Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.
Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.
Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.
Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.
note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 9 Penculikan
Jihan diam bertanya-tanya. Berita April barusan menyangkut orang tercinta, mengenai orang kesayangannya.
Saat Jihan melirik ke arah atap.
"...?!"
Jihan sadar Hen Hen sudah pergi. "Sialan..! Udah kepo. Kabur lagi... Banci."
Wzzt!! Jihan akhirnya jetset ke atap rumah dan segera fokus mata menelusuri sudut-sudut yang agak gelap. Dia berharap ada aktivitas. Namun kesunyian tempat makin meliputinya, tak ada tanda-tanda Hen Hen di setiap rumah.
"Gue ngarep banget. Lo kejeblos lubang, Mijak Tanah..!" umpat Jihan, bicara sendiri, mengolok orang jahil tersebut.
Gadis nyeker ini lalu mengawas, lihat kiri dan lihat kanan sambil berpura-pura tenang. "Liat aja kalo sampe Ira lecet.. Lo nangis sumur-idup, Hen."
Tetap sepi. Bahkan angin pun tak berhembus saking misteriusnya hukum fisika di dunia Jihan ini.
"Hshh-hss..!" endus Jihan, tapi..
Tak ada siapapun, atau suara lain di sekitar Jihan. Lokasi ini lingkungan yang mati. Rumah-rumah yang ada hanyalah bangunan kosong tak berperabot, banyak pintu yang dibiarkan menggangga.
Tampak suasana kelam yang ada diakibatkan paparan radiasi, yang mungkin membuat para pemilik rumah pergi. Namun di lihat dari atap ini, tak ada tempat mencolok sebagai sumber radioaktif. Semua bangunan baik-baik saja dan bahkan tak dirambati tanaman liar.
Tapi.. Planet yang Jihan pijak memang antah berantah, sebab di langit sana ada wajah laki-laki yang terhalang lempeng galaksi.
Entahlah bagaimana awalnya Bumi jadi sesunyi ini, dan mengapa langitnya jadi ada objek yang sebesar itu, sangat besar dan itu mahluk organik non-alien.
Siapa sebenarnya Enik yang April ceritakan, mengapa ruang-waktu Hen Hen, Tifani, dan yang lainnya ikut terdampak, padahal hanya Lintang yang bicara, atau mungkin Hen Hen dan Tifani pun kontra pada Enik?
Bisa jadi. Sebab, saat Fani pergi, wajah dia sesedih itu, wajah yang prihatin dan harus menunaikan tebusan dirinya, wajah yang terusir. Fani terlihat persis seperti orang yang sedang terusir dari komunitasnya.
Dari atap rumah, Jihan bergerak pelan. Tubuhnya melayang hingga dia turun di dekat muka gang.
"Hhsshhhh..."
Karyawati ini menarik dalam-dalam udara di situ, bukan sedang menghirup bau piyama belangnya, tapi sedang mencium wangi yang dikenalnya.
Tunggu. Jadi Jihan memakai piyama belang sejak onmind-nya, seragam napi dong? Iya. Belang horizontal karena dia jangkung langsing demi terlihat pendek. Sayangnya Ira hanya peduli pada tatapan Jihan, tak memusingkan penampilan si karyawati.
Note: mending buka pinterest, toh banyak model baju di sana, tergambar jelas dan terang, nyari di Noveltoon salah aplikasi
Saking halu-nya menikmati bau Irawati, konsen Jihan meningkat. Dia membuka mata, memasang kuping demi instingnya atas suatu gelombang, menoleh ke sudut jalan.
Di sini Hen Hen sibuk mengusap-usapkan bubuk tanah ke bahu, memulihkan kulitnya dengan cara alternatif. Tampak jaringan sel tubuh Hen Hen merespon, spontan menyalin sel-sel kulit dari bahan baku yang Hen Hen usapkan.
"Tinggal Tmask. Emang karma. Gue udah ngerusak kekhusyukan di Lintang Center. Maaf War gue terus nambah beban lu."
Hen Hen berdiri, sudah selesai "mengobati" luka jatuhnya, penampilannya kini sudah utuh kembali sebagaimana penampilannya saat masuk ke Lintang Center (Elci) sambil menari.
Dit! Dit-dit..!
Hen Hen lanjut mencet-mencet "kalkulator" yang tertanam di batang pohon. Entah sedang apa dan bagaimana menyebutnya untuk pohon yang ada tombolnya itu.
Dat! Dit-dat.. Dit!
Hen Hen melirik jalan dan mempercepat aktivitasnya. Dadit-dadit-dadit-dadit...!! Hen Hen berhenti demi mengawas arah yang diperhatikan. Lalu..
Dit!
Wzzztt!
Si beban pergi meninggalkan pohon usai pijitan terakhir.
Beberapa detik kemudian Jihan datang dan berhenti dari melesatnya di sini sambil..
"Oy..! Nan! Tunggu! Nanaa!!" pinta Jihan, berteriak dan diam tak mengejar. "Apa sih, manggil-manggil gue pake hitungan nuklir gini."
Sambil menggerutu, Jihan mencabut alat yang Nana tinggalkan.
"Pril, lo aja deh yang nuntun. Bimbingan si Nana menyesatkan. Kalo gue megang kapak, gue tebang lehernya dah. Pusing. Kuping gue jadi pecah gini, anjir."
Brtth!! Habis mencabut, Jihan menekan-nekan telinga kiri dengan ujung kelingking. Gecek! Gecek!
Rambat gelombang yang Jihan dengar dan dapati ternyata sebatang pohon yang "diretas". Jihan kembali mengawas di tengah frustasinya yang masih dapat ditahan, menunggu frekuensi April, melihat-lihat sekitar, terutama benda yang dipegang sebab siapa tahu meledak dengan tiba-tiba.
"Kampret.. Gue nemu kapak abis lo, Nan. Liat aja ntar.."
"Itu pesan dalam bahasa emblem. Bahasa kami. Para binaries, Boss. Sebentar."
"Iya. Tapi gak lucu, Ras. Orang lagi yoga dipanggil-panggil coba? Pake sirene kiamat lagi. Nih bunyi sesat, Ras. Gue gak suka. Prank-nya gak lucu banget."
Jihan curhat sambil menapaki arah yang Nana lalui, membawa "pesan" menuju ruko kecil di seberang jalan.
"Ira khan udah ngeklaim gue. Gue berhak dong, nyium baunya..?"
Jihan meneruskan protesnya di keheningan tempat dan remang lokasi.
"Yang lebih ngeheranin sih, Hen Hen ngreject suar, notice, kiriman, menolak diskusi grup yang gue bikin, Han. Gelombang otaknya aneh. Apa karena emang lusid privater?"
"Pril. Tadinya khan gue bercanda sama Melan. Di tengah ngobrol gitu ada tanya. Napa Hen Hen suka bawa-bawa musuh damkar kalo les. Gue yang baru denger belum ngeh siapa yang Melan omongin. Nah pas gue tau, dia ngomongin si Nina, gue ngakak. Trus gue liat Hen Hen berdiri dan gue yang masih ketawa.. gak inget dia ngomong apa sama si Melan, Dia tau-tau udah marah aja. Nina juga samaan, ngamuk ati pasang muka dendam ke gue, ikut pergi bareng Hen Hen."
"Aneh. Gak dimaafin. Malah diblok."
"Nah itu yang gue pusing, Pril. Nih will kok kayak gak pernah ngelakuin salah pas denger kelakuan gue sama Melan yang emang lagi lupa kayak gitu..."
Jihan berapi-api menceritakan awal keponya mengenai Hen Hen. Dia bingung karena Hen Hen belum mau memaafkan Melan dan suara tawa dari guru lesnya.
"Gue scroll-scroll Whois? Nina, belum ada klaim tuh soal mereka. Bukan pacar satu sama lain. Apa mereka deket karna status satu ratu ya Han?"
"Ya pokoknya mereka berdua lagi deket aja. Trus Gue ngedadak ngetawain tuh hubungan. Mampus dah gue diprank gini, Pril."
"Tapi kak Jihan udah minta maaf."
Terdengar suara Ira, namun..
"Lo liat Hen Hen bareng piaraannya gak di situ, Ra? Kalo liat bintang drone, bintik capung tuh si Helen."
"Gak Kak. Wsyse -nya gak ada. Kak Hen Hen lagi masak. Tanyain jangan Kak?"
"Ntar aja, Ra. Duh.. Gue gak tau...kalo ntar.. dia ngamuk.. berubah pikiran ke elo. Tiba-tiba aja.. dia.. Duh.. Gue gak tau.. Kita positif aja dulu.."
Dengan sangat hati-hati Jihan menyampaikan pada Ira atas rasa takutnya mengenai Hen Hen.
"Iya Han. Helen belum diketahui, nih. Dia yang bisa bantu semua tanya kita soal majikannya."
"Aku udah nekan kata minta maaf. Siapa tau suaraku kedengeran sampe ke dapur Kak."
"Oke makasih Ra. Jangan dulu dimakan ya? Gue menuju lo. Gue dulu yang cek sebagai garis depan usus lo."
"Iya, Kak.. Love you. Aku juga udah gak sabar, Kak."
Dengus kesal di sepanjang jalan reda seketika begitu Jihan mendengar "balasan" Ira dalam telepati mereka. Ralat. Gelang-karet jelmaan April itu membuat Jihan tersenyum senang. Dia berhenti menggerutu melupakan kejahilan Nana dan berhenti melangkah sambil mengamati benda yang dibawa.
"Kalo gitu, ini jadi tiket masuk. Gimana Ras?"
"Ini pesannya. Miss Sorrow yang terhormat, tolonglah siarin ini, kasih tau, terusin ke hezt pemilikmu beberapa hal di bawah ini. Sebagai sistem pertahanan timeline, gue aktif untuk tamu yang tak diundang. Sebagai sistem pertahanan timeline, gue bakal beraksi dengan sangat keras dan berbahaya pada pemilikmu. Sebagai sistem pertahanan timeline, gue bakal ngeredam mind imagine pemilikmu. Sebagai sistem pertahanan timeline, gue aktif segenap tenaga menggunakan voltase-unlimited-stok atau di singkat Vus. Sebagai sistem pertahanan timeline, planet, serta lokasi brankas berisi akte rumah dan tanah ini, gue bakal non-aktif kalo pemilikmu bilang stop di lingkaran danger. Nana."
"Oke, Pril. Kasih gue kompas. Apa aja pokoknya asal bisa gantiin fungsi idung gue."
Jihan batal mengejar Nana, berjalan balik ke arah pohon "nuklir", kembali ke lokasi dia mencabut pesan.
"Lo udah tau pintu ke lingkaran Nana saat balik kanan begini. Lagi jalan ke tempat tujuan."
"Iya. Tapi gue buta kalo udah di dalem Pril."
"Nanti ada warp kotak yang lo sebut kompas. Habis masuk ke situ, lo udah punya satu kata penghenti serangan. Jadi.. Artinya, garis finish adalah?"
"Gelang karet."
"Valid. Lo ke sini bukan mau nyolong akte. Melainkan gelang karet. Tapi gue, Sorrow, sama Nana gak peduli selain..?"
"Stop."
"Oke. Han. Ulang kata ini sepuasnya. Stop, stop, stop, stop.."
"Stop. Kunci ampunan di temlen gue sih, apa tuh? Di bumi Jisas Pril. Hore khan ya?"
Jihan balik tanya, tapi lawan bicara meluruskan.
"Invalid. But.. Percuma bilang Cosami Sindemi Tandesa selama Gizi yang jaga lingkaran."
Zrrthh!
Selapis persegi empat muncul, tepatnya disebut menyala otomatis karena Nana sudah menandai Jihan sebagai target operasi.
"Nan, sini lo. Malah kabur, orang mau ngomong malah bikin prank laen."
Jihan menyimpan tiket yang dibawa-bawa, mengembalikannya ke pohon nuklir.
Wezzt! Seunit binaries datang melesat dari persembunyiannya. Nana sama canggihnya dengan April. Namun dalam hal menipu dan pemulihan diri, algoritma Nana lebih unggul.
"Stop gue bilang."
"Nanti kalo udah di dalem, Han. Bilangnya pas dalam bahaya."
"Ira dalam bahaya. Bukan gue, Nan."
"Nyekap di mana lagi? Namanya juga lagi diculik. Ayo duel. Kita duel, Abstrak."
Zzzttt! Nana masuk.
"..?!"
Jihan menggaruk kepala, gagal mengajak Nana berdebat. Terlebih objek putih-glowing di depannya membingungkan, lokasi yang ada di baliknya belum kelihatan dan bisa jadi Jihan malah nyebur ke laut begitu memasukinya.
"Swer. Gue males gelut mulu. Males ah. Stop, stop, stop, setooop...!"
Jihan meminta namun pintu masuk tak juga paham, eh, padam.