Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 — Demi Keluarganya
Nerios keluar dari dalam ruangan gym yang ada di bagian pojok lantai 2 rumahnya, tubuhnya shirtless dengan handuk kecil yang berada di bahu kirinya, keringat masih terlihat jelas.
Di hari sabtu ini, Nerios memilih berolahraga sejak pukul setengah 7 pagi hingga jam 9. Sedangkan Camelia masih ada di kamarnya, entah apa yang dilakukan oleh wanita itu, tapi terakhir kali Nerios datang ke kamarnya sebelum ke tempat gym, ia melihat Camelia sedang melepaskan perban yang ada di tangan kirinya, dibantu oleh Rani.
Wanita itu cukup keras kepala, padahal Nerios sudah menyuruhnya di rumah saja sejak kejadian 3 hari yang lalu, tapi Camelia tetap masuk ke kantor dengan keadaan tangan kiri yang masih sedikit melepuh dan dibungkus perban.
Kini Nerios berjalan menuju kamar Camelia, ia hendak memeriksa kembali keadaan wanita itu. Tapi saat dirinya baru saja memegang handle pintu, tiba tiba pintu itu terbuka dari dalam, dan terlihat Camelia yang sudah rapih mengenakan crop top putih yang dibalut dengan sweater biru muda, lalu celana jeans highwaist hitam.
Camelia sedikit terkejut melihat penampilan Nerios yang hanya memakai boxer, belum lagi tubuh yang dibahasi keringat, rambut yang acak-acakan membuat dirinya berdeham pelan dan langsung mengalihkan pandangannya.
"Kau mau pergi ke mana?" tanyanya sambil menaikan satu alisnya.
Camelia berjalan melewati Nerios dengan santai. "Aku ingin ikut belanja bulanan dengan Bu Retno juga Rani."
Nerios mengejar Camelia dengan langkah besarnya, menahan tangan wanita itu. "Tunggu sebentar!" pintanya, lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Wanita cantik itu hanya mengerutkan keningnya heran, tapi tidak menuruti perintahnya, ia justru kembali berjalan hingga kini sudah mulai menuruni anak tangga.
"Dasar tidak sabaran!" cibir Nerios yang kini sudah berada di belakang Camelia. Wanita itu hampir mencapai bagian tengah tangga ketika Nerios kembali.
"Tidak ada yang berkata bahwa aku ini sabar," balasnya sambil mengendikkan kedua bahunya tak acuh.
Nerios menahan bahu Camelia, lalu ia turun satu anak tangga. Ia menyodorkan sebuah kartu hitam ke arah Camelia yang kini berada di sampingnya.
Camelia mendongak menatap Nerios dengan tatapan sok bingung, tapi bibirnya berkedut menahan senyum karena tahu maksud pria itu. "Loh ngapain? Buat apa kau menyodorkan benda itu."
Pria itu memutar bola matanya malas karena tingkah Camelia yang pura-pura terkejut. "Untukmu belanja, kali saja kau ingin membeli sesuatu di sana, jadi kau jangan memakai uang bulanan yang aku berikan pada Bu Retno," jelasnya.
"Ah ... Tidak perlu!" Camelia mendorong tangan Nerios dengan perlahan.
"Tidak usah pura-pura menolak, cepat ambil!" ujar Nerios dengan gemas.
Camelia menyengir lebar, dengan cepat mengambil kartu itu dan memasukkannya ke dalam Sling bag yang ia gunakan. "Ya, anggap saja ini sebagai kompensasi untukku karena liftmu sudah melukaiku."
Mendengar itu membuat Nerios menatap tangan kiri Camelia yang sudah tidak diperban, tapi bekas lukanya masih terlihat, dan itu sama sekali tidak menggangu penampilan wanitanya.
"Sudah aku bilang, haruskah aku menghancurkannya?" tanya Nerios sambil berjalan karena Camelia sudah kembali menuruni anak tangga.
"Tidak usah bertingkah g*la seperti itu, Nerios," peringat Camelia tanpa menoleh.
Camelia tidak mau gosip di kantor semakin banyak jika Nerios nekat melakukan hal itu. Perihal Nerios mendekapnya dengan erat saja sudah membuat dirinya menjadi trending topik.
"Bukannya kau sering berkata bahwa aku ini memang g*la? Jadi tidak masalah jika aku menghancurkan lift itu," goda Nerios, ia senang sekali menjahili Camelia karena wajah kesal wanita itu sangat lucu.
Camelia melirik kesal Nerios. "Aku tau, tapi jangan terus-terusan berbuat hal g*la, yang ada nanti aku ikutan g*la!"
Nerios terkekeh geli. "Tidak masalah, kita nanti akan menjadi pasangan g*la!"
"Beneran stress!" maki Camelia sambil mempercepat langkahnya karena ia melihat Bu Retno dan Rani yang sudah siap.
"Tuan, hari ini saya izin mengajak Nona pergi ke supermarket, ya!" izin Bu Retno begitu mereka berdua sudah berada di hadapannya.
"Ajak Reyga dan Deon untuk menjaga Camelia, saya takut dia akan bertingkah di supermarket." Nerios menatap Camelia yang juga menatapnya dengan sinis. "Takutnya dia mencuri di sana," guraunya.
Mata Camelia sontak membola, ia menginjak kaki kanan Nerios dengan gemas. "Hei! Sembarangan kalau bicara!"
"Aduh!" ringis Nerios, kakinya terasa sakit karena Camelia mengenakan flatshoes.
"Rani, Ibu!" Camelia mengapit salah satu tangan Rani dan Bu Retno hingga dirinya kini berada di tengah. "Ayo kita berangkat, tinggalin aja orang nyebelin ini!"
Bu Retno dan Rani menatap tak enak pada Nerios, sedangkan pria itu hanya mengangguk kecil, menyuruh mereka berdua untuk mengikuti kemauan Camelia.
...———...
Mereka bertiga akhirnya tiba di supermarket. Begitu masuk, masing-masing langsung mengambil troli. Bu Retno dan Rani segera membagi tugas untuk mengambil barang-barang sesuai catatan agar belanja lebih cepat selesai. Sedangkan Camelia justru diberi kebebasan penuh untuk memilih barang yang ia sukai sendiri.
Tatapan Camelia berbinar melihat deretan makanan yang memanjang rapi. Ia berdiri cukup lama hanya untuk menimbang apa yang harus dipilih terlebih dahulu, karena hampir semua yang ada di sana menggoda seleranya. Tidak ada alergi makanan yang membatasi pilihannya—hanya beberapa saja yang memang tidak terlalu ia suka.
Tangannya mulai sibuk memasukkan berbagai bahan ke dalam troli: daging sapi segar, ayam, ikan, buah-buahan, sayuran, makanan ringan, dan aneka produk lain. Reyga dan Deon tetap membuntuti di belakang, seolah menjadi bayangan yang tak pernah lepas darinya.
Langkah Camelia akhirnya berhenti di sebuah lorong yang lebih lengang. Lampu putih yang terang memantul di lantai keramik, sementara rak-rak tinggi menjulang di sisi kiri dan kanan. Matanya tertuju pada sebuah kotak sereal cokelat yang tersusun rapi di rak paling atas—tingginya jelas di atas 170 cm.
Wanita itu menghela napas kecil, lalu berjinjit sambil meraih. Ujung jarinya hanya berhasil menyentuh sedikit bagian kotak tanpa bisa menggenggamnya.
“Kenapa harus ditaruh setinggi ini sih?!” gerutunya kesal. Dengan tinggi 164 cm dan hanya mengenakan flat shoes, jangankan menarik keluar, menyentuhnya pun sulit.
Camelia akhirnya menoleh pada dua penjaga yang sejak tadi diam memperhatikan. Ia menunjuk ke arah sereal itu dengan ekspresi dongkol. “Reyga, tolong ambilkan itu!”
Tanpa banyak kata, Reyga segera mengulurkan tangannya dan mengambil kotak itu dengan mudah, lalu meletakkannya ke dalam troli.
Camelia langsung tersenyum puas. Kali ini tatapannya beralih pada Deon.
“Tolong kau saja yang dorong troli. Aku malas.”
Deon pun menurut tanpa membantah, langsung memegang troli dan mengarahkannya ke depan.
Camelia tersenyum semakin lebar. Ada untungnya juga punya dua penjaga seperti ini, pikirnya. Setidaknya, ia tidak perlu repot-repot mengangkat atau mendorong apa pun.
Beberapa saat kemudian, saat merasa cukup dengan belanjaannya, Camelia berjalan menuju mesin ATM yang terletak dekat pintu masuk supermarket. Seharusnya ia pergi sendiri, tapi ia tahu kedua pria yang menjaganya tidak akan mau jika disuruh menunggu, apalagi jika ia beralasan ingin menghampiri Bu Retno terlebih dahulu.
"Untuk apa Nona menarik tunai? Bukankah di sini bisa bayar pakai debit?" tanya Reyga, suaranya terdengar hati-hati ketika mereka sudah berdiri di depan mesin ATM.
Gerakan Camelia yang hendak memasukkan kartu pun terhenti. Tatapannya beralih tajam ke arah Reyga. "Apakah ini urusanmu? Aku mengambil uang milik Nerios, bukan milikmu. Jadi kau tidak perlu ikut campur!"
Baginya, Nerios sudah memberi kebebasan untuk berbelanja, maka itu berarti ia bisa menggunakan uang di ATM Nerios sesuka hatinya.
"Maaf, Nona," ucap Reyga sambil membungkuk singkat. Bukan karena merasa bersalah, tapi lebih untuk menghindari masalah. Ia tahu bisa gawat jika Camelia sampai melapor ke Nerios.
"Hm," Camelia hanya berdeham, lalu melanjutkan transaksinya.
Ia memilih pecahan Rp100.000, lalu menarik tunai sebesar Rp20.000.000. Karena batasan mesin, ia harus melakukannya empat kali. Suara mesin ATM dan keluarnya lembaran uang terdengar berulang, membuat Reyga dan Deon saling melirik.
Diam-diam, Deon mengeluarkan ponselnya. Ia memotret Camelia yang tengah memasukkan uang ke dalam plastik, lalu mengirimkan foto itu pada Nerios. Namun balasan sang CEO justru sangat santai, “Biarkan saja.”
Camelia memasukkan semua uang ke dalam kantong plastik yang sudah ia siapkan dari rumah, lalu dengan hati-hati menaruh kartu ATM Nerios kembali ke dalam sling bag miliknya.
"Aku ingin ke toilet," katanya singkat, lalu melangkah cepat.
Reyga dan Deon spontan saling bertatapan, jelas curiga dengan gelagat Camelia. Namun mereka sama sekali tak bisa berbuat apa pun karena perintah Nerios jelas: biarkan saja.
Camelia berhenti sejenak, memicing pada kedua pria itu. "Kalian tunggu di sini. Ini toilet perempuan! Berdirilah sedikit jauh agar tidak mengganggu pengunjung!"
"Siap, Nona," jawab Deon dengan patuh.
Begitu masuk ke dalam toilet, Camelia berdiri di depan wastafel. Jantungnya berdegup kencang, tangannya sedikit gemetar. Ia tampak seperti orang yang sedang menunggu seseorang. Dua menit kemudian, seorang gadis berlari kecil menghampirinya.
"Kakak!" seru gadis itu sembari langsung memeluk Camelia dengan erat.
Camelia membalas pelukan itu, tapi segera melepaskannya. Ia memegang pundak Lila, menatap mata adiknya dengan serius. "Lila, dengar. Kakak nggak bisa lama-lama, di depan ada yang jagain Kakak. Jadi sekarang kamu bawa uang ini, kasih ke Ayah. Nanti kalau ada kesempatan Kakak bakal kasih lagi, oke?"
Lila menerima kantong plastik berisi uang itu. Matanya langsung berkaca-kaca, lalu ia mengeluarkan secarik kertas kecil dari sakunya.
"Ini nomor rekening Lila. Maaf kalau kita semua selalu ngerepotin Kakak."
"Nggak!" Camelia buru-buru menyelipkan kertas itu ke dalam saku celananya. "Kalian nggak ngerepotin sama sekali!"
Lila kembali memeluk Camelia dengan erat, suaranya bergetar. "Terima kasih banyak, Kak!"
Camelia hanya bisa menahan napas dalam, membalas pelukan itu sekali lagi sebelum akhirnya Lila pergi, membawa uang itu keluar dari toilet.
Ya, inilah alasan mengapa Camelia ingin pergi bersama Bu Retno dan Rani. Dia sempat meminjam ponsel Rani untuk menghubungi Lila—satu-satunya kontak yang ia ingat. Camelia menghubungi adiknya itu saat Nerios masih berada di gym, dan Rani masih ada di dalam kamarnya.
Semuanya ia lakukan demi keluarganya ...
Berikan dukungan kalian teman-teman!
Jangan lupa like dan komen
Koreksi aja kalau ada kesalahan kata atau typo!
Salam cinta, biebell