NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:364
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Sebuah Susu

Pagi itu, sinar matahari menembus gorden tipis yang menutupi jendela apartemen mewah milik Rayven. Suasana ruangan masih sepi, hanya terdengar bunyi samar lalu lintas dari jalanan di bawah. Rayven berdiri di depan cermin besar di kamarnya, tubuh tegapnya baru saja keluar dari kamar mandi. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, sementara ia menatap pantulan wajahnya sendiri dengan pandangan kosong.

Tangannya meraih handuk kecil, mengacak rambut hitamnya perlahan. “Apa gue jemput Alen aja ya?” gumamnya lirih, seakan berbicara pada bayangan dirinya sendiri di cermin.

Namun tak lama kemudian, kerutan muncul di dahinya. “Masalahnya gue bahkan nggak tau rumah Alendra di mana,” lanjutnya dengan nada jengkel, setengah kesal pada dirinya sendiri.

Ia berbalik, berjalan ke arah lemari pakaian. Pintu lemari terbuka memperlihatkan deretan kemeja rapi, beberapa jaket kulit, dan celana jeans. Rayven menarik satu set seragam sekolahnya—kemeja putih yang sudah disetrika dengan rapih, celana abu-abu, dan dasi yang tergantung seadanya. Ia mengganti handuk dengan pakaian itu, gerakannya cepat tapi pikirannya tetap melayang pada satu nama: Alendra.

Setelah mengenakan seragam, Rayven mengambil parfum dari meja belajar yang sekaligus jadi meja kerja kecil di apartemennya. Ia menyemprotkannya ke pergelangan tangan dan leher, lalu menghela napas panjang.

“Len… kenapa gue ngerasa nggak bisa tenang kalau nggak tau kondisi lo?” bisiknya, lebih seperti keluhan yang keluar dari lubuk hati.

Pandangan Rayven melayang ke sudut kamar, tepat di meja di mana beberapa kantong plastik belanjaan masih tertata. Kotak-kotak susu ibu hamil yang ia beli semalam masih bertumpuk rapi, belum tersentuh. Rayven mendekat, mengusap bungkusnya pelan.

“Gue nggak tau lo suka rasa apa, makanya gue beli semua. Semoga aja lo mau nerima…” katanya lirih, bibirnya mengulas senyum getir. Ada rasa takut yang menusuk hatinya—takut ditolak, takut Alendra menganggapnya berlebihan, takut Alendra mengingat lagi semua luka yang ia timbulkan malam itu.

Ia duduk di kursi dekat meja, kedua tangannya menangkup wajahnya sendiri. Ingatannya melayang pada percakapan semalam di taman dekat cafe. Bagaimana Alendra akhirnya berkata jujur bahwa ia kecewa, bahwa malam itu telah menghancurkan masa depannya. Suara Alendra yang lirih, penuh tangis tertahan, masih terngiang di telinga Rayven.

“Lo udah bikin gue kehilangan masa depan, Ray…”

Kata-kata itu menancap dalam, seolah jadi pengingat pahit yang nggak mungkin hilang begitu saja. Rayven menggertakkan giginya, menatap kosong ke arah lantai.

“Tapi nasi udah jadi bubur…” Alendra bilang begitu. Ia mencoba ikhlas, walaupun kecewa itu masih jelas.

Rayven menghela napas panjang, lalu mendongak. Matanya berkilat penuh tekad. “Nggak. Gue nggak akan biarin masa depan lo bener-bener hancur, Len. Gue bakal perbaikin. Apa pun yang terjadi.”

Ia bangkit dari kursi, mengambil tas sekolah yang sudah ia siapkan sejak malam. Sebelum benar-benar keluar dari kamar, Rayven menatap sekali lagi kantong belanjaan di meja. Kali ini ia memutuskan untuk membawa semuanya. Tangannya meraih kotak-kotak susu itu lalu memasukkannya ke dalam paper bag besar yang kokoh.

“Kalau gue bawa dikit, takutnya lo mikir gue asal-asalan. Jadi, biar aja gue bawa semuanya,” gumamnya sambil mengangkat paper bag itu.

Sambil berjalan ke dapur kecil apartemen, Rayven mengambil sepotong roti tawar dan menggigitnya seadanya. Ia bukan tipe yang suka sarapan, tapi kali ini ia butuh tenaga. Sambil mengunyah, pikirannya kembali berputar.

“Kalau gue nggak tau rumahnya, berarti satu-satunya cara gue ketemu dia pagi ini cuma di sekolah. Gue harus pastiin dia baik-baik aja.”

Jam di dinding menunjukkan pukul 06.30. Rayven segera keluar dari apartemen, menutup pintu dengan kunci, lalu menuruni lift menuju basement parkir. Apartemen itu mewah, sesuai dengan status keluarganya sebagai konglomerat di kota ini. Mobil-mobil berjejer di sana, beberapa mobil sport milik penghuni lain mengkilap diterpa cahaya lampu.

Rayven berhenti di depan mobil hitam elegan miliknya—sebuah bugatti yang tampak gagah tapi tidak terlalu mencolok dibanding motor sport yang biasanya ia bawa ke sekolah.

Ia membuka pintu bagasi, meletakkan paper bag berisi susu di dalamnya dengan hati-hati, lalu menutupnya kembali. Tangannya sempat berhenti sejenak di atas bagasi. “Semoga lo nggak salah paham, Len…”

Setelah masuk ke dalam mobil, Rayven menyalakan mesin. Suara halus mobil itu berbeda dengan deru keras motor sportnya. Kali ini ia memang memilih mobil, bukan motor. Alasannya sederhana—ia ingin membawa sesuatu untuk Alendra tanpa ketahuan geng atau teman-temannya. Kalau ia bawa motor, orang-orang akan mudah melihat paper bag besar itu. Tapi dengan mobil, semua bisa disimpan rapi di bagasi.

“Kalau ada yang liat gue bawa beginian, pasti langsung jadi bahan gosip. Gue nggak peduli, sih… tapi gue nggak mau Alen jadi sorotan,” ucapnya pelan sambil menggenggam erat setir.

Mobil itu meluncur keluar dari basement apartemen, menuju jalan utama kota. Jalanan pagi sudah mulai padat, tapi Rayven tidak terburu-buru. Ia melaju dengan kecepatan sedang, sesekali matanya melirik kaca spion seolah mencari ketenangan dalam diri sendiri.

Selama perjalanan menuju sekolah, pikirannya penuh dengan bayangan wajah Alendra. Bagaimana ia datang ke sekolah dengan sepeda onthelnya yang sederhana, senyum tipis yang sering ia sembunyikan, serta tatapan lelah yang belakangan makin jelas terlihat.

Rayven mengetuk setir dengan jarinya, gelisah. “Apa gue harus kasih langsung ke dia? Atau gue titip aja? Tapi kalau dititipin… dia mungkin nggak bakal tau kalau itu dari gue. Gue pengen dia tau, Len… kalau gue ada buat lo.”

Mobil Rayven akhirnya berhenti di depan gerbang sekolah. Ia tidak langsung turun. Tangannya masih menggenggam erat setir, matanya menatap kerumunan siswa yang mulai berdatangan.

Lalu, di antara keramaian itu, ia melihat sosok yang sudah ia tunggu—Alendra. Gadis itu datang dengan sepeda onthel kesayangannya, rambut hitamnya tergerai ditiup angin, wajahnya tampak sedikit pucat tapi tetap berusaha tersenyum saat beberapa teman menyapanya.

Dada Rayven terasa sesak. Ada perasaan aneh yang sulit ia definisikan, campuran antara penyesalan, sayang, dan tekad kuat untuk menjaga.

Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu mobil. “Hari ini… gue bakal pastiin lo tau niat gue.”

Rayven keluar dari mobil dengan tenang, lalu berjalan menuju bagasi untuk mengambil paper bag itu.

---

Pagi itu, aroma sederhana nasi goreng buatan Larissa memenuhi rumah. Alendra duduk di meja makan bersama ibu, ayah, dan adik bungsunya yang masih sibuk mengunyah dengan lahap. Meski rumah itu sempit dan perabotannya sederhana, suasananya selalu hangat dengan canda dan perhatian.

“Len, hari ini biar Ayah aja yang nganter adik kamu ke sekolah,” ucap Ardian sambil meraih gelas air putih.

Alendra yang sedang menyuapkan nasi goreng ke mulutnya menoleh. “Lho, kenapa, Yah? Biasanya aku yang nganter.”

Ardian tersenyum tipis, sorot matanya penuh sayang. “Nggak apa-apa. Biar kamu nggak kecapekan. Lagian, hari ini Ayah jualannya agak siangan, jadi masih sempat.”

Alendra mengerjap pelan, hatinya terasa hangat sekaligus terharu. Sejak kabar tentang kandungannya diketahui, ia bisa merasakan betul bagaimana kedua orangtuanya berusaha keras menjaga dan melindunginya, meski situasi keluarga mereka tidak mudah.

Larissa ikut menimpali, sambil merapikan rambut adik bungsu Alendra yang duduk di kursi kecil. “Iya, Len. Kamu jangan terlalu diporsir tenaganya. Sarapan yang banyak, terus langsung berangkat sekolah. Jangan keburu-buru, nanti malah pusing.”

Alendra menunduk, tersenyum kecil. “Iya, Bu, Yah. Terima kasih…” suaranya pelan, nyaris tercekat. Ada rasa bersalah dalam dirinya—karena keadaannya, beban orangtuanya jadi makin bertambah. Tapi ada juga rasa syukur yang begitu besar karena keluarganya masih tetap mendukungnya.

Adiknya yang masih SD menatap Alendra polos. “Mbak, nanti pulang sekolah main sama aku ya?” tanyanya dengan senyum penuh harap.

Alendra mengusap kepala adiknya lembut. “Iya, Dek. Kalau Mbak nggak capek, Mbak main sama kamu.”

Anak itu bersorak kecil, membuat suasana meja makan jadi sedikit lebih ceria.

Ardian berdiri dari kursinya, meraih tas kecil adiknya Alendra. “Ya sudah, ayo Nak, siap-siap. Nanti ayah antar sekalian lewat pasar.”

Setelah ayah dan adiknya berangkat, Larissa membersihkan meja makan sambil sesekali melirik Alendra. “Len, kalau kamu ngerasa nggak enak badan, jangan dipaksain ya. Pulang sekolah langsung istirahat. Jangan singgah-singgah dulu.”

Alendra hanya mengangguk, lalu meraih tas sekolahnya yang sudah ia siapkan sejak malam. “Iya, Bu. Doain aja aku kuat hari ini.”

Larissa tersenyum hangat. “Insyaallah, Nak. Allah selalu jaga kamu dan bayi kamu.”

Alendra menahan napas, berusaha agar matanya tidak berkaca-kaca. Ia tahu hidupnya sudah berubah, dan meski masa depannya terasa berat, ia masih punya keluarga yang jadi sandaran.

Tak lama kemudian, ia keluar rumah dengan sepeda onthelnya, mengayuh pelan menuju sekolah. Angin pagi menyapu wajahnya, menenangkan hati yang sempat gelisah.

---

Alendra mengayuh sepeda onthelnya dengan hati-hati, melewati jalanan yang mulai ramai oleh siswa lain. Ia memilih jalur agak pinggir agar tidak terlalu mencolok. Napasnya teratur, pikirannya sudah fokus pada pelajaran di sekolah hari ini. Namun, begitu roda sepedanya berbelok memasuki area depan sekolah, matanya mendapati sosok yang sudah dikenalnya dengan jelas.

Rayven.

Ia berdiri bersandar di mobil hitam mewahnya, wajahnya serius, tatapannya fokus ke arah gerbang. Seakan-akan sejak tadi hanya menunggu satu orang saja. Dan benar saja, begitu Alendra mendekat, Rayven langsung tegak berdiri, langkahnya cepat menghampiri.

“Len.” Suaranya berat, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Alendra berdegup lebih cepat.

Alendra refleks mengerem sepedanya, matanya sedikit melebar. “Rayven? Ngapain Lo di sini?”

Tanpa memberi kesempatan banyak untuk bertanya, Rayven menarik stang sepeda pelan, lalu dengan satu gerakan sigap membukakan pintu mobil. “Masuk dulu. Gue harus kasih sesuatu.”

“Ray—” Alendra hendak menolak, tapi tatapan tegas Rayven membuatnya ragu. Akhirnya, ia menurut, menuntun sepedanya ke dekat trotoar lalu masuk ke kursi penumpang mobil.

Begitu pintu tertutup, aroma parfum Rayven bercampur dengan wangi interior mobil mewah itu menyelimuti dirinya. Rayven segera masuk lewat sisi pengemudi, lalu meraih kantong besar berisi beberapa kotak susu yang ia beli semalam.

“Ini,” ucap Rayven, meletakkan kantong itu di pangkuan Alendra. “Susu buat ibu hamil. Gue nggak tau lo suka rasa apa, jadi gue beli semua. Lo harus minum ini, Len. Gue nggak mau lo atau bayi lo kekurangan apa pun.”

Alendra menatap kantong itu lama, hatinya berkecamuk. Ada perasaan hangat karena perhatian itu, tapi juga ada rasa perih mengingat siapa yang sedang bicara. Perlahan, ia menghela napas.

“Ray…” suaranya lirih. “Makasih. Gue hargain banget apa yang lo lakuin.” Ia menggenggam sedikit plastik itu, lalu menunduk. “Tapi… gue titip dulu di mobil lo ya. Gue nggak mungkin bawa ini masuk sekolah. Orang-orang pasti curiga.”

Rayven menatapnya sejenak, lalu mengangguk paham. “Iya. Nggak apa-apa. Lo ambil aja nanti pulang sekolah.”

Suasana di dalam mobil hening sejenak. Alendra menunduk, memainkan jemarinya sendiri, sementara Rayven hanya menatapnya. Tatapan itu bukan sekadar rasa bersalah, tapi juga tekad yang kuat.

“Len…” Rayven memecah hening, suaranya sedikit lebih lembut. “Teman-teman gue ada di markas sekarang, jadi gue aman. Nggak ada yang liat. Lo juga aman.”

Alendra menoleh, sedikit menatap wajahnya. “Tapi tetap aja, Ray… kita nggak bisa begini terus. Gue nggak mau ada gosip. Lo tau sendiri sekolah kita kayak apa.”

Rayven mengangguk, mengusap tengkuknya. “Gue ngerti. Makanya gue cuma pengen pastiin lo baik-baik aja. Itu aja.”

Alendra menarik napas panjang. Ia tahu Rayven serius. Meski hatinya masih penuh luka, ia bisa merasakan ketulusan itu. Ia hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan gejolak di dadanya.

Suara bel sekolah terdengar samar dari kejauhan. Alendra buru-buru membuka pintu mobil. “Gue masuk dulu. Makasih, Ray…”

Rayven menatapnya, matanya berat seakan ingin mengatakan lebih banyak hal. Tapi ia menahan diri, hanya menjawab singkat, “Iya, hati-hati, Len.”

Alendra keluar dari mobil, meraih sepedanya, lalu berjalan cepat masuk ke gerbang sekolah. Ia bisa merasakan tatapan Rayven yang masih menempel di punggungnya sampai ia benar-benar hilang dari pandangan.

Sementara itu, Rayven bersandar kembali di jok mobilnya, menghela napas panjang. “Gue nggak peduli harus gimana… yang penting gue jagain dia,” gumamnya lirih.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!