'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 09. KHM
...~•Happy Reading•~...
Setelah makan malam, Raymond dan kedua orang tuanya masih berbicara di meja makan sambil makan dessert. Ayahnya tidak menanyakan lagi tentang Belvaria, karena Raymond telah memberikan sinyal, untuk tidak membahasnya.
Akhirnya, Ayahnya membicarakan pekerjaan dan bisnis yang sedang digeluti. Ibunya hanya duduk diam mendengar dan sebagai wasit, agar Ayah Raymond tetap pada pembahasan bisnis. Tanpa menyinggung rumah tangga Raymond.
Beberapa waktu kemudian, orang tuanya masuk ke kamar tamu untuk istirahat, Raymond masuk ke kamar, tapi dia tidak bisa istirahat. Dia keluar kamar sambil membawa laptop ke ruang tengah.
Tidak seperti biasanya dia bekerja di ruang kerja, karena hanya memeriksa beberapa email dan jadwal kerja. Jika memeriksa gambar rancangan bangunan atau rumah, dia akan bekerja di ruang kerja dengan semua peralatan gambar yang lengkap.
Ketika sedang serius membaca email yang masuk sepanjang hari dan schedule yang diberikan sekretaris, dia dikejutkan oleh suara bunyi koper ditarik ke ruang tengah. Dia mengalihkan pandangan untuk melihat ke arah sumber suara.
Melihat Belvaria sedang menarik koper masuk ruang tengah, Raymond berhenti mengetik dan melihat istrinya. "Kau baru pulang?" Tanya Raymond serius.
"Iya, Ray. Tadi macet banget dari bandara. Mana delay lagi." Istrinya langsung duduk di salah satu kursi di ruang tengah tanpa melihat sekitarnya.
"Klasik..." Ucap Raymond singkat, karena sudah biasa dengar alasan Belvaria seperti itu.
"Lekas ke kamar, ganti pakaianmu, sebelum orang tuaku keluar." Raymond berkata sambil menggerakan kepala ke kamar. Dia tidak mau orang tuanya melihat outfit minim bahan yang dikenakan Belvaria. Kemudian dia kembali melihat layar laptop.
"Orang tuamu ada datang? Mengapa kau ngga kasih tahu aku?" Istrinya kaget mendengar mertuanya ada di rumah. Hingga dia berdiri mendekat dan tanya beruntun.
"Pelankan suaramu...!" Raymond berkata sambil merapatkan giginya. "Kau ngga baca pesan yang aku kirim?" Raymond kembali melihat istrinya.
"Sorry. Aku sibuk banget, jadi belum sempat baca pesan yang menumpuk..." Istrinya coba mencari alasan, karena lupa membaca pesan suaminya. Dia segera menarik koper lalu menuju kamar untuk menghindari pembahasan lebih lanjut.
Raymond hanya bisa geleng kepala dan kembali melihat layar laptop dan mulai serius ketik untuk membalas email. Agar dia besok punya banyak waktu bersama orang tuanya.
Tidak lama kemudian, istrinya balik menemuinya dengan wajah kesal. "Ray, kau abis beli ponsel buat Titin?" Raymond kembali berhenti mengetik dan melihat istrinya. "Kau tahu kalau ponselnya dijambret orang di pasar?" Tanya Raymond, serius.
Istrinya menggeleng, ragu. "Lalu dari mana, kau tahu aku beli ponsel?" Raymond berdiri sambil memegang laptop dalam keadaan terbuka. "Barusan dia bilang." Istrinya menjawab sambil menunjuk ke arah belakang.
"Belva, kau ngga tanya kabarku, tapi kau pergi ke belakang interogasi ART?" Raymond jadi emosi melihat sikap istrinya yang cuek seakan tidak peduli dengannya, tapi dengan cepat emosi mengetahui dia mengurus hal yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Raymond tetap berdiri, menanti jawaban, tapi istrinya terdiam. "Ikut aku...." Raymond berkata sambil menjinjing laptop menuju kamar. Supaya apa yang akan mereka bahas tidak didengar oleh orang lain, terutama orang tuanya.
Padahal Raymond sudah berusaha tidak membahas apa pun, karena ada orang tuanya. Tetapi yang dilakukan Belvaria memancing emosinya.
Raymond meletakan laptopnya di dalam rak dekat lemari pakaian lalu melihat istrinya yang sudah masuk ke kamar. "Selama pergi, kau tidak pernah ngecek kondisi rumah dari Titin?" Tanya Raymond sambil meletakan kedua tangannya di panggul.
Gestur tubuh Raymond menunjukan apa yang akan dibahas tidak berakhir sebelum Belvaria menjawab semua yang ingin dia tahu.
"Aku cek, kok. Tapi telpon Titin tidak bisa dihubungi. Apa itu salahku, kalau dia tidak bisa dihubungi?" Belvaria tidak mau disalahkan, jadi katakan alasan yang terlintas untuk menghindar.
"Kau telpon Titin dan tidak bisa dihubungi, lalu kau tenang-tenang saja?" Raymond bertanya dengan nada berat dan dalam, penuh penekanan.
"Tenang-tenang apa? Ini aku pulang lebih cepat, padahal pemotretan belum selesai. Semua kerjaan berantakan dan tertunda, karna aku pulang lebih cepat dari schedule." Belvaria balik membalas Raymond dengan nada yang sama.
"Pulang lebih cepat? Kau sudah hampir dua minggu tinggalkan rumah ini. Kau hanya beritahuku ada penundaan pemotretan karena cuaca buruk, si A sakit, si B ngambek dan segala macam. Tapi kau tidak bilang, kalau tidak bisa hubungi Titin." Belvaria terdiam melihat tatapan tajam Raymond.
"Jika terjadi hal buruk dalam rumah ini, dan dia tidak bisa hubungi kita, apa jadinya? Pergunakan sedikit saja pikiranmu!" Raymond mengatakan penuh tekanan dengan suara dalam.
"Kalau aku tidak hubungi dia untuk beritahu orang tuaku mau datang, aku tidak tahu handphonenya hilang. Kau tidak tahu betapa paniknya aku saat tidak bisa hubungi dia?"
"Aku harus ngebut pulang dari kantor, karna kuatir terjadi sesuatu. Apa kau tidak pikirkan itu? Dia tinggal sendiri di rumah ini." Nada suara Raymond jadi naik.
"Buktinya tidak terjadi apa-apa. Ngga usah dibesar-besarkan. Kau saja yang terlalu khawatir." Belvaria tidak mau kalah dan balik menyerang Raymond.
"Siiiii^iiiiit....!!" Raymond mengibaskan tangannya dengan marah dan sangat marah mendengar ucapan Belvaria. "Apa terjadi sesuatu dulu, baru khawatir? Apa rumah ini sudah terbakar baru membuatmu panik? Atau kau sudah tidak peduli dengan rumah ini?"
Belvaria kelabakan dan mencari alasan untuk menghindari kemarahan Raymond. "Bisa-bisanya kau beli handphone mahal buat Titin. Padahal kau tidak pernah beli buatku." Belvaria mendapat ide untuk mengalihkan topik, karena melihat Raymond diam menahan amarah.
Dia tahu Raymond kalau sudah marah, tidak bisa dihentikan. Oleh karena itu, dia berusaha pembahasan tidak berpusat padanya. Agar Raymond tidak terus marah padanya.
"Lebih baik ucapanmu berhenti di situ. Jangan sampai aku lupa pada kesepakatan dan berlaku layaknya suami normal." Ucap Raymond sambil menunjuk ke arah wajah Belvaria, agar berhenti mempersoalkan ponsel yang dia beli buat ART.
"Bukan itu maksudku, Ray." Belvaria mengangkat tangan dan coba menghentikan Raymond.
"Berhenti di situ. Kau bilang aku tidak pernah beli buatmu? Salah siapa? Kau yang minta terus bekerja dan barternya, aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk semua keperluanmu. Kau lupa itu?" Raymond mendekat dengan wajah tegang.
"Bukan begitu Ray... Lupakan.... Mungkin tadi aku agak cemburu melihat kau lebih perhatian dan beli handphone mahal buat Titin." Belvaria menurunkan nada suara lalu mendekati Raymond.
Belvaria coba bicara dengan nada suara pelan untuk menenangkan, sebab dia melihat Raymond semakin marah. Dia menyadari, ucapannya bisa menuntun dia ke pinggir jurang. Atau bisa jadi bumerang baginya.
"Kau bilang agak cemburu? Kau mengerti kata itu? Sekarang mandi lalu lakukan tugasmu sebagai istri." Raymond menunjuk ke kamar mandi, lalu melepaskan t-shirtnya dengan sekali tarikan.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...