NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Reyhan menarik napas panjang sebelum akhirnya mendorong pintu ruang istirahat. Suara engsel berdecit pelan, membuat Nayla yang sedang menggenggam gelas susu menoleh cepat. Senyumnya yang sempat muncul langsung menghilang ketika melihat sosok pria itu berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin yang tak pernah berubah.

Mata Reyhan menelusuri wajah Nayla yang masih terlihat pucat. Namun, tak ada sedikit pun kelembutan di sorot matanya. Yang terlihat hanyalah sikap dingin yang tajam dan kaku.

“Kau sudah cukup istirahat,” ucap Reyhan datar. “Kalau kau sudah bisa duduk dan minum, artinya kau juga cukup kuat untuk kembali bekerja.”

Nayla menggenggam cangkir susu itu lebih erat. “Tapi aku—”

“Aku tidak butuh pegawai yang lemah,” potong Reyhan cepat, nadanya tajam namun tetap tenang. “Kalau kau sakit, jangan kerja. Tapi kalau kau masih bisa bangun, jangan jadikan kelemahan sebagai alasan untuk bermalas-malasan.”

Ucapan itu menusuk Nayla lebih dalam daripada yang dia bayangkan. Ia hanya bisa menunduk, menahan sesak yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Tak ada simpati. Tak ada perhatian. Hanya perintah dan sikap dingin seperti biasa.

Reyhan menatap Nayla beberapa detik lagi, seolah ingin memastikan kalimatnya tertanam jelas di kepala perempuan itu. Lalu tanpa menunggu jawaban, ia membalikkan badan dan melangkah keluar.

“Jangan buat aku menyesal memberimu tempat di sini,” ucapnya sebelum pintu tertutup kembali.

Suara pintu yang menutup membuat ruangan kembali sunyi. Nayla mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangannya meletakkan gelas susu ke atas meja.

Ia menunduk, mengumpulkan kekuatannya yang masih tersisa. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, hatinya sudah lebih dulu remuk. Ya, selalu seperti itu. Reyhan akan selalu menyalahkan dirinya. Kebencian Reyhan benar-benar membuat Nayla terluka.

“Kenapa dia terus menyakitiku?” bisiknya lirih.

Nayla menarik napas panjang, menahan perih di dadanya. Ia menatap cermin kecil yang tergantung di dinding, memperbaiki jilbabnya yang sedikit kusut, lalu mengusap wajahnya perlahan. Meski tubuhnya masih lemas, harga dirinya jauh lebih terluka oleh kata-kata Reyhan.

Ia tak mau menyerah. Bukan di hadapan pria itu. Bukan di hadapan seseorang yang terus menganggapnya lemah.

Perlahan, Nayla bangkit dari sofa dan menegakkan punggungnya. Langkahnya mantap, walau sesekali harus mencuri napas panjang agar tak goyah. Ia membuka pintu ruang istirahat dan melangkah keluar, kembali ke mejanya.

Reyhan duduk di balik meja kerjanya. Matanya tertuju pada dokumen yang terbuka, wajahnya tanpa ekspresi. Tidak sedikit pun dia melirik saat mendengar suara langkah Nayla kembali.

Tanpa berkata apa-apa, Nayla duduk di meja sekretaris yang tak jauh dari meja Reyhan. Tangannya mulai menyalakan komputer, membuka kembali catatan pekerjaan yang sempat tertunda. Jari-jarinya bergerak pelan di atas keyboard, mencoba menyibukkan diri dengan laporan-laporan, menjawab email, dan mengecek jadwal rapat Reyhan.

Suasana ruangan begitu sunyi, hanya suara ketikan keyboard dan detik jam dinding yang terdengar. Nayla melirik ke arah Reyhan. Dia teringat masa kecilnya bersama Reyhan. Dulu Reyhan berjanji akan menikahinya, menjaganya. Reyhan memang menikahinya, tapi janji itu kini sudah tidak ada. Reyhan menikahinya hanya untuk balas dendam.

Nayla menahan semuanya. Menelan semuanya dalam-dalam.

Nayla kembali melirik pria itu, yang tetap duduk tanpa bicara, seolah kehadirannya sama sekali tidak berarti.

Pintu ruangan tiba-tiba diketuk dari luar.

Tok. Tok.

Reyhan mengangkat wajahnya sekilas. “Masuk,” ucapnya singkat, tanpa menoleh ke arah pintu.

Nayla menghentikan ketikannya sesaat, matanya tertuju pada pintu yang perlahan terbuka. Seorang wanita melangkah masuk dengan percaya diri. Langkahnya terdengar tegas, sepatu hak tingginya beradu dengan lantai marmer.

Ara.

Gadis itu mengenakan gaun berwarna merah marun selutut, dengan blazer putih tipis yang dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai rapi, bibirnya tersenyum manis, tapi sorot matanya menyimpan tatapan penuh klaim. Pandangannya langsung tertuju pada Reyhan, seakan Nayla sama sekali tak berada di ruangan itu.

“Aku tidak mengganggu, kan?” tanya Ara dengan nada manja, berjalan mendekat ke meja Reyhan tanpa izin lebih lanjut.

Reyhan tidak menjawab. Ia hanya kembali menunduk menatap berkas di tangannya. Tapi tidak mengusir. Tidak memotong. Tidak menyuruh Ara keluar.

Sikap itu sudah cukup membuat dada Nayla terasa sesak.

“Aku hanya ingin mengantar beberapa berkas dari Ayah,” ucap Ara sambil meletakkan map di atas meja Reyhan. “Dan sekalian… yah, ingin lihat kamu juga,” tambahnya dengan suara menggoda.

Nayla menunduk lagi, pura-pura sibuk dengan layar monitornya. Tapi telinganya menangkap jelas setiap nada suara Ara. Bahkan aroma parfum wanita itu terasa menyengat sampai ke tempatnya duduk.

“Besok kamu sempat kan? Mama bilang kamu harus datang ke acara keluarga kita. Semua orang akan ada di sana. Termasuk aku…” Ara menyentuh sedikit lengan jas Reyhan, membuat Nayla tanpa sadar mengepalkan tangannya di bawah meja.

Reyhan masih tidak menjawab. Tapi yang membuat Nayla lebih sakit, dia juga tidak menolak.

Pikiran Nayla melayang ke hari kemarin. Saat mereka pergi ke rumah utama keluarga Reyhan, ibunya menyambut Nayla dengan dingin. Bahkan saat melihat Ara, sang ibu langsung tersenyum hangat dan memeluknya seolah Ara-lah menantu yang diinginkan. Ara bahkan menghampirinya di lorong dan berbisik tajam, "Reyhan cuma nikah sama kamu karena terpaksa. Jangan mimpi bisa rebut dia dariku. Dia milikku, sejak dulu."

Nayla menutup matanya sesaat. Mengatur napas. Ia harus kuat. Tidak boleh terlihat rapuh. Tidak di hadapan Reyhan. Tidak di hadapan Ara.

“Baiklah, aku nggak mau ganggu kamu kerja,” ucap Ara kemudian, suaranya sengaja lebih keras. “Sampai nanti, Rey.”

Ara berbalik dan berjalan ke arah pintu. Namun sebelum keluar, ia sempat melirik sekilas ke arah Nayla yang masih pura-pura sibuk. Sebuah senyum kecil muncul di bibir Ara, senyum kemenangan yang menyebalkan.

Begitu pintu tertutup, Nayla masih menatap layar komputernya.

Tapi dalam diam, hatinya bertanya:

“Sampai kapan aku harus berpura-pura kuat di antara dua orang yang terus berusaha menjatuhkanku?”

***

Langit sore tampak kelabu. Hujan turun perlahan, menyisakan kabut tipis di kaca jendela kantor. Suasana kantor yang sejak tadi sudah dingin kini terasa semakin menusuk ketika langkahku mengikuti Reyhan yang berjalan di depan tanpa sepatah kata pun.

Aku bisa merasakan tatapan orang-orang di sekeliling kami. Beberapa karyawan menatapku dengan sinis, sebagian bahkan berbisik pelan, mungkin tentang kedekatan Reyhan dan Ara yang sering jadi perbincangan akhir-akhir ini. Aku bukan orang bodoh. Aku tahu sejak awal mereka tak pernah benar-benar menginginkanku di sini.

Reyhan tak sedikit pun menoleh ke belakang. Tak peduli pada tatapan penuh cemooh yang kuterima. Seolah dia benar-benar lupa bahwa aku adalah… istrinya.

Kami keluar dari lobi menuju tempat parkir. Hujan masih mengguyur meski tidak terlalu deras. Aku melangkah cepat, menyusul Reyhan yang sudah membuka pintu mobilnya. Dengan diam, aku duduk di bangku penumpang.

Jantungku berdegup pelan. Bukan karena hujan. Tapi karena keheningan yang begitu menekan antara kami.

Tiba-tiba, suara ponsel Reyhan memecah hening. Dia merogohnya dari saku jas, lalu mengernyit saat melihat layar.

Ara.

Aku bisa membaca nama itu dari kejauhan. Bibir Reyhan bergerak menjawab panggilan. Suaranya terdengar lebih hangat daripada saat dia bicara padaku.

“Halo? Di mana?”

“Hujan? Mogok?”

“Ya sudah. Tunggu di sana. Aku jemput.”

Klik.

Belum sempat aku bertanya, Reyhan langsung membuka pintu dan menatapku dari luar.

“Turun.”

Aku menatapnya, bingung. “Apa?”

“Turun. Aku mau jemput Ara. Kamu pulang sendiri.”

Jantungku seolah berhenti berdetak sesaat.

Hujan di luar semakin lebat. Tapi yang mengguyur hatiku lebih deras dari itu.

Aku menatap wajahnya, mencari secercah empati. Tapi tak ada. Matanya dingin. Suaranya tetap datar.

“Cepat, Nayla. Jangan bikin ribet.”

Pelan-pelan aku meraih tasku, menahan guncangan di dada yang makin sulit dikendalikan. Dengan gerakan lambat, aku turun dari mobil, berdiri di bawah langit yang mulai menumpahkan hujan lebih deras lagi.

Tanpa menunggu, Reyhan langsung masuk ke mobil dan menutup pintu. Mesin menyala, dan mobil melaju pergi, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Aku berdiri di sana. Di bawah hujan.

Sepi.

Sendiri.

Basah.

Bibirku bergetar. Tapi aku tak menangis. Tidak. Aku menengadah ke langit. Mencoba meyakinkan diri…

"Aku bukan siapa-siapa untuknya... memang sejak awal."

Langkahku pelan. Aku berjalan menjauh dari kantor, membiarkan hujan menyamarkan air mata yang akhirnya jatuh juga.

Langkahku terus menapaki trotoar yang basah oleh hujan. Derasnya air yang jatuh dari langit menyatu dengan dingin yang merayap di tubuhku. Tas yang kupegang mulai berat, pakaian basah menempel di kulit, dan udara sore ini rasanya menusuk sampai ke tulang.

Aku berusaha tetap berjalan, tapi tiba-tiba dunia terasa berputar. Pandanganku mulai kabur. Aku menghentikan langkah, meraih dada yang mulai terasa sesak. Napasku tercekat. Berat. Seolah paru-paruku dipaksa menelan udara yang tak lagi cukup.

Ada yang salah.

Aku melangkah tertatih ke arah halte kecil tak jauh dari kantor. Kursi plastik di sana basah, tapi aku tak peduli. Aku duduk, mencoba mengatur napas yang kian tak beraturan. Dada ini seperti ditekan dari dalam. Kencang. Sakit.

Tanganku gemetar. Aku batuk keras, dan...

"Uhuk!"

Tiba-tiba mataku membelalak.

Tangan kananku basah. Tapi bukan karena hujan.

Merah.

Darah.

Aku menatapnya lekat-lekat. Nafasku kian pendek. Pikiranku kacau. Tubuhku mulai goyah, seperti tak lagi punya tenaga.

Apa ini? Kenapa...?

Aku ingin bangkit. Aku ingin mencari pertolongan. Tapi tubuhku tak lagi menurut. Pandanganku semakin buram. Suara hujan seperti menjauh. Dunia terasa memudar…

Gelap.

Lalu semuanya menghilang.

Sunyi.

Hening.

Dan aku… tak sadar lagi.

Cahaya putih menyilaukan menyambut mataku saat perlahan aku membuka kelopak yang terasa berat. Aroma antiseptik menyengat, membuatku sadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah.

Kepalaku pusing, tubuhku lemah. Aku melirik ke sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Langit-langit putih, tirai rumah sakit, suara alat monitor detak jantung… semuanya terasa asing dan nyata di saat yang sama.

Tak lama, pintu ruangan terbuka dan seorang suster masuk, disusul oleh seorang pria paruh baya yang mengenakan jas putih.

"Syukurlah Anda sudah sadar," ujar suster itu sambil tersenyum kecil. Ia memeriksa infusku dengan hati-hati.

Aku menelan ludah. "Aku… ada di rumah sakit?" suaraku serak.

"Iya, Nona," jawab sang suster pelan. "Tadi ada seseorang yang kebetulan lewat dan melihat Anda pingsan di halte dekat kantor. Orang itu langsung membawa Anda ke IGD. Untung dia cepat bertindak."

Aku terdiam. "Siapa orang itu?" tanyaku perlahan.

Suster menggeleng pelan. "Dia tidak meninggalkan nama. Hanya memastikan Anda ditangani dengan baik, lalu pergi."

Aku menunduk. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, campuran panik dan rasa asing yang menguasai dada.

Dokter mendekat, membuka map yang ia bawa, lalu menatapku dengan ekspresi serius. “Nona Nayla, kami sudah melakukan beberapa pemeriksaan setelah Anda pingsan.”

Aku menelan ludah. "Saya... sakit apa, Dok?"

Dokter menghela napas panjang, lalu menatapku lurus. “Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Anda mengidap kanker hati stadium lanjut. Sudah cukup parah.”

Kata-katanya menggema keras di kepalaku. Kanker hati...?

Tubuhku langsung terasa dingin. Aku membeku. Tanganku gemetar perlahan.

“Jenis ini berkembang cukup cepat, dan untuk bisa bertahan, Anda memerlukan operasi transplantasi hati secepat mungkin,” lanjutnya. “Jika tidak dilakukan, harapan hidup Anda mungkin hanya sekitar lima sampai enam bulan ke depan.”

Lidahku kelu. Napasku tercekat.

"Lima sampai… bulan?" ulangku nyaris tak terdengar.

Dokter mengangguk pelan. “Saya tahu ini berat, tapi Anda harus mulai mempertimbangkan untuk memberi tahu keluarga atau kerabat terdekat. Dalam kondisi seperti ini, Anda butuh pendampingan dan donor.”

Aku menoleh ke arah jendela, mencoba mengalihkan tatapan agar air mataku tidak jatuh. Dunia terasa runtuh dalam sekejap. Kanker? Transplantasi? Enam bulan?

Apakah aku... benar-benar sedang menghadapi akhir hidupku?

Air mata yang tadi kutahan akhirnya jatuh.

Aku sakit. Aku benar-benar sakit.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!