simak dan cermati baik2 seru sakali ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siv fa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Julia tercengang dengan apa yang dilakukan suaminya. Dia bisa memahami kalau Martin cemburu, juga bisa memahami kalau Martin tersinggung dengan apa yang dilakukan Matthew, tapi haruskah dia berbuat sejauh itu?
Matthew sendiri kini menatapnya dengan garang. Julia khawatir, kedua orang ini akan adu jotos di hadapannya.
Namun bukan itu yang terjadi. Matthew memasukkan kedua tangannya ke saku celana, mengangkat dagunya dan tersenyum angkuh.
"Apa kau bilang? Kau mau membelikan Julia perhiasan-perhiasan yang dia inginkan?" tanya Matthew.
"Iya," jawab Martin mantap.
Matthew terkekeh. Katanya, "Kau ini delusional atau apa sih? Kau anggap dirimu orang sepertiku—putra salah satu orang terkaya di kota ini? Sadar, Bung! Kau ini hanya pria miskin yang menggantungkan hidupmu pada istrimu!"
"Saranku, berhenti bicara omong-kosong atau kau akan menyesal," ucap Martin.
"Apa maksudnya itu? Ancaman? Hahaha... Kau pikir aku takut? Kau mungkin punya badan yang lebih bagus dariku, tapi soal kekayaan dan status sosial, aku ini jauh sekali di atasmu. Kalau kau memang ingin menunjukkan bahwa kau pantas menjadi suaminya Julia, belikanlah dia perhiasan-perhiasan mewah yang dia inginkan!" cerocos Matthew.
Martin dan Matthew saling menatap tanpa berkedip. Seperti ada sinar laser yang menyembur dari mata mereka itu; keduanya bertemu di tengah.
Julia semakin khawatir mereka berdua akan adu jotos. Dia pun berdiri, mengambil inisiatif untuk menengahi.
"Martin, sudahlah. Jangan bikin ulah di sini," ujar Julia, menatap Martin kecewa.
Kemudian dia menatap Matthew dan berkata, "Maafkan aku, Matthew, tapi aku tidak bisa menerima hadiah-hadiahmu ini. Akan kuambilkan kalungmu itu."
Julia memutar mejanya dan hendak membuka tutup tempat sampah, tapi tangan Martin dengan cepat memegangi pergelangan tangannya.
"Jangan, Julia. Kau tak perlu melakukan itu," kata Martin.
"Tapi—"
"Biar dia saja yang mengambilnya. Toh dia yang bawa."
Julia menatap mata lekat sepasang mata Martin. Dia merasa ada yang berbeda dari suaminya ini. Entah kenapa, Martin seperti lebih berani dan percaya diri.
Dulu di situasi seperti ini dia biasanya menahan diri dan menenangkannya. Kini dia terang-terangan menantang orang yang dianggapnya mengancam rumah tangganya.
Julia tersenyum tipis. Dia lumayan menyukai Martin yang seperti ini.
"Ayo kita keluar saja. Kita beri orang ini privasi. Siapa tahu dia malu jika harus mengorek-ngorek tempat sampah di hadapan kita," kata Martin sambil melirik Matthew.
Matthew mendelik padanya. Sebelum dia sempat mengatakan apa pun, Martin sudah lebih dulu menarik Julia dan membawanya keluar.
Sendirian di ruangan itu, Matthew melampiaskan kekesalannya dengan menendang tempat sampah.
Tempat sampah itu pun terguling dan isinya kini berserakan di lantai.
Matthew melihat kotak perhiasannya tadi, di situ, di antara plastik roti dan kaleng minuman berenergi.
Dia berjongkok. Dengan muka kecut, diambilnya kotak perhiasan itu.
"Lihat saja! Suatu hari Julia akan menjadi milikku!" ucapnya.
...
Selesai mengobrol dengan Julia, Martin membiarkan istrinya itu lanjut bekerja. Dia sendiri bertolak dari kantor Wiguna Corp. dengan sepeda motornya. Tujuannya adalah Majesty's Jewells, toko perhiasan paling ternama di Kota Hagasa.
Mudah ditebak, tujuan dia ke sana adalah untuk membeli perhiasan-perhiasan Flowery dan perhiasan-perhiasan mewah lainnya.
Setibanya di Flowery, Martin langsung masuk ke toko. Toko itu luas meski hanya satu lantai. Desain interiornya merupakan perpaduan dari gaya klasik minimalis dengan nuansa futuristik. Warna dominan putih-hitam membuat toko tersebut terkesan berkelas.
"Permisi, Tuan, ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang pramuniaga, menghampiri Martin. Di bagian dada kiri seragamnya tertulis nama "Shinta".
"Aku mau lihat-lihat dulu perhiasan di sini," jawab Martin.
"Baik, Tuan. Barangkali ada preferensi tertentu, biar kami bantu carikan?"
"Flowery. Kalian menjualnya di sini?"
Pramuniaga bernama Shinta itu terkejut mendengarnya, tapi sebisa mungkin dia bersikap normal dan profesional.
"Iya, Tuan. Untuk perhiasan dari Flowery, kami men-display-nya di etalase khusus di sebelah sana," kata Shinta, menunjuk sopan ke arah pukul sepuluh.
"Mari saya antar, Tuan," sambungnya, mengangguk hormat dan berjalan lebih dulu.
Martin mengikutinya. Di titik ini, seorang pramuniaga lain yang sedari tadi mengamati Martin mengekor mereka. Dari raut mukanya, jelas sekali dia meremehkan Martin.
"Ini perhiasan-perhiasan dari Flowery yang kami miliki, Tuan. Silakan dilihat-lihat, barangkali ada yang cocok," kata Shinta setibanya mereka di etalase yang dimaksud.
Martin berdiri menghadap ke etalase tersebut, mengamati perhiasan-perhiasan yang ada di situ.
Memang semuanya berkilau dan kilaunya istimewa. Desainnya pun unik dan berkelas. Pantas saja harganya selangit.
"Aku mau kalung yang ini," kata Martin, menunjuk salah satu kalung yang di-display di situ.
Di titik ini, si pramuniaga yang mengekor mereka tadi berkata dengan ketusnya, "Shinta, apa yang kau lakukan? Kenapa gembel seperti ini kau biarkan masuk? Harusnya kau mengusirnya tadi!"
Martin langsung menoleh menatap wanita itu. Dia mengenakan seragam yang sama dengan Shinta. Nama yang tertulis di bagian dada sebelah kiri seragamnya adalah 'Merry'.
"Maafkan saya, Kak Merry. Tapi, Tuan ini kan klien kita," kata Shinta.
"Klien katamu? Sudah jelas-jelas dia ini gembel. Lihat saja penampilannya!" bantah Merry, memindai Martin dari ujung rambut hingga ujung sepatu.
Martin memang hanya mengenakan kaus oblong dan celana jeans saja; di punggungnya tas ransel dari merek biasa.
Jika dibandingkan dengan klien-klien Majesty's Jewells yang ada di situ, penampilannya memang terlampau biasa.
Tapi bagi Shinta, penampilan luar tak menjamin kualitas seseorang. Bisa saja Martin sebenarnya orang kaya yang berpenampilan sederhana, meskipun dia sebenarnya ragu kalau Martin benar-benar berniat membeli salah satu perhiasan Flowery yang mereka jual.
"Tajam sekali lidahmu itu. Kau setiap hari mengasahnya dengan apa? Infotainment?" ucap Martin sarkas.
Merry langsung mendelik padanya. Dia menunjukkan permusuhan senyata-nyatanya.
"Keluarlah sekarang juga. Tempat ini bukan untuk gembel menyedihkan sepertimu. Kalau kau mau lihat-lihat perhiasan, di tempat lain saja!" kata Merry ketus.
Martin mengernyitkan kening. Entah kenapa dia selalu bertemu dengan orang-orang yang kurang ajar seperti ini.
"Well, well, tak kusangka kau punya cukup nyali untuk memasuki toko perhiasan semewah ini."
Martin menoleh ke arah pukul empat, mendapati Matthew berjalan ke arahnya. Masih dengan setelan jas navy-nya tadi, dia melangkah sambil sedikit mengangkat dagu.
Sepertinya dia baru saja melakukan sesuatu dengan ponselnya. Kini dia memasukkan ponselnya itu ke saku celana.
"Wait, biar kupastikan satu hal. Kau memasuki toko ini karena kau punya cukup nyali, atau kau tak tahu malu dan tak tahu diri?" cemooh Matthew.
Senyum menghina dilayangkan Matthew padanya. Martin tak memberikan respons apa pun. Dia sedang menerka-nerka apa yang mau dilakukan Matthew.
Melihat penampilan Matthew yang sangat berkelas, kedua mata Merry langsung berbinar-binar. Bahkan dibandingkan dengan klien-klien yang pernah dilayaninya, Matthew tampak menonjol. Dia pun langsung menghampiri Matthew dan tersenyum manis.
"Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" tanyanya.
"Aku mau membeli salah satu perhiasan terbaik kalian. Mereknya Flowery," jawab Matthew.
Mata Merry semakin berbinar-binar. Berbeda dengan kasus Martin, dia yakin Matthew bisa membeli perhiasan yang dicarinya. Dan jika dia benar-benar membelinya, itu artinya Merry akan mendapatkan komisi puluhan juta. Ini tangkapan besar dan dia tak boleh melewatkannya!
"Anda mau perhiasan yang mana, Tuan? Silakan dilihat-lihat di sini," kata Merry, menunjuk sopan ke etalase di hadapan Martin.
Matthew berdiri tepat di samping Martin, mengangkat dagunya lebih tinggi. Kemudian, setelah mengamati perhiasan-perhiasan di etalase di depannya itu, dia menunjuk ke sebuah kalung.
"Aku mau yang itu!" ucapnya.
Martin mendelik padanya. Itu adalah kalung yang ditunjuknya tadi.
"Baik, Tuan. Akan kami siapkan," kata Merry antusias. "Untuk pembeliannya sendiri, dikarenakan ini seri istimewa dari Flowery, kami perlu melakukan pengecekan terlebih dahulu untuk memastikan segala sesuatunya sempurna. Anda tidak keberatan menunggu beberapa lama, Tuan?"
"Tak masalah. Lakukan saja. Dan kalian tak perlu memberitahuku berapa harganya. Aku akan membayarnya dengan kartu kreditku," jawab Matthew.
"Terima kasih, Tuan. Segera kami proses," balas Merry.
"Tunggu dulu!"ucap Martin lantang. "Aku yang menunjuk kalung ini lebih dulu. Harusnya aku yang berhak membelinya, bukan dia."
Merry menatap Martin dengan benci. Gembel ini masih saja bertingkah, dan itu membuatnya muak.
"Shinta, kau usir dia keluar! Aku tak mau lagi melihat dia di sini," perintah Merry