NovelToon NovelToon
Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Kehidupan Kedua Si Pelatih Taekwondo

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Berondong / Time Travel / Cinta pada Pandangan Pertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Amanda Ricarlo

Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.

Bagaimana Kelanjutannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kemampuan Lesham

Di ruang tamu kini dipenuhi ketegangan yang tak kasatmata. Udara seolah membeku di antara tatapan dua pasang mata yang saling mengukur. Kai duduk di ujung sofa, punggungnya tegak kaku, jemarinya bertaut di pangkuan, sementara Lesham duduk tak jauh darinya, berusaha menampilkan senyum ramah meski garis bibirnya terlihat sedikit tegang. Di hadapan mereka, duduk sepasang suami istri paruh baya, mamah dan papah Lesham yang dari cara memandangnya saja sudah cukup membuat napas Kai terasa berat.

Mereka tidak banyak bicara di awal, hanya saling menatap, dan dalam tatapan itu ada banyak hal pertanyaan, penilaian, bahkan sedikit rasa curiga. Kai sempat melirik Lesham sekilas, berharap gadis itu membuka pembicaraan, tapi yang ia dapat justru tatapan singkat yang seolah berkata, Ya ampun, tahan saja sebentar lagi.

“Apa aku pulang saja? Orang tuamu… menakutkan sekali,” bisik Kai pelan, suaranya nyaris tenggelam, tapi cukup terdengar oleh Lesham yang langsung menahan tawa dengan susah payah.

Untunglah, Ibu Lesham akhirnya memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi nada bicaranya menunjukkan bahwa ia sedang menimbang-nimbang setiap kata yang keluar dari mulut Kai.

“Apa kau temannya Lesham? Mamah tidak pernah melihat Lesham punya teman laki-laki.” Ia tersenyum tipis, namun matanya memerhatikan Kai dengan penuh selidik.

Kai menegakkan punggungnya, mencoba menampilkan wajah yang meyakinkan. “Ah iya, Tante. Saya teman dekatnya Lesham.”

“Sejak kapan?” suara papah terdengar datar, tapi entah kenapa menimbulkan getaran aneh di dada Kai.

Kai melirik Lesham, seakan meminta izin untuk bicara.

“Baru beberapa hari ini, Mah. Kami bertemu di sekolah,” jawab Lesham dengan senyum lebar, seolah ingin memecah suasana yang kaku.

Tatapan mamah menyapu Kai dari ujung kepala hingga ujung kaki, seperti sedang membaca profil lengkapnya tanpa perlu membuka dokumen apa pun. Sorot matanya sesaat terlihat ragu, mungkin karena wajah Kai yang bagi sebagian orang lebih cocok menjadi karyawan kantoran ketimbang anak sekolah.

“Dia alumni sekolahku, Mah. Jadi wajahnya memang agak… kelihatan lebih tua sedikit,” ujar Lesham enteng.

Kai meliriknya, bibirnya melengkung ke arah senyum masam. 'Sedikit lebih tua? Terima kasih banyak, Lesham. Padahal aku belum tiga puluh tahun.'

“Baiklah,” mamah akhirnya berkata, suaranya terdengar lebih lunak. “Kalau memang kalian teman dekat, Mamah senang. Lesham, kamu sekarang punya teman itu bagus. Sebelum kau sakit, kamu tidak punya teman sama sekali dan cenderung menutup diri. Mamah senang kamu mau berusaha bangkit lagi demi hidupmu.”

Lesham mengangguk sambil menatap mamahnya, lalu melirik papah yang masih menatap Kai seperti menilai apakah pemuda itu aman untuk anaknya. “Lesham harus berubah dong, Mah. Masa terus jadi anak pendiam yang jarang bicara dengan orang lain? Rasanya seperti hidup sendirian. Jadi, Lesham harus belajar untuk berubah, yakan Pah?”

Papah tidak menjawab langsung, hanya menatap Kai, membuat pemuda itu kembali menegakkan punggung.

“Papah, kenapa meliriknya begitu? Dia bukan penjahat, astaga…” ujar mamah sedikit kesal.

“Maaf, cuma… dia terlihat seperti itu,” jawab papah tanpa mengubah ekspresinya.

Lesham menghela napas. Ia memandang mamah dan papahnya yang tampak rapi dengan pakaian formal, rambut disisir rapi, dan sepatu mengilap.

“Kalian mau ke mana? Kelihatannya seperti mau keluar,” tanyanya.

“Oh iya,” jawab papah sambil merapikan lengan jasnya. “Papah mau bertemu klien di kantor. Dan seperti biasa, Mamah memaksa ikut. Dia memang tidak mau jauh dari Papah.”

Mamah tersenyum tipis, pura-pura tak mendengar gurauan itu.

“Hati-hati ya, Mah Pah,” ucap Lesham.

Begitu mereka berdua keluar rumah, Kai langsung menghembuskan napas panjang, seolah baru saja lolos dari ruang interogasi. Lesham tidak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak melihat ekspresinya.

“Jangan mengejek. Tidak lucu,” ucap Kai dengan nada setengah kesal.

“Oke, oke,” sahut Lesham sambil menahan senyum. “Kau tunggu di sini, atau mau di taman belakang? Aku mau mandi dulu.”

“Jangan lama-lama” sahut Kai agak keras, memastikan suaranya terdengar sampai ke lantai atas.

Kai kemudian melangkah ke taman belakang. Pemandangan yang terbentang membuatnya terdiam sejenak. Kolam renang biru jernih, kolam ikan koi di sisi kanan, dan hamparan rumput hijau yang terawat. Ia berjongkok di tepi kolam ikan, matanya mengamati gerakan ikan-ikan besar dengan warna cerah yang berenang tenang di bawah permukaan air.

“Wah… aku lihat di internet, ikan ini mahal sekali,” gumamnya sambil mencari harga di ponsel.

Tiba-tiba, suara dari belakang membuatnya tersentak hampir terjatuh.

“Kau sedang apa?”

Kai menoleh cepat, menemukan salah satu maid rumah itu berdiri dengan wajah ramah.

“Astaga… hampir saja aku jatuh ke kolam. Oh, aku sedang melihat ikan-ikan ini,” jawabnya sambil tersenyum tipis.

“Apakah Anda ingin minum? Saya bisa ambilkan,” tawarnya sopan.

“Oh? Aku hanya ingin Air putih saja,” jawab Kai.

“Baiklah akan saya Ambilkan. Oh, dan satu lagi… mohon jangan terlalu dekat dengan ikan-ikan disana ya. Saya khawatir mereka akan mengalami stres berat kalau ada gangguan kecil,” ucapnya dengan entang, sebelum masuk kembali ke rumah.

Kai menatap ikan-ikan itu lagi, kali ini sambil mengangkat sebelah alis. “Stres? Wah, aku baru tahu ikan juga bisa stres ya,” gumamnya sambil menahan tawa.

Tak lama, Lesham muncul dari tangga, dan Kai yang sedang duduk di ruang tamu hampir tersedak melihat pakaian yang dikenakannya.

“Uhuk… uhuk… Kau sedang pakai baju apa? Mau ke klub pagi-pagi begini?”

Lesham menatap pakaiannya sendiri. “Di lemari cuma ada baju seperti ini semua. Aku bingung mau pakai yang mana.”

“Ganti. Pakai celana panjang. Aku tidak mau melihat kakimu begitu,” ucap Kai sambil menoleh ke arah lain.

“Hah… baiklah, aku ganti,” jawab Lesham sambil bergegas naik.

Kai hanya menggeleng. "Astaga, dia pikir aku ini tidak punya hawa nafsu apa?" Gumam dengan mengatur nafasnya

Tak lama kemudian, Lesham turun lagi. kali ini pakaiannya sudah tampak lebih normal. Mereka tidak menggunakan mobil rumah saat ini, melainkan menggunakan motor Kai. Setelah perjalanan sekitar lima belas menit, mereka tiba di sebuah gedung latihan taekwondo.

Lesham tersenyum puas, matanya memindai ruangan. “Wah, tempatnya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah.”

Kai menghela napas. “Hei, baru dua minggu kau tidak kemari, bukan setahun.”

Mereka masuk, dan Lesham langsung mengenali beberapa gerakan yang dipraktikkan para remaja. “Ehh, gerakan itu masih salah,” gumamnya pelan.

“Kau mau sparing dengan salah satu dari mereka? Lumayan untuk latihan,” tawar Kai.

“Ah, tidak. Aku hanya ingin melihat-lihat.”

Tiba-tiba, seorang pria paruh baya mendekat. “Kai? Sedang apa pagi-pagi kemari?” tanyanya sambil melirik Lesham.

“Haha, cuma lihat-lihat, Pak. Bosan di rumah. Kebetulan aku sedang cuti kerja tiga hari,” jawab Kai.

Pria itu memandang Lesham sejenak, lalu Kai segera memperkenalkan. “Oh, ini Lesham, teman dekat saya.”

“Senang bertemu dengan Anda, Pak,” ucap Lesham sambil menjabat tangan sang pelatih.

“Kau bisa taekwondo?” tanya pria itu.

Lesham tersenyum merendah. “Ah, tidak Pak. Saya hanya senang melihat mereka berlatih. Wah… keren sekali.”

Kai hanya meliriknya dengan sedikit kesal. 'Padahal dia dulu atlet terbaik di sini. Bisa-bisanya pura-pura tidak bisa.'

>>>

Sejak awal, pelatih itu dengan nada suara yang setengah memerintah, setengah meremehkan. Mengusulkan agar Lesham berlatih tanding dengan salah satu murid terbaiknya. Usulan itu lebih terdengar seperti tantangan yang sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa gadis itu tidak akan sanggup menandingi standar latihan di tempat ini.

"Ayolah, Kau pasti akan bisa bertarung salah satu dari mereka. Kalau kau kalah pun tidak apa-apa. Namanya juga berlatih" Ucap Pak Pelatih dengan nada sedikit mengejek.

Lesham, yang awalnya hanya berniat menonton dan mengamati dari tepi matras, menggeleng pelan sambil menahan diri untuk tidak menanggapi. Ia tidak merasa perlu membuktikan apa pun.

Namun, tatkala tatapan pelatih itu beralih padanya, terpampang jelas sebuah lirikan meremehkan yang menusuk harga dirinya. Lirikan yang seakan berkata, "Kau hanya berani berdiri di sana, bukan untuk bertarung." Sesuatu di dalam dada Lesham berdenyut panas.

Ia menarik napas dalam, lalu melangkah maju dengan sikap tenang, menerima tantangan itu meski jelas-jelas dipaksa. Bukan karena ia ingin, tapi karena ia menolak menjadi bahan ejekan di hadapan orang yang bahkan belum mengenalnya.

"Baiklah, Aku akan bertarung dengan salah satu Anak didik pak Pelatih, Bolehkan Kai?" Menunggu jawab dari kau dengan tatapan mautnya.

Kai hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus menjawab apa. Tatapannya sangat mematikan saat ini.

Kai, yang berdiri tidak jauh darinya, hanya terdiam. Ia bisa merasakan ketegangan yang merayap di udara. Dan saat Lesham menoleh sekilas, memberikan lirikan yang nyaris seperti peringatan, Kai mengerti bahwa tidak ada gunanya mencoba mencegahnya. Gadis itu sudah memutuskan.

Kau hanya Menelan ludah dengan bergumam pelan, cukup untuk dirinya sendiri, “Semoga saja anak itu tidak mengalami patah tulang… atau setidaknya tidak dibawa pulang dengan tandu.” Gumaman itu keluar bukan karena ia meremehkan lawan Lesham, tetapi karena ia tahu betul bahwa di balik sikap tenangnya, Lesham bisa berubah menjadi lawan yang jauh lebih berbahaya daripada yang bisa dibayangkan siapa pun di ruangan itu.

°°°°---°°°°

Peluit dibunyikan.

Suara khas itu memecah suasana, membuat beberapa murid yang tadi sibuk berbincang kini menoleh penuh rasa ingin tahu. Lawan Lesham, seorang remaja berpostur tegap dengan sabuk hitam di pinggang melangkah maju dengan keyakinan tinggi. Dia adalah juara di beberapa kota, nama yang cukup dikenal di lingkaran kejuaraan taekwondo tingkat daerah. Senyumnya tipis, tatapannya percaya diri, nyaris sombong.

Lesham berdiri tegak di hadapannya, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia tidak mengubah posisinya ketika lawannya mulai melangkah memutari matras, mencari celah. Kai yang menonton dari pinggir bisa merasakan butiran keringat mulai muncul di pelipisnya, meski ia sendiri tidak bertarung.

Serangan pertama datang cepat, tendangan memutar yang diarahkan ke bahu. Penonton menahan napas. Namun Lesham hanya memiringkan tubuh sepersekian detik sebelum benturan terjadi, lalu membalas dengan sapuan kaki rendah yang membuat lawannya kehilangan keseimbangan. Gerakannya luwes, bersih, tanpa ragu. Seperti air yang tiba-tiba mengalir deras, tapi tetap terukur.

Pelatih yang tadi bersikap meremehkan mulai mengangkat alisnya. Beberapa murid di sudut ruangan saling pandang, tidak percaya. Lawannya mencoba bangkit, kali ini melancarkan pukulan cepat ke arah dada, tapi Lesham membloknya dengan presisi, lalu memutar tubuhnya untuk memberikan tendangan balik yang menghantam tepat di titik lemah.

Hanya dalam hitungan detik, anak didik terbaik sang pelatih itu jatuh terduduk, napasnya memburu. Ruangan kini tampak hening. Bahkan suara napas Kai terdengar jelas di telinganya sendiri.

Pelatih berdiri kaku, sulit menyembunyikan keterkejutannya. Sementara Lesham hanya menundukkan kepala sebentar, lalu berjalan keluar matras tanpa satu pun kata, seolah yang baru saja ia lakukan hanyalah latihan pemanasan biasa.

"Wah... Pak, Aku bisa mengatakan Anak didikmu ini" Ucap Lesham tersenyuman lebar dengan nafas ngos-ngosan.

Pak Pelatih itu berusaha untuk tidak terlihat terkejut saat ini, dan mencoba membalas senyuman kecil pada Lesham yang tampak senang.

Kai menatap punggungnya dengan campuran lega dan ngeri. 'Astaga… kalau ini yang disebut dia belum serius, aku tak berani membayangkan kalau dia benar-benar mengeluarkan semua kemampuannya.' Gunanya dengan Wajah berkeringat dingin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!