Ini kisahku. Tentang penderitaan dan kesakitan yang mewarnai hidupku. Kutuangkan dalam kisah ini, menjadi saksi bisu atas luka yang sengaja mereka perbuat padaku sepanjang hidupku.
Karina, lahir dari seorang ibu yang pemabuk sejak ia masih kecil. Menikahi pria yang sangat ia cintai tak kalah buruk memperlakukan Karina. Di tambah sang mertua yang tak pernah berpihak padanya. Hingga satu tragedi telah mengambil penglihatannya. Karina yang mengalami kebutaan justru mengalami perlakuan buruk dari suami dan mertuanya.
Namun seorang pria tak di kenal telah membawanya keluar dari kegelapan. Yang tak lain pria yang sama yang merenggut penglihatannya.
Bagaimana kisah selanjutnya? yuk ikuti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BB 9
Sepanjang jalan Karina hanya diam, ia masih merasakan sakit di hati atas ucapan Sumarni dan sakitnya di pipi bekas tamparan Pramudya. Raihan yang merasa iba melihat raut wajah Karina yang sedih, akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Kita sahabat sejak sekolah, kau bisa ceritakan apapun padaku." Raihan membuka percakapan.
Karina hanya menatap lurus ke depan. Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada apa apa."
"Kau jangan bohong, Karina. Aku tahu bagaimana kau." Raihan menoleh sekilas lalu kembali fokus menyetir.
"Tidak ada apa apa." Karina tetap diam dan tidak ingin menceritakan kekasaran Pramudya padanya. Akhirnya Raihan diam dan tidak bertanya lagi meski ia curiga dengan sikap diamnya Karina.
Tak lama mereka telah sampai di halaman rumah Ibu Karina. Raihan langsung keluar dari pintu mobil dan membantu Karina keluar dari pintu mobil.
"Hati hati."
Raihan memapah Karina menuju rumah, lalu mengetuk pintu yang terbuka. Nampak Ibu Widia tengah duduk di ruang tamu menikmati kopi dan sebatang rokok. Melihat putrinya datang, ia langsung mematikan rokonya di asbak lalu berdiri dan merentangkan kedua tangannya menyambut Karina. Namun ia terkejut saat melihat Karina berjalan menggunakan tongkat, lebih terkejut lagi saat menatap kedua bola mata Karina yang entah menatap kemana.
"Karina? apa yang terjadi denganmu Nak?"
Karina memalingkan wajahnya menatap ke arah suara yang ia dengar.
"Ibu!"
"Kontrang!!
Karina melepaskan tongkatnya lalu memeluk Bu widia dengan sangat erat, dan menangis sesegukan dalam pelukan Ibunya. Ini terdengar aneh bagi Karina. Setelah sekian lama hubungannya dengan ibunya sendiri retak sejak mengetahui Ibunya seorang pemabuk.
" Raihan, apa yang terjadi dengan putriku? a, appa Raihan?" tanya Widia lidahnya kelu. Meski ia seorang ibu yang buruk untuk Karina. Tapi ia sama sekali tidak pernah memperlakukan kasar.
Raihan menghela napas panjang, sesaat menundukkan kepalanya sebelum ia menceritakan apa yang terjadi pada Karina.
"Begitu ceritanya, Bu." Raihan kembali menarik napas panjang di akhir cerita.
"Sayang, putriku?" widia melepaskan pelukannya dan mengangkat dagu karina menatap kedua bola matanya tajam.
"Ibu.." ucap Karina lirih.
"Tega sekali mereka tidak memberitahu keadaan putriku, apa salahku pada mereka?" ucap Widia geram.
"Bu-?"
"Tidak Karina, mereka harus memberiku penjelasan kenapa tidak memberitahuku!"
"Bu! sahut Karina dengan nada sedikit lebih tinggi. " Hidup aku sudah sulit, biar aku yang menyelesaikannya Bu."
"Karina, tapi-?"
"Bu, aku datang kesini rindu padamu Bu.." Karina kembali memeluk ibunya dengan erat.
"Sayang, maafkan Ibu yang tak pernah bisa membuatmu bahagia." Hati ibu mana yang tak sedih melihat putri semata wayangnya bernasib buruk? Meski seorang penjahat sekalipun, tidak ingin anak anaknya menderita. "Ibu buatkan makanan kesukaanmu, sudah lama kita tidak makan bersama."
"Baik Bu.' Karina melepas pelukannya, sembari menyeka air mata di pipinya.
"Duduklah sayang." Widia membantu Karina duduk di kursi, lalu mempersilahkan Raihan untuk duduk menemani Karina. Sementara dia sendiri masuk ke dapur untuk membuatkan makanan.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya Widia selesai memasak. Ia menghampiri Karina dan Raihan untuk segera mencicipi masakannya.
Karina duduk di kursi bersebelahan dengan Widia. Bibirnya tersenyum, kepalanya tertunduk. Tangannya meraba di mana Ibunya meletakkan sendok. Widia dan Raihan sesaat terdiam memperhatikan Karina.
"Sayang, biar Ibu yang menyuapimu," ucap Widia lirih dengan nada suara di tekan supaya tidak menangis melihat kondisi putrinya.
"Buka mulutnya sayang.."
Karina berpaling ke arah suara tersenyum dan membuak mulutnya. Karina tidak tahu sama sekali, jika Widia menyuapinya dengan derai air mata yang saling memburu di pipinya. Sementara Raihan hanya diam menangkup wajahnya. Melihat pemandangan seperti itu, ia kehilangan selera makannya.
"Ibu tidak makan?" tanya Karina sembari mengusap bibirnya dengan telapak tangannya.
"Kau dulu sayang, Ibu rindu saat kau masih kecil dulu. Ibu sering menyuapimu."
"Ibu menangis?" tanya Karina tangannya meraba wajah Widia. "Basah, ibu menangis?"
"Tidak sayang, Ibu tadi habis membasuh muka. Ayo makan lagi." Widia mengangkat sendoknya. Namun Karina menepisnya, ia tahu kalau Ibunya tengah bersedih dengan kondisinya yang buta.
"Aku kenyang Bu.." jawab Karina pelan.
"Ya sudah, sekarang kau minum." Widia meletakkan piring di atas meja. Lalu memberikan segelas air mineral pada Karina.
"Aku harus mencari uang untuk pengobatan putriku, bagaiaman caranya harus kulakukan." Batin Widia.
Setelah selesai makan, Karina berpamitan pulang. Ia khawatir kalau terlalu lama di rumah Ibunya, Pram bisa marah. Widia melepas putrinya sampai teras rumah dengan air mata terus menetes.
***
Sesampainya di rumah. Raihan langsung mengantarkan Karina sampai depan pintu kamar.
"Terima kasih."
"Jangan sungkan, kita sahabat. Kalau kau butuh apa apa, hubungi aku. Sekarang kau istirahat." Imbuh Raihan.
Karina hanya menganggukkan kepalanya, lalu ia masuk ke dalam kamar. Sementara Raihan balik badan dan melangkahkan kakinya. Langkah kakinya terhenti di depan pintu ruang makan. Ia mendengar suara Pramudya tertawa dengan suara perempuan. Awalnya Raihan tidak perduli, tapi suara tawa perempuan ity sangat familiar di telinganya. Perlahan ia berjalan menghampiri pintu ruang makan yang terbuka. Matanya melebar melihat Zahra duduk di meja tengah bermesraan dengan Pramudya. Matanya beralih menatap perut Zahra yang besar.
"Jadi? gosip yang beredar di kantor itu benar? Pram menikahi Zahra, sahabat Karina?"
Raihan langsung masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Membuat Zahra dan Pram terkejut. Zahra langsung turun dari atas meja menundukkan kepala berdiri di belakang Pramudya.
"Kau? apa kau tidak di ajarkan sopan santun Raihan?" tanya Pramudya nyolot.
Raihan tersenyum mencemooh menatap Pramudya.
"Kau tidak perlu mengajariku bagaimana harus ber-etika. Kau lihat dirimu? apa pantas kau di katakan manusia ber-etika?"
"Apa maksudmu?" Pram mendengus kesal, lalu berjalan mendekati Raihan di ikuti Zahra dari belakang.
"Kau benar benar pria brengsek, Pram! bentak Raihan geram.
" Tutup mulutmu!" Pram tak kalah marahnya.
"Karina dalan keadaan buta! seharusnya kau yang memperhatikan, menjadi bahu sandaran Karina saat dia terpuruk! tapi lihat dirimu." Raihan menatap Pramudya dari atas sampai bawah. "Kau malah bermesraan dengan wanita yang tak kalah tak tahu diri dan tak punya hati seperti dia!" tunjuk Raihan pada Zahra.
"Diam kau, tidak perlu ikut campur urusan rumah tanggaku!"
"Aku akan memberitahu Karina apa yang terjadi di rumah ini!"
Pram langsung maju mencengkram kerah baju Raihan dan menekan leher Raihan dengan lengannya lalu di dorong dan di tekan ke dinding ruangan.
"Berani kau ikut campur, aku akan memecatmu Raihan." Ancam Pramudya.
"A, akku ti, tiddak takut."
Pramudya melepas cengkraman tangannya, lalu menyeret tubuh Raihan sampai keluar rumah.
"Pergi dari rumahku, dan jangan pernah temui Karina lagi. Pergi!!" ucap Pramudya menunjuk ke arah gerbang rumah.
Raihan mendengus geram, menatap benci Pramudya. Lalu ia balik badan meninggaljan rumah Pramudya.
"Aku harus cari cara lain untuk memberitahu Karina." Gumam Raihan.
moga tidak ya klu iya gk semangat lagi baca nya