NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

****

Malam itu.

Kamar Nathan cukup gelap. Di ranjang, Nathan duduk dengan kemeja kusut, rambut berantakan, dan cincin pernikahan yang tergeletak di genggamannya.

Sesekali ia menatap foto pernikahan yang masih berdiri di meja, masih ia pertahankan. Wajah Elara dalam foto itu membuat dadanya semakin sesak.

Tak lama setelahnya pintu kamar terbuka perlahan, Maria masuk. Wanita anggun itu mengenakan gaun tidur berwarna hitam, wajahnya lelah tapi penuh perhatian.

“Nathan, kau belum tidur juga?” tanya Maria pada putranya itu.

Nathan terkejut, ia segera mengusap wajahnya dengan kasar.

“Mom, aku hanya sulit tidur. Jangan khawatir.” balas Nathan.

Maria berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang. Ia menatap putranya dengan sorot heran.

Nathan terlalu banyak berubah setelah perceraian itu.

“Sulit tidur? Itu karena pikiranmu tidak tenang. Sejak perceraian itu, Mommy tahu kau menyimpan sesuatu, Nathan. Kau boleh menutupinya dari orang lain, tapi tidak dari Mommy.” ucap Maria.

Nathan terdiam, menunduk, menggenggam cincin di tangannya. Maria menghela napas lalu meraih tangan putranya.

“Nathan, apa sebenarnya yang membuatmu menceraikan Elara? Lima tahun kalian menikah, meski Mommy jarang melihat kehangatan di antara kalian, Mommy tak pernah menyangka akhirnya akan berakhir seperti ini. Katakan Mommy alasanmu, Nathan.” ucap Maria.

Nathan menutup matanya, suaranya bergetar saat mengatakan kejujuran itu.

“Mom, aku menceraikannya karena aku tidak bisa hidup dalam kepura-puraan lagi.” ucap Nathan akhirnya.

“Kepura-puraan? Apa maksudmu?” tanya Maria.

Nathan terdiam lama. Ia berdiri, berjalan ke arah jendela, lalu menatap langit malam.

“Malam pertama kami, aku tahu Elara bukan perempuan murni lagi. Dia…dia tidak perawan saat aku menyentuhnya pertama kali.” ucap Nathan.

Maria terperanjat, tubuhnya kaku.

“Apa yang kau katakan, Nathan?! Kau yakin dengan ucapanmu?!” Ucap Maria dengan nada suara yang tinggi.

Nathan menoleh, raut wajahnya pahit.

“Aku merasakannya, Mom. Seorang pria tahu. Aku tidak perlu bukti tertulis untuk itu. Sejak malam itu, aku merasa dibohongi. Lima tahun aku menjalani pernikahan dengan hati yang dingin, dengan keraguan, dengan luka yang kupendam. Bagaimana aku bisa mencintainya jika dari awal dia memberiku kebohongan?” tanya Nathan.

Maria menutup mulutnya dengan tangan, matanya melebar.

“Ya Tuhan, jadi itu alasanmu menjaga jarak selama lima tahun ini? Kau menjalani rumah tangga tanpa pernah benar-benar membiarkannya masuk ke dalam hatimu, hanya karena itu?!” tanya Maria.

Nathan menahan emosi.

“Bukan ‘hanya karena itu’, Mom. Kau tak mengerti! Setiap kali aku menatapnya, aku hanya melihat tanda tanya. Siapa pria itu? Apa dia mencintai orang lain sebelum aku? Kenapa dia tidak jujur? Semua itu menghantui aku. Dan aku, aku terlalu takut menanyakannya. Jadi aku memilih diam. Dan diam itulah yang membunuh kami selama pernikahan.” ucap Nathan.

Maria bangkit dari tempat duduk, berjalan mendekati Nathan. Tatapannya marah dan kecewa.

“Nathan, kau membiarkan prasangka menguasai hidupmu! Lima tahun! Lima tahun kau sia-siakan pernikahanmu hanya karena asumsi yang bahkan tidak kau pastikan kebenarannya! Nathan, kalian bahkan saling mencintai!” ucap Maria.

Nathan menunduk, suaranya seperti tidak bisa diungkapkan lagi.

“Aku tahu aku bodoh, Mom. Tapi waktu itu aku, aku merasa terkhianati. Aku tidak bisa menyingkirkan perasaan itu. Dan sekarang, setelah semua selesai, aku malah merindukannya.” kesal Nathan.

Maria menghela napas berat, suaranya meninggi.

“Merindukannya? Kau sudah menceraikannya, Nathan! Kau sudah membuat keputusan itu! Bagaimana bisa sekarang kau menangisi perempuan yang kau anggap pendusta?!” tanya Maria ikut kesal.

Nathan menatap Mommy nya, matanya berkaca-kaca.

“Karena meski pernikahan kami dingin, tapi aku terbiasa dengannya. Aku terbiasa dengan kehadirannya di rumah. Aku terbiasa dengan diamnya. Aku terbiasa melihat wajahnya meski tanpa senyum. Dan ketika dia pergi, hidup ini kosong. Hatiku kosong. Aku baru sadar betapa aku membutuhkannya.” balas Nathan.

Maria menutup mata, menahan emosi.

“Nathan, Mommy tidak menyangka alasanmu semenyakitkan ini. Kau tahu, tuduhan seperti itu bukan hal kecil. Jika Elara benar-benar bersih, bagaimana jika kau yang salah? Bagaimana jika itu hanya persepsimu yang keliru?” tanya Maria.

Nathan terdiam, raut wajahnya semakin lelah.

“Mungkin aku salah, tapi mungkin juga aku benar. Namun apa pun itu, semuanya sudah selesai sekarang. Perceraian itu sudah sah. Aku tidak bisa kembali.” balas Nathan lagi.

Maria mendekati Nathan, meraih wajah putranya dengan kedua tangannya.

“Nathan, Mommy hanya ingin kau sadar. Jangan biarkan penyesalan ini menghancurkanmu lebih dalam. Kau sudah memilih jalanmu. Sekarang belajarlah menanggung akibatnya. Jangan lagi menangisi sesuatu yang sudah tak bisa kau ubah.” ucap Maria memberi nasehat pada putranya itu.

Nathan menutup matanya, air matanya jatuh.

“Aku ingin bisa berhenti merindukannya, tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa. Aku sendiri bahkan merasa frustasi, Mom.” ucap Nathan bersama nada lelahnya.

Maria menarik napas panjang, lalu memeluk putranya erat.

“Ssttt cukup, Nathan. Mommy di sini. Kita akan hadapi ini bersama. Tapi ingat, Nathan, kau yang memilih jalan ini. Jangan biarkan hatimu terjebak di masa lalu.” ucap Maria.

Malam itu, kamar Nathan hanya berisi penyesalan seorang pria yang hancur oleh pilihannya sendiri.

Nathan merasa hidupnya tak lagi sama ketika telah berpisah dengan Elara.

***

Satu Minggu berlalu...

Hari itu, Elara datang seperti biasa ke kantor tempat ia baru bekerja seminggu. Senyumnya sempat merekah ketika beberapa rekan kerja menyapanya hangat.

Namun, sebelum ia benar-benar menyalakan komputer di mejanya, Hans memanggilnya ke ruangannya.

“Elara, silakan duduk. Ada kabar penting untukmu.” ucap Hans.

“Ya, Hans.” balas Elara.

Hans menatap Elara sejenak, lalu meletakkan sebuah dokumen di meja.

“Pihak manajemen pusat memintamu dipindahkan. Mulai besok kau tidak lagi bekerja di cabang ini, melainkan langsung di kantor utama.” ucap Hans memberitahu.

Elara tentu saja terkejut dengan ucapan Hans, ia sampai menegakkan tubuhnya.

“Kantor pusat? Tapi kenapa mendadak sekali?” tanya Elara kebingungan.

“Itu keputusan langsung dari manajemen tertinggi. Aku sendiri tidak diberi penjelasan rinci, hanya instruksi bahwa kau harus segera melapor ke kantor pusat. Jujur saja, ini langkah yang cukup jarang terjadi. Kau sebaiknya menyiapkan diri saja Elara.” ucap Hans.

Elara mengangguk gugup, meski dalam hatinya bercampur antara terkejut dan penasaran.

**

Akhirnya...

Gedung kantor pusat megah berdiri di pusat kota, dengan arsitektur modern yang berkelas.

Elara melangkah masuk ke lobby dengan pakaian rapi, rasa gugup jelas menghiasi wajahnya. Ia menyerahkan identitas di meja resepsionis, lalu diarahkan menuju lantai atas dengan lift khusus.

Sesampainya di lantai 25, seorang wanita dari HR menunggunya.

“Selamat pagi, Nona Elara. Saya akan mengantar Anda terlebih dahulu berkeliling untuk mengenal lingkungan kerja, lalu kita akan bertemu dengan atasan langsung.” ucapnya.

Jujur saja Elara bingung dan sangat gugup sekali.

“Baik, terima kasih.” balas Elara.

HR itu membawanya melewati ruangan-ruangan luas, deretan meja karyawan, hingga ruang rapat besar. Semua tampak lebih formal, lebih sibuk, dan penuh tekanan dibanding cabang tempat ia bekerja sebelumnya.

Hingga, HR membawa Elara ke depan sebuah pintu besar. Ada papan nama yang terpampang jelas. Marvin Luther, Presdir.

“Beliau adalah putra pemilik perusahaan dan pemimpin langsung di kantor pusat. Beliau jarang sekali menampakkan diri di hadapan karyawan biasa, jadi kesempatan ini cukup istimewa. Silakan masuk.” ucapnya pada Elara.

Elara menelan ludah, tangannya dingin saat mengetuk pintu. Dari dalam terdengar suara berat, tegas namun datar.

“Masuk.” ucapnya.

Elara melangkah masuk. Ruangan itu luas, dindingnya dipenuhi rak buku dan kaca besar yang memperlihatkan panorama kota.

Di balik meja panjang dari kayu hitam, duduklah Marvin Luther, seorang pria muda berjas hitam dengan kemeja putih tanpa dasi, wajahnya tampan namun dingin, sorot matanya tajam.

Elara sempat terhenti, terpesona sekaligus tertekan oleh auranya.

“Selamat pagi, Tuan Luther.” ucap Elara menyapa.

Marvin menegakkan tubuhnya, memperhatikan Elara sejenak dengan pandangan yang tak bisa dimengerti.

“Jadi kau yang bernama Elara?” tanya nya.

Elara menunduk dengan sopan.

“Benar, Tuan.” balas Elara.

Hening sesaat. Lalu Marvin berbicara dengan suara datar.

“Mulai hari ini kau tidak lagi bertugas di cabang. Aku menempatkanmu di sini sebagai sekretaris pribadiku.” ucap Marvin tanpa basa-basi.

Elara terkejut, matanya sampai membesar.

“S-sekretaris pribadi, Tuan? Maaf, saya, saya hanya seorang karyawan baru. Apakah tidak ada yang lebih berpengalaman untuk posisi itu?” tanya Elara terlalu terkejut.

Marvin menautkan jari-jarinya di atas meja, tatapannya tidak berubah.

“Pengalaman bisa dipelajari. Tetapi kemampuan adaptasi dan kejujuran lebih sulit ditemukan. Aku sudah mempelajari rekam jejakmu, termasuk rekomendasi dari cabang. Aku butuh seseorang yang dapat bekerja langsung mendampingiku. Dan aku memilihmu.” ucap Marvin.

Elara sempat terdiam, masih berusaha mencerna.

“Saya merasa terhormat, Tuan. Hanya saja, saya khawatir tidak mampu memenuhi ekspektasi Anda.” balas Elara.

Marvin mencondongkan tubuhnya sedikit, sorot matanya semakin menusuk.

“Jika kau tidak mampu, aku akan menggantimu. Sesederhana itu. Jadi, pastikan kau tidak mengecewakanku selama menjalankan tugas sebagai sekretaris pribadiku.” ucap Marvin.

Nada suaranya dingin, membuat Elara kaku. Namun ia segera menunduk dalam, mencoba menjaga rasa gugupnya di hadapan Marvin.

“Baik, Tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” balas Elara lagi.

Marvin kembali bersandar, lalu memberi perintah singkat.

“Mulai sekarang, kau akan mengikuti semua jadwalku, mencatat agenda rapat, menyusun dokumen pribadi milikku, serta memastikan tidak ada detail yang terlewat. Jam kerjamu tidak akan sama dengan karyawan lain, karena kau harus menyesuaikan dengan kebutuhanku.” ucap Marvin.

“Saya mengerti, Tuan.” balas Elara.

Marvin menatapnya sekali lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut namun tetap dingin.

“Satu hal yang harus kau pahami. Aku tidak menyukai orang yang terlalu banyak berbicara. Jawablah seperlunya, kerjakan perintah dengan tepat, dan jaga kerahasiaan perusahaan. Apakah jelas?” tanya Marvin.

Elara mengangguk dengan cepat.

“Jelas, Tuan.” balas Elara.

**

Elara keluar dari ruangan dengan langkah pelan, jantungnya masih berdegup kencang. HR yang menunggunya di luar langsung menghampiri.

“Bagaimana? Sudah bertemu dengan Tuan Marvin?” tanya nya.

“Ya, beliau sangat tegas. Dan…dingin.” ucap Elara menjawab.

HR itu tersenyum.

“Itulah gaya beliau. Banyak yang mengatakan bekerja langsung dengan Tuan Marvin ibarat berada di bawah tekanan langsung. Tapi, jika Anda berhasil bertahan, karier Anda akan melesat cepat.” ucap wanita itu.

Elara menghela napas dalam-dalam.

'Aku tidak menyangka dipindahkan ke sini dan malah menempatkanku di sisi orang yang begitu berpengaruh. Semoga aku mampu melewati semua ini.' ucap Elara membatin.

Dan hari itu menjadi awal baru yang sama sekali tidak Elara bayangkan, Elara kini berdiri di lingkaran terdekat seorang pemimpin tampan dan dingin, Marvin Luther.

Jujur Elara bingung mengapa dirinya dipilih menjadi seorang sekretaris bagi pria bernama Marvin Luther itu.

Bersambung…

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Tzuyu Twice: setuju
total 1 replies
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!