Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BABAK VIII: PERTARUNGAN MELAWAN TAKDIR ADIEGAN 20: TANGGAL KERAMAT SEMAKIN DEKA
Waktu berputar cepat di lautan, dan juga di daratan. Kini, bulan telah berganti. Reza telah kembali dari pelayaran besar terakhirnya, membawa kesuksesan, dan yang lebih penting, membawa tekad bulat untuk menikahi Ratih. Tanggal yang ia tentukan sendiri, 13 April 2025, semakin mendekat. Hanya tinggal beberapa minggu lagi.
Reza, yang kini kembali ke Bandung, bekerja keras menepati janjinya. Ia mengurus perizinan, menyewa tukang, dan mengawasi pembangunan gapura di depan warung kopi Ratih. Ia juga mulai menata taman kecil yang indah, membeli bunga-bunga termahal untuk pujaan hatinya. Ia melakukannya sebagai David, sang perwira pelayaran, dan Ratih tidak pernah sekalipun menyentuh kekayaan Reza yang sebenarnya.
Di sisi lain, Nawangsih (Ratih), hidup dalam siksaan batin yang tak terperi. Setiap palu yang dipukul tukang di gapura itu terasa seperti pukulan di jantungnya. Setiap kali Reza memanggilnya 'Sayang' atau 'Calon Istri', Nawangsih ingin menjerit histeris. Ia tidak bisa lagi menunda. Ia harus jujur dan membatalkan pernikahan ini, sebelum takdir memakan mereka hidup-hidup.
Momen Kejujuran yang Terlambat
Sore itu, di warung kopi yang sepi, Nawangsih meminta Reza untuk menemuinya. Ia duduk di bangku kayu tempat Reza dulu berbaring. Wajahnya pucat, matanya merah karena kurang tidur.
"David," panggil Nawangsih, suaranya gemetar.
"Ya, Sayang? Ada apa? Kamu terlihat sakit lagi," Reza mendekat, mencoba menggenggam tangan Nawangsih. Ia kini terlihat sangat maskulin dan penuh wibawa dalam pakaian sipilnya yang mahal.
Nawangsih menarik tangannya. Jarak kecil itu terasa seperti lautan yang harus ia seberangi.
"Aku... aku mau bicara serius. Soal pernikahan kita," kata Nawangsih, mencoba menstabilkan suaranya.
"Tentu. Ada masalah dengan berkas nikah? Atau kamu tidak suka desain gapura kita?" Reza bertanya, senyumnya masih penuh semangat dan cinta.
"Bukan itu, David. Ini... ini lebih dari itu. David, kita tidak bisa menikah. Aku harus membatalkan semuanya. Sekarang juga."
Senyum di wajah Reza seketika lenyap. Wajahnya mengeras, wibawa Nahkoda itu muncul.
"Kenapa, Ratih? Kenapa mendadak? Aku sudah menyiapkan segalanya. Aku sudah berjanji, dan kamu juga sudah setuju."
"Aku tahu. Tapi ada sesuatu yang harus kamu ketahui. Ada rahasia besar, David. Sesuatu yang akan membuatmu lari dan tidak akan mau melihatku lagi."
Nawangsih menarik napas dalam. Ia menunjuk ke dirinya sendiri.
"David, perhatikan aku. Aku tahu aku terlihat muda. Aku tahu aku terlihat seperti wanita seusiamu. Tapi aku... aku bukan Ratih. Aku bukan wanita sederhana yang kamu kenal ini."
Ia memejamkan mata, memaksakan kata-kata yang paling mengerikan itu keluar.
"Aku adalah Nawangsih. Aku Nawangsih, David. Aku dari Bandung. Dan aku adalah wanita yang mengusirmu sepuluh tahun yang lalu. Aku... aku adalah ibumu, Reza!"
Tanggapan yang Menyakitkan
Ruangan itu hening. Hanya suara denting gelas dari dapur yang terdengar.
Reza terdiam sejenak. Lalu, ia tertawa. Bukan tawa tulus, melainkan tawa skeptis yang meremehkan.
"Ratih... lelucon macam apa ini? Itu tidak lucu sama sekali. Kamu terlalu banyak begadang, Sayang. Ayo, kita lupakan saja." Reza mencoba kembali menggenggam tangan Nawangsih.
Nawangsih menepis tangannya lagi, air mata sudah mengalir deras di wajahnya yang awet muda.
"Aku tidak berbohong, Reza! Aku tidak bercanda! Aku tahu kamu Reza, anak nakal yang lari dari Bandung dan sekarang kembali sebagai pria sukses! Aku tahu tanda lahir di lehermu itu! Aku tahu kamu anakku, dan aku ibumu! Kami tidak bisa menikah! Ini terlarang, Reza! Ini dosa!" Nawangsih berteriak histeris.
Reza bangkit. Ia kini benar-benar marah. Kebingungan Nawangsih yang terus menerus menyakitinya. Ia yakin Nawangsih sedang mengalami gangguan mental karena tekanan pernikahan dan kemiskinan.
"Hentikan, Ratih! Kamu mengarang cerita! Ibuku adalah Nawangsih, seorang wanita yang hidup di Gang Melati. Dia menghilang tanpa jejak! Aku sudah mencarinya di seluruh Bandung dan tidak ada yang tahu! Ibuku tidak mungkin seorang pelayan warung kopi yang berpura-pura! Kamu terlalu muda untuk jadi ibuku! Ini omong kosong!"
Ketampanan dan kesuksesan Reza menjadi tameng terbesar yang melindunginya dari kebenaran. Ia melihat 'Ratih' di hadapannya yang terlihat sama mudanya dengan dirinya, dan menolak mentah-mentah ide bahwa wanita semuda ini bisa menjadi ibu kandungnya yang berusia dua kali lipat darinya.
"Aku tidak mengarang, Reza! Wajahku memang tidak menua! Itu kutukan! Aku harus melakukannya untuk melindungimu! Aku diusir dari komunitas karena kutukan ini! Aku harus menyembunyikan identitasku, dan kamu... kamu datang kembali dan mencintaiku!" ratap Nawangsih, memukul-mukul dadanya sendiri.
Permohonan dan Ketakutan yang Kian Mencekik
Reza justru semakin keras kepala. Ia menganggap ini adalah drama gila yang diciptakan Ratih karena rasa insecure terhadap status sosialnya.
"Ratih, dengarkan aku. Aku tidak peduli kamu siapa. Aku tidak peduli dengan cerita bodoh tentang 'kutukan' atau 'Nawangsih' ini. Aku tidak peduli dengan masa lalu. Aku mencintai kamu! Aku sudah melupakan masa lalu itu!"
Reza berlutut di hadapan Nawangsih, memohon dengan ketulusan yang murni dari hati seorang Nahkoda yang jatuh cinta.
"Aku sudah berjanji di depan Ayahku! Aku sudah berjanji padamu! Jangan batalkan pernikahan ini, Sayang. Aku tidak akan sanggup. Kamu adalah satu-satunya jangkar yang aku punya. Kamu sudah membuatku melupakan semua sakit hatiku!"
"Tidak, Reza! Kamu tidak mengerti! Kita tidak bisa! Aku ibumu! Aku mengandungmu! Kita akan berdosa!" Nawangsih mencoba menarik diri.
"Tidak, kamu bukan ibuku! Ibuku menghilang! Aku tidak percaya padamu! Tolong, Ratih. Jika kamu mencintaiku, jangan tinggalkan aku lagi! Aku sudah diusir sekali, jangan usir aku untuk kedua kalinya! Menikahlah denganku, atau aku akan gila!"
Melihat permohonan tulus dan keputusasaan di mata Reza, Nawangsih semakin terperangkap. Ia tahu Reza akan hancur jika ia mengungkapkan kebenaran yang kejam itu secara paksa. Ia tahu Reza tidak akan percaya karena penampilannya.
Nawangsih putus asa. Ia tahu ia tidak bisa lagi membatalkan pernikahan ini hanya dengan kata-kata. Ia harus bertindak drastis. Ia harus melarikan diri, lagi.
Ia kembali menatap Reza, mencoba menanamkan ilusi kebohongan terakhir.
"Aku... aku butuh waktu, David. Aku tidak bisa membatalkannya sekarang. Aku bingung. Beri aku waktu sampai hari-H. Aku mohon. Tapi tolong, jaga jarak dariku dulu."
Reza, lega karena pernikahan itu tidak langsung dibatalkan, mengangguk pasrah. Ia tidak tahu, waktu yang ia berikan itu adalah kesempatan emas bagi Nawangsih untuk menghilang selamanya.