Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9. Kiss Spontan
Naina masih terpaku di depan sofa, tangannya mengepal menahan gemetar. Sorot matanya tajam, tapi di dalamnya ada badai yang tak bisa ia redam.
Ihsan berdiri bersandar ke meja kayu jati besar, wajahnya dingin tanpa ekspresi, namun sorot matanya jelas menyimpan bara.
“Lihat Om, ini awal dari rencana Om yang egois,” ucap Naina dengan nada bergetar, tapi matanya menantang.
Ihsan menegakkan tubuhnya, melangkah pelan mendekat. “Kamu pikir semua ini permainan? Aku serius, Na. Aku nggak pernah main-main soal perasaan,” imbuhnya dengan suara datar tapi menekan.
Naina menahan tawa getir. “Serius? Om sadar nggak, umur kita beda jauh? Apa Om nggak malu jadi bahan gosip semua orang kalau nekat nikahin aku? Aku ini cuma anak SMA, Om. Hidupku masih panjang. Sementara Om udah empat puluh tahun duda lagi!” serunya Naina dengan nadanya meninggi.
Tatapan Ihsan tak bergeser sedikit pun. “Kenapa harus kamu? Karena kamu satu-satunya perempuan yang bikin aku lupa dunia bisnis, lupa ambisi. Kamu bikin aku hidup lagi,” katanya lirih tapi penuh penekanan.
Naina tersenyum miring, getir. “Di luar sana banyak perempuan lebih cantik, lebih anggun, punya segalanya. Om tinggal pilih selesai cerita. Aku cuma anak yang bahkan lahir karena ibunya diperkosa. Apa Om nggak sadar, aku ini aib buat banyak orang?”
Ihsan mendekat hingga jarak mereka tinggal sejengkal. “Justru karena kamu apa adanya, Na. Aku lihat keteguhan di mata kamu. Aku jatuh cinta, obsesi, apapun namanya. Aku nggak peduli masa lalu kamu,” tegasnya suaranya bergetar menahan emosi.
Naina mundur setengah langkah, tapi Ihsan menahan lengannya. Hatinya campur aduk, antara muak dan penasaran.
Ia menatap wajah Ihsan lama sekali, seakan mencari kebenaran. Tiba-tiba, entah dari mana keberaniannya muncul, Naina menarik tubuh Ihsan dan menempelkan bibirnya.
Ciuman pertama itu kaku, canggung, tapi panas. Ihsan sempat menahan, tapi detik berikutnya ia kalah. Manisnya bibir gadis itu membuatnya hanyut, lupa segalanya. Tangannya sempat bergerak ragu, lalu terhenti.
Ruangan hening semua lukisan dan patung seni di dinding seperti menunduk, enggan jadi saksi.
Naina melepas ciuman itu dengan napas terengah. “Apa Om sudah puas sekarang? Apa itu yang Om mau dari aku?” ucapnya dingin.
Ihsan menatapnya lekat, dadanya naik turun. “Bukan itu yang aku cari. Aku mau kamu jadi bagian hidupku. Bukan sekadar bibir, bukan sekadar tubuh. Aku mau kamu, Na,” katanya dengan nada keras namun penuh keyakinan.
Naina menoleh ke arah pintu, hatinya bergejolak. “Kalau begitu, siap-siaplah perang. Aku nggak akan nurut semudah itu. Kalau Om maksa, aku juga bisa lebih keras,” serunya sambil melangkah pergi, meninggalkan Ihsan yang terdiam dengan tatapan penuh obsesi.
Langkah Naina sudah sampai di ambang pintu ketika suara Ihsan memecah udara.
“Aku akan cari tahu siapa ayah kandungmu, sampai ketemu, asal kamu mau menikah sama aku hari Jumat lusa,” ujarnya mantap, penuh tantangan.
Naina berhenti sejenak. Bahunya menegang, wajahnya berbalik pelan dengan sorot mata penuh luka.
“Om pikir aku segampang itu? Om nggak ngerti rasanya jadi anak tanpa nama. Om nggak pernah ngerasain dipandang rendah cuma karena asal-usul. Jangan sekali-kali pakai masa laluku buat alat tawar-menawar,” balasnya lirih tapi tegas.
Ia menunduk sebentar, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Kalau Om emang punya hati, biarin aku nemuin jawabannya sendiri. Jangan pake syarat gila kayak gitu.”
Tanpa menunggu respon, Naina keluar, membanting pintu pagar besi dengan keras. Motor tuanya sudah menunggu di tepi garasi. Ia mengenakan helm lusuh, lalu menyalakan mesin yang meraung kasar.
Angin pagi Jakarta menampar wajahnya ketika ia melaju, mencoba melarikan diri dari beban yang menyesakkan dadanya.
POV Rubi
Di dalam mobil sedan hitam yang meluncur di jalan raya, Rubi menempelkan keningnya ke kaca jendela.
Pandangan matanya kosong, tapi hatinya bergemuruh. Kata-katanya sendiri tadi ancaman memutus hubungan dengan sang ayah terus terngiang.
Sopir melirik lewat kaca spion, namun tak berani bicara. Hanya suara radio pelan yang menemani perjalanan.
Rubi menghela napas berat. “Papa bener-bener udah gila, ya. Nikahin cewek seumuran aku,” gumamnya sendiri suaranya serak.
Tangannya menggenggam rok seragam putih abu-abu. Ada rasa marah, ada juga getir yang susah didefinisikan.
“Kalau Papa terus maksa, aku sumpah aku beneran nggak akan anggap dia ayahku lagi,” serunya pelan seolah meyakinkan dirinya sendiri.
Mobil berhenti di lampu merah. Di luar, anak-anak sekolah lain berjalan santai sambil bercanda.
Rubi menatap mereka dengan iri. Hidup mereka terlihat normal, tanpa drama keluarga yang menguras jiwa.
Ia menutup mata sebentar. Di dalam hatinya, ada doa kecil yang tak pernah ia ucapkan keras-keras yaitu semoga Papa sadar, semoga semua ini cuma mimpi buruk yang bisa segera berakhir.
POV Ihsan
Pintu pagar sudah tertutup, suara motor tua Naina makin menjauh. Ihsan terdiam di ruang tamu, jantungnya berdegup tidak biasa.
Tangannya menyentuh bibirnya sendiri, masih ada sisa hangat dari ciuman singkat tapi dalam itu.
“Anak gila,” gumamnya lirih, tapi senyumnya tipis mengembang.
Ia berjalan mondar-mandir, menatap lukisan abstrak di dinding seolah mencari jawaban.
“Naina… kamu benar-benar nggak tahu apa yang kamu mulai,” ucapnya, suaranya penuh obsesi.
Ihsan menghela napas panjang, lalu menatap bayangannya sendiri di cermin besar.
“Kamu bisa lari sejauh apapun, Na. Tapi aku pasti dapatin kamu. Apapun caranya. Kamu udah bikin aku nggak bisa balik jadi diriku yang dulu,” imbuhnya dengan nada nyaris seperti ancaman pada diri sendiri.
Tangannya kembali menyentuh bibir. Rasa manis itu melekat, membuatnya makin yakin bahwa gadis itu harus jadi miliknya. Bukan sekadar cinta, tapi juga harga diri dan obsesi yang menolak kalah.
POV Naina
Motor tuanya meraung di jalanan padat. Angin pagi menampar wajahnya, tapi pikirannya jauh lebih riuh daripada suara mesin.
Tangannya menggenggam erat stang, bibirnya masih panas, pipinya bersemu merah meski hatinya penuh amarah.
“Bodoh! Kenapa aku bisa seberani itu. Apa yang terjadi kepadaku!? Apa yang kupikirin tadi?” rutuknya dalam hati, seakan menampar dirinya sendiri karena keputusan bodohnya.
Ia melaju kencang, menyalip mobil-mobil, mencoba mengusir bayangan wajah Ihsan yang muncul terus di kepalanya. Tapi semakin ia melawan, semakin jelas ingatan itu menempel.
“Aku baru aja nyium duda anak dua. Duda empat puluh tahun pula. Ya Tuhan, apa aku udah gila?” katanya lirih, hampir tercekat oleh perasaannya sendiri.
Ia menepikan motor sebentar di bawah pohon besar, menurunkan helm, lalu menunduk dengan napas terengah.
“Dia bikin aku kebawa arus. Padahal aku nggak pernah bahkan bayangin pun nggak. Kenapa harus dia?” ucapnya gemetar.
Hatinya berkecamuk. Antara marah pada Ihsan, muak pada dirinya sendiri, tapi juga ada rasa asing yang tak berani ia sebut. Rasa yang membuatnya takut sekaligus penasaran.
Akhirnya ia kembali mengenakan helm, menyalakan mesin, dan melaju lagi menuju sekolah.
Suara motor tuanya serak, persis seperti hatinya yang retak tapi masih terus berjalan.
Langkah kaki Naina bergema di lorong panjang, helm barunya masih digenggam, rambutnya agak kusut karena angin jalanan.
Wajahnya serius, tatapan matanya tajam menembus depan. Di pintu kelas, Salsabila sudah berdiri melambaikan tangan kecil, tapi Naina belum sempat tersenyum.
Dari arah berlawanan, Rubi muncul dengan langkah anggun, sepatu mengklik lantai, rok seragam jatuh rapi tanpa kusut. Rambut hitamnya disisir licin, bibirnya tertekuk dalam senyum dingin.
Mata mereka bertemu sekejap suasana lorong seolah membeku. Beberapa siswa yang lewat langsung memperlambat langkah, pura-pura mencari sesuatu di tas hanya untuk bisa menyaksikan.
Rubi menegakkan dagunya lebih tinggi, seolah menantang. Senyumnya tipis, bibirnya sedikit menyeringai penuh kesombongan
Naina tidak menghindar. Ia menatap balik, alisnya menukik, rahangnya terkunci rapat. Sepasang matanya berkilat tajam, seakan bisa menebas udara.
Keduanya berhenti sepersekian detik tepat berhadap-hadapan. Hening, tapi aura tegang memancar begitu kuat.
Salsabila menutup mulut dengan tangan, wajahnya panik. Ia bisa membaca betapa panasnya situasi itu.
Bisik-bisik mulai terdengar. “Woi, tuh lagi-lagi…,” ucap seorang cowok di ujung lorong.
“Serius, kayaknya mereka emang lahir buat jadi musuh,” timpal temannya sambil cekikikan.
“Coba bayangin kalau tiba-tiba mereka tinggal serumah. Fix tiap hari dunia kiamat,” celetuk siswi lain sambil menahan tawa.
Rubi mengerling sekilas, lalu berjalan melewati Naina dengan ekspresi puas, meninggalkan jejak gengsi.
Naina tidak menoleh sedikitpun, tapi sorot matanya yang mengikuti jelas penuh api.
Akhirnya ia melangkah masuk kelas. Semua tatapan teman-teman seakan menempel, bertanya-tanya dalam hati.
Tak ada yang tahu, sampai kapan pun, bahwa rival abadi itu suatu hari akan jadi ibu dan anak sambung.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺