NovelToon NovelToon
The Land Of Methera

The Land Of Methera

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Isekai / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: lirien

WARNING!!
Kita akan berkelana ke Dunia Fantasi, Karena itu, ada beberapa lagu yang akan di rekomendasikan di awal cerita untuk membawamu ke sana. Putarlah dan dengarkan sembari kamu membaca >>

___
Di sebuah kerajaan, lahirlah dua putri kembar dengan takdir bertolak belakang. Satu berambut putih bercahaya, Putri Alourra Naleamora, lambang darah murni kerajaan, dan satu lagi berambut hitam legam, Putri Althea Neramora, tanda kutukan yang tak pernah disebutkan dalam sejarah mereka. kedua putri itu diurus oleh Grand Duke Aelion Garamosador setelah Sang Raja meninggal.

Saat semua orang mengutuk dan menganggapnya berbeda, Althea mulai mempertanyakan asal-usulnya. hingga di tengah hasrat ingun dicintai dan diterima sang penyihir jahat memanfaatkannya dan membawanya ke hutan kegelapan. Sementara itu, Alourra yang juga berusaha mencari tahu kebenaran, tersesat di tanah terkutuk dan menemukan cinta tak terduga dalam diri Raja Kegelapan, makhluk yang menyimpan rahasia kelam masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kegaduhan

“Jika yang kau persoalkan hanyalah gaunku—yang memang dirancang khusus oleh Nyonya Moran—maka silakan. Kau bisa memintanya setiap hari, aku tak mempermasalahkannya,” ujar Althea dengan suara tenang, namun sorot matanya tajam menembus. Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Vely dengan intensitas yang menusuk. “Namun… dengan kekayaan seorang baron yang masih kau miliki, apakah itu cukup untuk menyewa Nyonya Moran setiap hari?”

Kata baron itu bagaikan belati yang menancap di harga diri Putri Vely. Wajahnya menegang, jemarinya yang halus mencengkeram erat gagang kipasnya, seakan menahan amarah.

Althea melanjutkan, senyumnya tipis namun penuh ironi. “Ah, atau mungkin… dari mana sebenarnya kau memperoleh kekayaan untuk membayar sang desainer itu?”

Keheningan mencekam turun sesaat sebelum Althea mengucapkan kalimat berikutnya, lebih berat dan penuh makna. “Karena aku telah mengirim surat resmi—delegasi pembelian atas separuh tambang kristal di Gunung Nevers yang sebelumnya menjadi hakmu.”

Sontak suasana paviliun gempar. Semua mata terbelalak. Mereka tahu, tambang kristal di perbatasan Gunung Nevers adalah sumber kekayaan utama Kerajaan Neovamir. Separuh hasilnya memang sudah jatuh ke tangan Kekaisaran Eamora sebagai bentuk kerja sama. Namun kabar bahwa Althea hendak menguasai sisanya jelas mengguncang.

Wajah Putri Vely memerah, nadanya pecah oleh emosi. “Sial! Kau ingin menghancurkan kerajaanku?!”

“Betapa kejamnya dirimu, Althea!” seru Putri Caly, matanya membelalak penuh tuduhan.

“Aku tak menyangka… kau tega melakukan ini pada sesama bangsawan,” timpal Leory, suaranya bergetar antara terkejut dan marah.

Putri Emery hanya membisu, syok tak terkira. Ia baru menyadari, kehadiran Althea bukan sekadar undangan minum teh—ada strategi besar tersembunyi di balik keanggunannya.

Althea menegakkan tubuhnya kembali, wajahnya sama sekali tak terguncang. Dengan anggun, ia mengangkat tangannya memberi isyarat pada pelayan. “Maaf,” ucapnya datar, “aku belum sempat menjelaskan sepenuhnya.”

Pelayan dengan cekatan menuangkan teh baru ke dalam cangkir Althea. Ia menunggu sejenak, lalu menyesapnya perlahan, seakan percakapan panas itu hanyalah gangguan kecil di tengah sore yang tenang.

“Jika kalian menganggap tindakanku ini jahat,” ucap Althea kemudian, “maka laporan yang diberikan Duke Ael kepadaku menunjukkan hal yang jauh lebih kelam.”

Sekali lagi, keheningan jatuh. Semua tatapan tertuju padanya.

“Putri Vely,” suara Althea kini terdengar dingin, penuh wibawa, “kami menangkap salah seorang pekerja dari pihakmu menyusup ke tambang milik Kekaisaran Eamora… mencuri batu kristal. Dan lebih dari itu—kau membebankan pajak rakyatmu hingga tiga puluh persen. Tiga puluh persen! Sedangkan kebijakan tertinggi di negeri mana pun tak lebih dari sepuluh.”

Althea menatap Vely lurus-lurus, sorot matanya tak tergoyahkan. “Bagaimana seorang bangsawan bisa melakukan hal sebusuk itu?”

Para putri lain terdiam membeku. Wajah mereka dipenuhi keterkejutan, antara tak percaya dan takut. Emery menutup mulutnya, syok dengan kenyataan yang terbongkar begitu telanjang di hadapannya.

Althea meletakkan kembali cangkir tehnya dengan elegan. Senyum tipis menghiasi bibirnya. “Dan, Putri Vely… apakah kau tidak penasaran bagaimana perjalananku kemari?”

“Akan kuceritakan,” ucap Althea lembut, menuangkan sedikit gula ke dalam tehnya. Gerakannya anggun, tenang, seolah seluruh ruangan hanyalah panggung kecil miliknya. Ia mengaduk perlahan, lalu menatap Vely dengan senyum samar. “Ah, aku tidak melalui rute yang kau sarankan padaku, Putri Vely.”

Kata-kata itu membuat Vely menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.

“Karena itu,” lanjut Althea, “mungkin apa yang kulihat berbeda dengan apa yang ingin kau perlihatkan. Sepanjang perjalanan, aku memilih jalur Utara. Sebuah wilayah pedesaan…” suaranya menurun, dingin sekaligus menusuk, “dan apa yang kutemukan di sana sungguh mengenaskan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, rumah-rumah reyot, wajah-wajah letih tanpa harapan. Apa kau tahu hal itu, Putri Vely?”

“Ti… ti… tidak!” jawab Vely terbata, nadanya panik. “Aku… aku benar-benar tidak tahu.” Ia mencoba tersenyum, namun wajahnya jelas pucat pasi.

Althea hanya mengangguk tipis, lalu meneguk tehnya dengan tenang. “Baiklah. Kalau begitu, pergilah ke sana sendiri suatu hari nanti. Bahkan lebih baik… kalian semua,” ia menatap Caly dan Leory sekilas, “cobalah pulang melalui rute Utara. Maka kalian akan melihat sendiri penderitaan rakyatmu.”

“Ti… tidak!” potong Vely dengan suara meninggi. “Jalur itu sedang diperbaiki, kalian tidak bisa melewatinya!” Suaranya bergetar, penuh ketakutan, dan justru semakin menelanjangi kelemahannya.

“Oh, begitu?” Althea mencondongkan kepala sedikit, suaranya penuh kepolosan yang dibuat-buat. “Maafkan aku, mungkin aku memang terlalu banyak bicara.” Senyumnya tetap manis, seakan tak menyadari bahwa ia baru saja menusukkan belati ke jantung lawannya.

Tiba-tiba seorang pelayan datang mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Althea. Sang putri hanya mengangguk ringan, lalu menaruh cangkirnya dengan hati-hati di atas meja.

“Sepertinya aku tak bisa berlama-lamA di sini,” ucapnya seraya berdiri. Gaunnya yang berkilau bergerak lembut mengikuti langkahnya. “Ada urusan penting yang menungguku di istana.” Tatapannya singkat mengarah pada Vely, yang kini terlihat ketakutan setengah mati.

Ia lalu menoleh pada Emery, senyumnya berubah tulus, lembut. “Bagaimana denganmu, Putri Emery?”

Emery sedikit terkejut ditanya, jantungnya berdebar. “Ah… aku juga akan kembali. Perjalananku pulang cukup jauh.” Ia bangkit berdiri, meski dalam hati masih bimbang bagaimana harus berpamitan di tengah ketegangan ini.

“Kalau begitu,” Althea menundukkan kepala sopan pada Vely, suaranya halus namun menyengat, “izinkan aku berpamitan. Terima kasih atas jamuanmu, Putri Vely.”

Vely, meski hatinya dipenuhi amarah, tak punya pilihan selain berdiri demi menjaga etika bangsawan. Senyum kaku terpaksa ia pasang di wajahnya.

Emery pun ikut menunduk anggun. “Saya juga mohon pamit, Putri Vely. Terima kasih atas undangan dan jamuanmu.”

Putri Vely, meski amarah membara di dadanya, terpaksa tetap menegakkan tubuh dengan sikap anggun sebagaimana etika bangsawan menuntut. Senyum tipis namun dipaksakan terlukis di wajahnya.

“Terima kasih sudah datang,” ucapnya, suara manis yang menyembunyikan bara kebencian.

Althea membalas dengan anggukan kecil, sementara ia dan Putri Emery melangkah meninggalkan paviliun taman. Keduanya berjalan berdampingan melewati jalur berbatu yang dibingkai bunga musim semi, langkah mereka ringan namun sarat wibawa, seolah membawa cahaya keheningan yang agung.

Di belakang mereka, tatapan Putri Vely masih membakar. “Aku benci kau, Althea... dasar putri terkutuk,” bisiknya geram, meski hanya angin taman yang menjadi saksi.

Suasana menjadi hening ketika Althea dan Emery melintasi pelataran menuju gerbang luar istana. Keduanya tampak tenggelam dalam kebisuan yang canggung, hingga akhirnya Althea memecah sunyi dengan suara lembutnya.

“Terima kasih, Putri Emery, karena telah berdiri di sisiku tadi,” ujarnya sambil menoleh dengan senyum tulus.

Emery tergagap kecil, wajahnya memerah. “Ah, tidak… aku sama sekali tidak melakukan apa-apa,” jawabnya kikuk. “Sebaliknya, kaulah yang begitu mengagumkan, Putri Althea. Caramu menghadapi mereka tadi… sungguh memesona.”

Althea hanya tersenyum samar. “Itu hal biasa dalam lingkaran sosial para bangsawan. Tak jarang pesta semacam ini hanyalah arena ujian kesabaran.” Tatapannya melunak. “Apakah ini pertama kalinya kau menghadiri pertemuan sosial, Lady Emery?”

Putri berambut putih itu menunduk sedikit, tampak ragu. “E-ehm… iya. Ini memang yang pertama.”

“Begitu rupanya…” Althea menatapnya penuh pengertian. Ia lalu melangkah lebih perlahan, nada suaranya hati-hati. “Jika boleh tahu, dari kerajaan manakah asalmu?”

Mereka berhenti sejenak di tepi jalur taman. Emery memperbaiki sikap tubuhnya, lalu menunduk penuh tata krama.

“Saya, Putri Emery Charielle, berasal dari Kerajaan Aetherielle.”

Althea sempat terdiam mendengar nama itu. “Aetherielle…” bisiknya pelan. “Kakakku sedang berada di sana sekarang.”

“Benarkah?” Mata Emery berbinar. “Maka perjalanannya pasti tak mudah.”

Althea mengernyit halus. “Mengapa demikian?”

Senyum lembut Emery mengembang, suaranya seperti nyanyian angin. “Karena Kerajaan Aetherielle berdiri di atas awan.”

Althea tersentak kecil. “Di… atas awan?”

Emery mengangguk mantap. “Benar. Negeri kami melayang tinggi di angkasa. Rakyat kami memiliki sayap, sehingga mudah bagi mereka terbang menembus lautan langit.”

Mata Althea melebar, pandangannya turun ke punggung Emery yang tampak polos tanpa tanda sayap. “Sayap? Lalu… di mana sayapmu?”

Emery terkekeh kecil, matanya jernih bagai cahaya bulan. “Aku belum memilikinya. Ayahku berasal dari Ras Angel, sementara ibuku seorang manusia. Karena itu sayapku belum tumbuh. Namun, saat usiaku genap tujuh belas tahun, sayap itu akan muncul dengan sendirinya.”

Jujur saja Althea masih belum sepenuhnya memahami. Hatinya masih dipenuhi tanda tanya, namun sebelum ia sempat merangkai kata, suara lembut Putri Emery terdengar.

“Ah… pengawalku sudah tiba,” ucap Emery sambil menoleh.

Mata Althea membelalak takjub. Di hadapannya berdiri sebuah kereta megah berukir emas, ditarik oleh kuda bersayap menjulang—makhluk gagah menyerupai pegasus yang hanya pernah ia dengar dalam legenda.

“Aku pamit dahulu, Putri Althea. Senang sekali dapat berjumpa denganmu,” ujar Putri Emery, membungkuk dengan anggun.

Althea menunduk hormat, suaranya lembut namun penuh ketulusan. “Aku pun senang bertemu denganmu, Putri Emery. Semoga perjalananmu selamat.”

Dengan langkah yang teratur dan anggun, Putri Emery menaiki keretanya. Sayap-sayap kuda itu mengepak ringan, seolah siap menembus angkasa.

Althea hanya bisa menatap kepergian sang putri, kebingungan masih bergelayut di hatinya. “Sayap…?” bisiknya dalam hati, mencoba memahami apa yang baru saja dilihatnya.

1
anggita
like👍 iklan👆, moga novelnya lancar.
anggita
iri 😏
anggita
visualisasi gambar tokoh dan latar belakang tempatnya bagus👌
Nanachan: wah trimakasih banyak kak, jadi makin semangat 🫰🫶
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!