NovelToon NovelToon
Bukan Upik Abu

Bukan Upik Abu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Konglomerat berpura-pura miskin / Menyembunyikan Identitas / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:951
Nilai: 5
Nama Author: Ceriwis07

Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Upik Abu Eps 8

Bima memilih untuk membersihkan diri, menyegarkan tubuhnya dari peluh dan penat. Saat ia membuka pintu kamar mandi, matanya menangkap pemandangan meja makan yang telah dihiasi hidangan lezat oleh tangan Regina. Sebuah ide nakal tiba-tiba menari-nari di benaknya. Dengan langkah ringan, ia sengaja menyelinap pergi, meninggalkan Regina di dapur dengan sejuta tanya.

"Heh... mau ke mana?" tanya Regina, suaranya sedikit meninggi.

Bima berpura-pura tuli, memasang wajah tanpa dosa, padahal ia setengah mati menahan tawa mendengar omelan Regina yang mulai terdengar dari arah dapur.

Mau tak mau, Regina menyusul Bima ke kamar. Tanpa basa-basi, Regina langsung membuka paksa pintu kamar yang ternyata tidak terkunci. "Aaaaaaakh....." Regina menjerit kencang, suaranya memecah keheningan malam.

Bima yang mendengar jeritan Regina terkejut bukan kepalang. Ia segera membenarkan letak handuknya, keluar, dan mengambil sapu. Plak! Dengan satu pukulan, tikus itu pun pingsan seketika.

Regina berteriak karena seekor tikus menabrak kakinya, seolah ingin mendahului masuk ke kamarnya. Entah dari mana datangnya tikus itu? Di daerah rumahnya, jika terlambat menutup pintu saat magrib, siap-siaplah kedatangan tamu si ekor panjang.

Bima mengambil tikus yang pingsan itu, lalu membuka jendela dan melemparnya keluar. "Kayaknya kita harus pelihara kucing," ucap Bima, mencoba mencairkan suasana yang membeku.

"Kamu pakai baju dulu," ucap Regina, yang langsung keluar dan memilih duduk di kursi ruang tamu. Rumah sedang sepi, ibu mertuanya tengah salat tarawih, sedangkan Mira dan suaminya entah pergi ke mana.

Tak lama, Bima sudah keluar dari kamar mengenakan kaus hitam dan celana pendek selutut. Rambutnya ia sisir ke belakang, menambah kesan ketampanannya.

Regina yang melihatnya mencebik. Ia berjalan mendahului Bima menuju meja makan. Seperti biasa, Regina mengambilkan nasi serta lauk-pauk dan meletakkannya di piring Bima. Setelah itu, barulah ia mengambil untuk dirinya sendiri.

"Tadi belum buka puasa?" tanya Regina, melihat Bima makan dengan lahap, padahal menu yang tersisa hanya ayam goreng ketumbar, capcay, serta es kuwut buatannya.

"Sudah, tapi cuma sama air putih, tadi di jalan," ucapnya. "Ayamnya siapa yang masak?" tanya Bima.

"Mbak Mira," ucapnya ketus, seperti duri dalam tenggorokan.

Bima melotot mendengar ucapan Regina. Sejak kapan Mira mau memasak? Merebus air untuk membuat kopi suaminya saja bisa dihitung jari, apalagi menggoreng ayam.

"Habis kejedot ya kepalanya?" ucap Bima sambil menggigit paha ayamnya.

"Hah?" ucap Regina heran.

"Iya, Mira habis kejedot kepalanya? Kok mau goreng ayam?" jelas Bima.

"Lah, emangnya kalau mau goreng ayam harus ada ritual jedotkan kepala ya?" tanya Regina, keheranan.

"Uhuk... Uhuk..." Bima terbatuk mendengar ucapan Regina. Ia segera mengambil minuman di depannya, meneguknya hingga setengah. Sesaat sudah tinggal setengahnya, Bima membasahi bibirnya, seolah memastikan sesuatu.

Ia mengambil sendok, lalu menyendok isian dari dalam gelasnya. "Ini melon ya?" tanya Bima.

Regina mengangguk keheranan. "Emang kenapa? Nggak enak?" tanyanya dengan alis mengkerut.

"Enak, tapi aku biasa minum es ini kalau ada jatah makan malam di proyek, tapi isiannya mentimun, bukan melon," ucapnya santai sambil terus menyendok isinya.

Regina menaikkan kedua bahunya, tak ingin ambil pusing. Ia melanjutkan makannya. Setelah keduanya selesai makan, Bima mengambil alih untuk mencuci piring, sedangkan Regina mengelap meja dan memasukkan makanan ke dalam lemari.

"Wah, pasangan pembantu yang romantis," ucap suara yang mengejutkan mereka berdua. Ya, Sandra, ia baru saja pulang dari rumah orang tuanya, masih mengenakan helm di kepala. Ia langsung menuju dapur saat mendengar ada suara berisik. "Nih, makanan, siapa tahu belum pernah makan ini," ucap Sandra, melempar bungkusan ke atas meja.

Regina hanya menatap bungkusan itu tanpa berniat melihat isinya, sedangkan Bima memilih fokus melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.

Keduanya tengah bersantai di kamar dengan ponsel masing-masing. "Betah tinggal di sini?" tanya Bima memecah keheningan. Regina menoleh, tetapi Bima masih asyik dengan ponselnya.

"Hem," jawabnya singkat.

Bima segera menoleh. "Nggak betah?" tanyanya heran.

Regina hanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Ia sedang memeriksa email yang dikirim oleh Melisa, asistennya.

"Jalan, yuk," ajak Bima yang sudah siap dengan atributnya: jaket dan celana panjang hitam yang sobek di bagian lututnya.

Regina heran, sejak kapan manusia di depannya ini bersiap-siap? Padahal, baru sebentar matanya berpaling, tetapi Bima sudah siap ingin segera berangkat.

"Mau ke mana?" tanya Regina.

"Jalan keluar, kan nona belum pernah jalan-jalan," ucap Bima.

"Sering kok jalan-jalan," ucap Regina cuek.

"Oh ya? Ke mana?" tanya Bima heran.

"Ke dapur, ke kamar, ke teras depan," Regina belum menyelesaikan ucapannya, Bima langsung memotongnya dengan menempelkan jarinya ke bibir ranum Regina. "Hust... Ayo siap-siap, kita berangkat."

"Puwehh, asin," ucap Regina seperti melepeh sesuatu.

"Hehe... Jarinya habis dipakai ngupil," ucap Bima cengengesan. Mendengar ucapan Bima, mata Regina melotot. Ia langsung memukuli Bima dengan guling yang sedari tadi berada di pangkuannya.

Keduanya sudah siap. Saat hendak menjalankan motornya, sang ibu sudah pulang dari musala. "Mau ke mana?" tanya Bu Sundari.

"Jalan ke luar bentar, Buk," ucap Bima. Bu Sundari mengangguk, lalu segera masuk ke dalam rumah.

Brum...

Suara motor membelah jalanan di keheningan malam. Bima menarik tangan Regina agar wanita yang berstatus istrinya itu merapatkan pegangan pada pinggangnya. Bima langsung menambah kecepatan.

Akhirnya, mereka tiba di pasar malam. Tempatnya tak terlalu jauh, tetapi jika berjalan kaki cukup pegal juga.

Regina tanpa sadar tersenyum. Entah sudah berapa lama ia tak ke pasar malam, karena ia biasa keluar masuk mal, minimarket, dan swalayan sejenisnya.

Regina segera melangkahkan kaki, tetapi Bima dengan cepat menggandeng tangannya. Regina menoleh. "Kayak anak kecil mau nyebrang aja," ucapnya dengan bibir dimajukan ke depan.

"Takut ilang," ucap Bima sambil menarik tangannya memimpin jalan.

Di pasar malam, Regina hanya membeli beberapa makanan. Bima juga sempat heran, biasanya wanita jika diajak shopping yang dibeli adalah barang, mungkin seperti baju dan yang lain, tetapi melihat Regina yang berbeda dari wanita lainnya, makanan yang dibeli olehnya pun kebanyakan makanan kesukaan sang ibu dan dirinya.

"Nona nggak beli apa-apa?" tanya Bima. Regina memperlihatkan kantong kresek yang sudah penuh di tangannya, menandakan jika dirinya sudah banyak membeli sesuatu.

Bima tersenyum kecil. Ia menarik tangan Regina ke arah jam tangan, melirik sekilas, lalu mengambil satu dan dipakaikan ke tangan Regina. "Bagus," ucap Bima. Ia bertanya pada penjual berapa harga jam tangannya dan langsung membayarnya.

Bima memperbaiki letak jam tangan itu, jam tangan wanita berwarna rose gold magnet. "Jangan dilihat harganya ya, saya tahu harga jam tangan ini seperti uang jajan nona seminggu," ucap Bima tersenyum. Regina melirik lagi, lagi-lagi ia hanya bisa berkata "terima kasih" dengan lirih, entah karena malu atau tak enak hati.

Regina sudah merasakan pegal di kakinya, ia meminta Bima untuk segera pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Cie, jam tangan baru!

Sesampainya di rumah, Regina meletakkan belanjaannya di meja dapur dan langsung mengganti pakaiannya. Lalu, ia pergi ke dapur lagi. Di sana, ia melihat sang ibu tengah makan sesuatu dari bungkusan yang sepertinya bukan yang ia beli.

Sedangkan Sandra sudah membuka dua bungkusan yang ia beli. Regina melihat sang ibu makan ikan bakar yang sudah bersisa setengah. "Ibuk baru makan?" tanya Regina, memastikan bahwa bungkusan yang dibawa Sandra bukanlah ikan bekas yang sudah dimakan separuh.

Ibu mengangguk dan mulai makan. Regina dengan cepat mengambil bungkusan itu dan meletakkannya di tempat cucian piring. Ibu mertuanya hendak protes, tetapi ia dengan cepat mengambil piring dan membukakan bungkusan yang ia beli.

"Ibu, makan ini saja," ucap Regina, menyerahkan nasi jagung yang ia beli di pasar malam tadi. "Ngasih orang tua kok sisa, nggak memper!" ucap Regina, mengejek Sandra.

"Ibuk kan belum pernah makan ikan bakar. Aku ini baik, jadi aku bawakan buat Ibuk. Baru aku makan setengah kok," ucap Sandra sombong.

"Besok menu buka puasa kita bakar ikan ya, Buk," ucap Bima yang entah sedari kapan sudah berdiri di ambang pintu, seperti bayangan yang tiba-tiba muncul. Kening Regina mengernyit heran saat Bima sekilas mengecup keningnya, membuat Regina ngefreeze, seolah waktu berhenti berputar.

"Ck... Sok romantis," cibir Sandra, yang sudah membuka bungkusan martabak yang dibeli oleh Regina. Namun, secepat kilat, Regina mengambil martabak telur itu dari hadapan Sandra, seolah merebut harta karun.

"Heh... Pelit banget," ucap Sandra, memprotes kelakuan Regina. Regina hanya menjulurkan lidah, membawa martabaknya berlalu, bagai seorang pemenang yang membawa piala.

"Lihat kelakuan istri kamu, pelit banget," ucap Sandra mengadu pada Bima.

"Memang kenapa? Dia yang beli, kok. Memang kamu nggak pelit? Selama kamu tinggal di sini, aku nggak pernah lihat kamu belikan sesuatu untuk ibuk," ucap Bima, berlalu setelah mengambil sebotol air putih, meninggalkan Sandra dengan kekesalannya yang membara.

Brum...

Suara mobil milik Bagas menderu di samping rumah, memecah keheningan malam. Sandra dengan cepat bangkit dan membukakan pintu untuk suaminya itu.

Bagas membawa banyak bungkusan. Sandra mengadu padanya jika di rumah ia tak diberi makan, adiknya baru pulang dari pasar tapi tak memberinya makanan.

Sandra langsung membawa bungkusan itu masuk ke kamarnya, sudah menjadi kebiasaan bagi Sandra dan Mira jika membeli sesuatu harus langsung masuk ke kamar, seolah takut apa yang mereka beli akan diminta.

"Bima, keluar kamu!" ucap Bagas dengan nada yang tak enak didengar, seperti guntur di malam hari.

Bima segera keluar, disusul oleh Regina dan Ibuk yang juga keluar setelah mendengar suara Bagas yang tak mengenakkan.

"Kamu jangan belajar pelit dan hitung-hitungan, kalau beli Sandra dikasih!" ucap Bagas ketus.

"Memang kenapa, Mas? Wong Sandra saja kalau beli apa-apa, Ibuk nggak pernah dikasih. Kamu nggak lihat, dia langsung bawa makanan itu ke kamar, kayak orang nggak pernah makan saja," ejek Bima.

"Heh, aku beliin Ibuk ikan bakar ya!" ucap Sandra tak terima.

"Ikan yang sudah bekas kamu makan, kamu kasih orang tua?" ucap Regina.

"Nggak usah ikut campur kamu!" ucap Bagas, menunjuk wajah Regina. Dengan cepat, Bima menarik tubuh Regina, berlindung di belakangnya, seperti perisai yang melindungi dari serangan.

"Nggak usah begitu, Mas. Kamu nggak tanya yang sebenarnya, kamu hanya mendengar dari satu pihak. Ingat, nggak akan ada asap kalau nggak ada api," ucap Bima, mengingatkan sang kakak.

"Kamu berubah semenjak menikahi wanita yang tak tahu asalnya ini, Bima!" ucap Bagas. Bima langsung meraih tengkuk Bagas, mengiringnya ke tempat cucian piring, di mana Regina meletakkan ikan bakar bersisa setengah yang dibawa oleh Sandra.

Hati Bagas mencelos, seperti jatuh ke jurang yang dalam. Ia ingat saat dirinya ingin makan ikan bakar, sang ibu bersusah payah mewujudkan keinginannya, meski dengan keadaan pas-pasan, sang ibu tetap berusaha mewujudkan keinginan anak-anaknya.

Bagas mengusap kasar wajahnya, seolah ia telah gagal mendidik sang istri. Wanita yang ia percaya akan menyayangi ibunya, kini justru membuatnya meragukan segalanya. Apakah mungkin selama ia menikah, sang ibu tidak diperlakukan dengan baik? Apa benar kabar burung yang ia dengar bahwa istrinya dan Mira memperlakukan ibu dengan sangat tidak pantas? Pikiran-pikiran itu berputar di benaknya, bagai pusaran air yang semakin lama semakin kuat.

Bagas langsung berjalan cepat meninggalkan semua orang yang masih berada di dapur, termasuk Sandra. Ia langsung masuk ke kamarnya, membanting pintu kamar hingga menimbulkan suara yang menggelegar, seperti bom yang meledak di tengah keheningan.

Sang ibu mengelus dada, mencoba menenangkan diri. Regina, dengan mata yang memerah, mendekati ibu mertuanya. "Ibuk, ikut aku saja, yuk, ke kota," ajak Regina, yang tanpa sadar air matanya meleleh membasahi pipinya, seperti sungai kecil yang mengalir deras.

Dengan tangan tua renta, Bu Sundari menghapus jejak air mata sang menantu. "Ibuk nggak papa, Ibuk sudah biasa. Kamu yang harusnya cepat pulang, biar nggak makan hati. Lihat badanmu sudah kurus, nanti apa yang ibu katakan pada besan Ibuk di kota?" ucap Bu Sundari, berusaha menghibur Regina.

Regina hanya tersenyum getir. Ia memeluk ibu mertuanya dengan sayang, menyalurkan segala rasa sayang dan hormatnya. Meskipun Regina anak orang berada, tapi kedua orang tuanya selalu mengajarkan dirinya pekerjaan rumah, dan juga menghargai orang lain.

Melihat kedua wanita kesayangannya berpelukan, hati Bima berdenyut, antara haru dan bahagia. Ia tersenyum tipis sembari memalingkan wajahnya, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku nggak diajak?" tanya Bima, yang langsung disambut oleh tangan tua milik sang ibu, seolah memberikan isyarat bahwa ia juga bagian dari keluarga ini.

Bab ini aku bikin panjang karena kalau di putus dan di sambung di bab selanjutnya kurang dapet feel-nya menurut ku.

Bukan Upik Abu

Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar, like mu semangat ku ❤️

1
🚨🌹maly20🌹🏵️
Bagus banget nih novel, author terus berkarya ya!
Ceriwis: Alhamdulillah 😍 terimakasih ❤️
total 1 replies
Azure
Endingnya puas. 🎉
Ceriwis: Alhamdulillah 😍 kalau kakak puas 😄
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!