Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 09 Mami?
Sebelum Raffa membuat keributan di markas dengan meminta mencarinya dengan CCTV, Dzaka menemui Raffa. Dia masih cukup syok dengan kejadian barusan, tapi dia juga cukup lega bertemu dengan sosok itu.
"Loh, Ka? Lo dari mana aja sih?" Raffa langsung menghampirinya dengan langkah tergesa.
"Dari luar," balasnya singkat.
Raffa menatapnya seperti meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tiba-tiba tangannya menghantam punggung Dzaka membuat sang empunya berteriak.
"Lo kenapa?" Raffa menatap Dzaka serius dan sarat akan rasa penasaran.
Dzaka terdiam. Dia bingung harus menjawab seperti apa. "Gak kenapa-kenapa, Fa. Yaudah, ayo cari Tanvir!" Dzaka langsung melangkah menjauh meninggalkan Raffa.
...----------------...
Kini mereka berdua berada di halaman rumah Aqella Ilsha—sepupu Tanvir. Raffa merapikan penampilannya sebelum melangkah menuju pintu utama.
Raffa memencet bel seraya tersenyum lebar. Tak lama seseorang keluar dari balik pintu. “Cari siapa, ya, Mas?”
“Qeelanya ada, Bi?” tanya Raffa sopan dengan senyum yang semakin mengembang.
“Oh, temennya Non Qeela. Ayo, Mas, masuk dulu! Non Qeela lagi di halaman belakang.” Raffa dan Dzaka melangkah mengikuti pembantu rumah tangga itu.
“Zi! Udah nemu karungnya?!” teriak seorang gadis dari atas pohon mangga dengan buah ranum yang menggugah selera.
Raffa berlari kecil mendekati pohon itu. Dia bersusah payah menahan tawanya melihat gadis yang dicarinya sedang memanen mangga.
“Zi! Lama banget sih! Kapan kelarnya coba?!” Gadis itu tampak kesal menunggu seseorang yang sedang mencari karung.
Saat netra gadis itu beralih ke bawah pohon, matanya membelalak melihat Raffa di bawah sana. Saking kaget sekaligus gugup, gadis itu menjatuhkan mangga di dekapannya tepat di atas kepala Raffa.
“Woi! Woi! Qee. Masa aku ditimpuki buah mangga gini, sih,” kesal Raffa mengusap kepalanya yang terasa sakit.
Qeela yang tersadar dari kekagetannya merasa bersalah. Dia pun bergegas turun, hingga tak sadar bahwa pegangannya melemah. Qeela sudah bersiap terjun bebas dan mengikhlaskan pantatnya menabrak rumput dengan keras.
Namun, Qeela tak kunjung menyentuh rumput seperti perkiraannya, membuat ia segera membuka mata. Pipinya langsung memerah saat menyadari dia berada di atas tubuh Raffa.
“N-nanti aja blushing-nya. Minggir dulu!” Ucapan Raffa membuat wajah Qeela yang semula memerah karena malu menjadi merah padam karena kesal pada Raffa.
Dzaka mendekat bersama Ziya yang bersembunyi di balik tubuh Dzaka. Tak tega melihat posisi Raffa telentang di atas rerumputan, Dzaka membantu sohibnya itu berdiri. Ia juga membantu membersihkan rerumputan yang menempel di baju Raffa.
Dengan santainya Raffa meregangkan otot, seolah-olah baru saja melakukan pekerjaan berat, membuat Qeela memukul pundaknya kesal.
“Lo ngapain ke sini sih, Kak?! Emosi gue liat lo!” Qeela bersidekap dada dengan wajah mengembung dan pipi memerah membuat Raffa berdecak gemas.
“Jangan liatin wajah kayak gitu ke orang lain, ya, Qee. Abisnya kamu kalau lagi kayak gitu gemesin.” Raffa berujar seraya tersenyum tulus membuat pipi Qeela memanas karena baper.
“Udah jangan dibaperin mulu, Fa!” Dzaka mencoba menengahi suasana yang canggung bagi keberadaanya dan Ziya.
Raffa terkekeh seraya menarik lengan baju Qeela agar berdiri di sampingnya. Aroma parfum Raffa yang segar membuat hati Qeela menghangat, bahkan membuat pipi hingga telinganya memerah. Dia mengipasi wajahnya mencoba menghilangkan rasa panas itu.
Saat dirasa angin yang menerpa wajahnya semakin kuat, Qeela berhenti dan mendapati telapak tangan kekar Raffa mengipasi wajahnya.
"A-apa sih, Kak?!" Qeella pura-pura kesal meski kini hatinya menghangat.
"Wajah kamu merah, Qee. Kepanasan, ya? Tapi, kan, cuacanya gak terlalu panas." Raffa menengadah memerhatikan langit cerah.
Tiba-tiba lengan Raffa yang tertutupi jaket menyentuh kening Qeela, membuat gadis itu membeku seketika. "Kamu juga gak demam, Qee." Raffa terlihat kebingungan sedangkan Qeela sudah tak dapat berkata-kata.
Dia a akhirnya memilih berlari masuk ke dalam rumahnya meninggalkan ketiga orang yang menatapnya heran. Namun, tak lama ia kembali dengan raut wajah tegang. Tatapannya mengarah tepat pada Ziya yang balas menatapnya penasaran.
Suara gaduh mulai terdengar membuat mereka semua berlarian menuju halaman depan. Mereka dibuat kaget dengan keberadaan Tanvir serta seorang wanita paruh baya yang ditemani beberapa orang berbadan kekar.
"Anda gak punya hak untuk maksa kayak gini!" Tanvir berujar dengan suara tegas seraya menunjuk tepat pada wajah wanita paruh baya itu.
"M-Mami!" Semua mata kini menoleh pada sumber suara.
Wanita paruh baya itu tersenyum sinis, lalu berjalan mendekat ke arah Ziya yang masih terpaku. Mata gadis itu membelalak, tubuhnya bergetar, dan bibirnya seolah tak mampu berucap.
"Saya gak mau basa-basi. Sini kunci motor saya!" Melihat Ziya yang masih terdiam, wanita itu menarik lengannya keras.
Namun, Tanvir menepis tangan wanita itu dengan kasar. "Gak usah kasar-kasar sama adik saya! Anda gak punya hak untuk itu!"
"Mana kunci motornya?" tanya Tanvir dingin. Ziya yang sejak tadi terpaku mengambil sesuatu di kantong celananya bersamaan dengan ponsel.
"Ini, kan, ponsel dari saya! Balikin!" Wanita paruh baya itu menarik kasar ponsel di tangan Ziya membuat gadis itu panik.
"M-Mami ... j-jangan ambil ponsel Ziya! Di sana ada kenangan Ziya sama buna!" Ziya mencoba menggapai ponsel yang kini berada di tangan wanita yang ia panggil mami itu.
"Kamu pikir saya peduli, ha?! Kamu yang memilih bermusuhan dengan saya, 'kan? Harusnya kamu tetap di tempat saya menikmati hidup kamu!" Wanita itu berujar seraya menatap tajam Ziya.
"Ziya gak pernah minta Mami nampung Ziya, kan? Mami yang ngajak Ziya tinggal sama Mami! Mami yang udah bikin Ziya pergi! Menikmati hidup? Hidup yang mana, Mi? Jadi pembantu yang bahkan gak dapat uang jajan untuk ke sekolah? Iya? Terus sekarang Mami nyalahin Ziya?!" Ziya sudah tak mampu membendung sesaknya.
Acara tarik-menarik ponsel terjadi. Ziya sepertinya benar-benar tidak akan memberikan ponsel itu pada maminya--istri pamannya.
"Berhenti Ziya! Jangan buat saya bertindak kasar sama kamu!" Wanita paruh baya itu mulai kelelahan menghadapi Ziya yang semakin keras menarik ponselnya.
"Jangan pernah Anda kasar pada adik saya!" Tanvir ikut memanas di sana, sedangkan yang lain terdiam.
"Udah, Zi! Kasih aja!" Tanvir mencoba membuat adiknya mengalah.
"Gak, Bang! Di sini ada kenangan Ziya sama buna. Ziya gak mau ngasih ponsel ini ke mami gitu aja!" Ziya mempererat genggamannya pada ponsel yang sudah hampir berada sepenuhnya di genggamannya.
"Jangan batu, Zi!" Tanvir masih berusaha menyadarkan Ziya.
"Udah berapa kali Ziya bilang, Bang! Ziya gak mau! Di sana ada kenangan Ziya sama buna!" Gadis itu tak bisa untuk tak berteriak. Ia benci dengan keadaan ini.
"Kita masih punya banyak di rumah, Zi! Di laptop kamu juga ada, kan?! Please, Zi! Kasih aja, ya?!" Lagi, Tanvir mencoba membujuk adiknya itu, karena ia melihat tantenya akan segera menyuruh bodyguard-nya.
Akhirnya Tanvir mendapatkan ponsel itu dan menyerahkannya pada tantenya. Ziya menatap abangnya itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
Amarah, kekecewaan, dan kesedihan sudah menyatu menghimpit dada gadis itu begitu hebatnya. Wajah gadis itu bahkan berubah merah padam mencoba menahan dirinya.
"Makasih, Bang!" sarkas Ziya sebelum berlari menjauh.
"Zi--" Baru saja Tanvir ingin mengejar Ziya, bahunya ditarik oleh Raffa.
Saat semua orang terpaku, Dzaka malah mengejar Ziya. Melihat gadis itu berhenti, Dzaka ikut berhenti. Namun, hatinya seperti ditekan sesuatu, hingga rasanya mendengar tangisan Ziya saja mampu membuatnya ikut sesak.
"Buna! Maafin Ziya!" Ziya menatap langit yang tiba-tiba berubah mendung.
Gadis itu melangkah terseok meniti jalanan komplek yang sepi, hingga memilih duduk di bawah pohon rindang.
Dzaka masih memerhatikan dari jauh dengan perasaan yang kacau. Tidak biasanya dia seperti ini--mudah terbawa suasana. Namun, melihat Ziya seperti melihat dirinya beberapa tahun lalu.
Dzaka berjalan mendekat dan duduk di samping Ziya yang masih terisak.
"Bang Dzaka ngapain ngikutin Ziya?" tanya Ziya dengan suara serak membuat Dzaka menoleh sekilas, lalu kembali menatap rerumputan.
"Kaki gue yang bawa gue ke sini." Dzaka dapat mendengar helaan napas berat dari gadis itu.
"Ziya pengen sendiri! Bang Dzaka bisa pergi!" Bukannya pergi, Dzaka malah tetap diam di sana, membuat gadis itu menoleh heran.
"Bang Dzaka gak denger Ziya bilang apa? Ziya pengen sendiri! Bang Dzaka pergi sana!" Gadis itu bahkan mendorong tubuh Dzaka menjauh.
Dzaka mengangkat kepalanya dan menoleh pada Ziya. "Mulut lo bisa bilang kalau lo pengen sendiri, tapi hati lo menginginkan hal lain."
"Dari mana Bang Dzaka tau? Ziya emang pengen sendiri kok!" ketusnya untuk pertama kalinya.
Dzaka terdiam cukup lama hingga dia menoleh kembali pada Ziya. Tatapan mereka beradu hingga mata gadis itu itu berembun kembali. Akhirnya isakan itu lolos dari bibirnya.
Dzaka memilih mengalihkan pandangannya memerhatikan taman kecil itu. Lalu Dzaka berpindah posisi demi mendapati sebuah batu menghantamnya.
"Akh!"