisa lebih lembut.”
Makin kencang Ustadz Fathur menelan ludah untuk kedua kalinya.
Pipi dan telinganya memanas. Malu, deg-degan, bingung jadi satu. “I-iya, Pak… Ibu… Insya Allah…” jawabnya lirih tapi sopan.
Pak Hadi menepuk bahunya dengan senyum bangga.
“Kalem aja, Nak Fathur. Kalau sama kami, Aira itu memang keras, tapi hatinya lembut. Nanti lama-lama dia lunak sendiri kalau sama Ustadz.”
Ustadz Fathur hanya tersenyum kaku... antara percaya dan deg-degan menghadapi masa depannya dengan perempuan yang bisa memarahi cicak.
Dari dapur, suara Aira masih terdengar: “Cicak! Sini kalau berani! Kita duel!”
Bu Maryam menutup wajahnya.
Pak Hadi terkekeh.
Ustadz Fathur hanya pasrah… tapi dalam hati ada rasa hangat yang sulit dijelaskan.
Suara gaduh dari dapur kembali terdengar. Brak! Duk! Deg! Lalu disusul teriakan melengking khas Aira.
“To-to-tokek… tokek… tokek!!!”
Sekejap kemudian, Aira muncul dari dapur dengan lari sprint seperti atlet lomba seratus meter. Tangan kirinya masih memegang spons cuci piring yang berbusa. Tangan kanannya belepotan sabun sampai menetes di lantai.
“Mamaaaaa! Ampun! Ada cicak raksasaaa!”
Bersambung