NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Darah di Tangan, Harapan di Kaki"

Dari balik pekatnya hutan, muncullah sesosok bayangan raksasa. Ia melangkah dengan tenang, tapi setiap injakan kakinya seperti gemuruh halilintar yang menggema di dasar bumi. Broto—sang pengawal paling ditakuti di ladang ganja itu—kini kembali. Di bahunya, tergantung seekor beruang hutan yang telah kehilangan nyawanya. Binatang buas itu bukan ia taklukkan dengan peluru, bukan pula dengan perangkap. Tapi dengan tangan kosong, keberanian utuh, dan teknik kuncian yang ia kuasai dengan nyaris sempurna. Seolah alam sendiri tunduk padanya. Seolah malam pun tahu, lelaki ini bukan manusia biasa.

Namun malam ini… malam ini berbeda.

Begitu ia tiba di kawasan ladang, ada yang ganjil. Terlalu sunyi. Terlalu hening. Seolah kehidupan terlelap tanpa aba-aba. Para penjaga tergeletak dalam diam, seakan tersihir dalam mimpi yang tak mereka minta. Bahkan sang bos—ayah angkat Liana—terkulai di kursi rotan, tak sadarkan diri. Mata Broto menyipit. Ia bukan pria yang mudah dibodohi. Sekilas saja, ia tahu: ini bukan tidur biasa. Ini adalah rencana. Ini adalah pengkhianatan.

Dan saat telinganya menangkap suara dari balik semak—langkah-langkah tergesa, bisikan-bisikan yang gugup—Broto tahu, malam ini ladang itu sedang digerogoti dari dalam. Para tahanan kabur.

Ia melangkah menuju gubuk senjata, mengambil pisau kecil yang ia rawat seperti anak sendiri, dan beberapa granat yang hanya ia gunakan bila keadaannya benar-benar genting. Pistol? Ah, itu terlalu murahan baginya. Pertarungan sejati adalah saat jantung berdetak kencang, saat tangan kosong bertarung melawan nasib. Saat nyawa dipertaruhkan di garis batas antara hidup dan mati.

Dan seperti hantu rimba, ia menyusul arah suara.

Di sisi lain hutan, Johan, Kalmi, Liana, dan para pekerja yang baru saja dibebaskan bergegas dalam senyap. Nafas mereka tersengal, langkah mereka saling menyusul di antara semak dan duri. Namun suara langkah dari belakang semakin jelas. Berat. Penuh tenaga. Seperti suara raksasa yang memburu.

Liana, dengan tangan gemetar, menyalakan senter. Dan di balik cahaya yang goyah, muncullah sosok itu—Broto. Bayangannya menelan cahaya. Matanya menyala seperti bara dalam malam.

“Kalian pikir bisa kabur semudah itu?” suaranya parau, dalam, mengguncang tulang.

Tatapannya jatuh pada Liana, seperti kilat yang menyambar pohon tua—tak hanya menggores, tapi melukai.

“Jadi kau juga terlibat, Lia? Anak yang aku ajari bertarung, yang dulu memanggilku abang, ternyata pengkhianat. Kau belajar bela diri untuk ini?” Suaranya pecah, bukan hanya oleh kemarahan. Tapi juga luka.

Liana menegakkan wajahnya, meski air matanya mulai jatuh, satu-satu.

“Aku tidak berkhianat, Bang,” jawabnya, pelan namun tegas. “Aku hanya ingin bebas. Seperti yang dulu sering aku ceritakan padamu, waktu kita latihan di bawah hujan.”

Hening menyelimuti mereka. Johan tak mampu berkata apa-apa. Tubuhnya menggigil. Cerita-cerita tentang Broto yang dahulu ia dengar dari Liana kini nyata di depan matanya. Bukan dongeng. Bukan legenda. Tapi laki-laki yang bisa membunuh beruang dengan tangan kosong.

Dan malam itu, di hutan yang dingin, dua jiwa yang dulu saling percaya kini berdiri di medan yang berseberangan. Kalmi menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan.

Mereka tahu, kebebasan bukan hadiah. Ia harus diperjuangkan, meski harus berhadapan dengan setan penjaga gerbangnya.

Kalmi, meski tubuhnya lemah, napasnya tersengal, dan kulitnya selembut pucat fajar, tetap berdiri dengan gemetar. Di tengah ketakutannya yang memuncak, ia menggenggam sebatang kayu—senjata terakhir bagi jiwa yang putus asa. Kayu itu ia ayunkan dengan segenap sisa tenaga, seperti menggenggam harapan dalam badai. Tapi dunia tak selalu berpihak pada yang bernyali.

Broto, setegap gunung, menghindar dengan mudah. Tangannya bergerak, sekali pukul—dan Kalmi pun terhempas ke tanah. Senyap. Tubuhnya tak bergerak, seperti dedaunan yang jatuh perlahan dan kehilangan arah. Di wajah Broto, terpulas senyum dingin—bukan senyum kebanggaan, tapi cermin dari seorang pria yang telah kehilangan sisi manusiawinya.

“Selama aku masih menghirup udara di sini,” ucapnya lirih, suaranya berat dan menggetarkan malam, “kalian tak akan pernah keluar hidup-hidup. Apa cuma ini yang kalian sebut keberanian?”

Sorot matanya menusuk Liana dan Johan. Penuh cemooh. Penuh ancaman.

Liana maju.

Langkahnya pelan, tapi pasti.

Jantungnya berdentum kencang, tapi wajahnya tetap dingin.

Di depannya berdiri sosok yang dulu bikin malam-malam kecilnya penuh tangis.

Broto.

Bukan cuma guru. Bukan cuma pengawal ataupun teman cerita.

Dia monster.

Yang tangan dan kakinya ditempa langsung sama dunia yang keras.

Tapi Liana bukan anak kecil lagi.

Dia bukan Liana yang cuma bisa sembunyi di balik pintu.

Hari ini, dia berdiri.

Dan melawan.

Tanpa aba-aba, ia menyerang.

Cepat. Ringan. Lincah.

Pukulan pertama—hampir kena dagu Broto.

Yang kedua—meleset, tapi cukup buat bikin lelaki itu mundur setengah langkah.

Broto menggeram. “Kau pikir sudah cukup kuat, hah?”

Liana nggak jawab.

Dia muter badan, tendangan melayang ke arah rusuk. Hampir kena.

Broto tangkis. Berat. Tapi gerakannya mulai lambat.

Pertarungan berlanjut.

Hening. Tapi padat.

Tiap gerakan penuh perhitungan.

Tanah bergetar. Daun-daun beterbangan.

Liana lompat. Sikut kanan menghantam bahu Broto.

Dia goyah. Untuk pertama kalinya, dia goyah.

Tapi...

Semua berubah dalam satu detik.

Broto balas.

Hantaman telaknya menghajar wajah Liana.

Sekali. Tepat.

Dunia langsung gelap.

Tubuhnya mental. Terhempas ke tanah.

Keras.

Dingin.

Tapi matanya…

Masih terbuka. Masih menyala.

Api di dalamnya belum padam.

Belum sekarang.

Tangannya gemetar. Tapi ia berusaha bangkit.

Lidahnya berdarah, tapi ia tersenyum.

Tipis. Tapi cukup buat bikin Broto ragu sepersekian detik.

“Aku akan pergi menuju kebebasan,” bisik Liana.

Nafasnya patah-patah. Tapi tekadnya utuh.

Lalu terdengar suara Johan.

Parau. Gemetar. Tapi penuh paksa untuk tetap tegar.

“Lari! Cepat! Jangan pikirin kami—larilah!”

Anak-anak muda yang baru mencicipi rasa langka bernama kebebasan, berhamburan ke arah hutan. Nafas mereka pendek. Tapi langkah mereka panjang. Seolah ingin kabur sejauh mungkin dari mimpi buruk yang selama ini mereka sebut kenyataan.

Tapi Broto?

Dia bukan pria yang membiarkan mangsa lolos begitu saja.

Tangannya merogoh pinggang.

Dua granat tergantung di sana.

Dua takdir. Dua neraka.

Ia pilih satu—dilempar ke arah para pelarian.

Yang satunya? Mengarah pada seorang lelaki tua yang tertinggal, gemetar di dekat Liana.

“Bangsat!”

Teriakan Johan memecah malam.

Ia melesat.

Tak ada waktu berpikir. Tak ada waktu ragu.

Granat pertama dia tangkap di udara. Panas. Berat.

Tapi tangannya tak gemetar.

Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ia lempar balik ke arah Broto.

Granat itu jatuh tepat di kaki raksasa itu.

Waktu mendadak melambat. Sunyi.

Lalu—

“DUARRR!”

Tanah berguncang.

Langit seperti berteriak.

Debu dan serpihan beterbangan, melukis malam dengan kepanikan.

Sementara itu—

Liana melihat granat kedua.

Melihat lelaki tua itu.

Tak ada waktu berpikir.

Ia lompat.

Tubuhnya jadi perisai.

Tangannya melingkari tubuh renta itu.

Tak ada pelindung lain, kecuali dirinya sendiri.

“DUARRR!”

Ledakan kedua menghantam.

Udara panas mencambuk kulit.

Serpih besi menari liar.

Tubuh Liana terhempas.

Gemetar. Berdarah. Mengenai sebagian tangan dan wajahnya.

Tapi tak ada teriakan. Hanya… diam.

Diam yang menusuk.

Johan menoleh.

Matanya menangkap Liana yang terkapar. Tak bergerak.

Broto?

Tubuhnya terpental beberapa meter.

Darah mengalir dari pelipisnya.

Terluka. Terkapar. Rapuh.

Untuk pertama kalinya… raksasa itu bukan siapa-siapa.

Tapi Johan tak peduli padanya.

Ia berlari ke arah Liana.

Lututnya ambruk di tanah.

Tangannya meraih tubuh gadis itu. Mengangkatnya. Mendekap erat.

“Lia… Liana…”

Nafasnya tersengal.

Suara kecil keluar dari bibirnya.

“Bertahan ya… tolong, bertahan…”

Liana masih bernapas.

Tapi matanya terpejam.

Dan di wajah Johan—

Ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari luka.

Takut kehilangan.

Takut harapan terakhirnya… padam. Tanpa pikir panjang, Johan menggendong Liana dan langsung meninggalkan Broto.

Seseorang mengangkat Kalmi. Mereka berlari. Menembus belantara. Tak menoleh ke belakang. Tak ada waktu untuk air mata.

Broto, yang terkapar dalam luka, menggeliat perlahan. Napasnya berat, matanya menyala seperti bara yang belum padam. Ia mencoba bangkit, meskipun tubuhnya seperti serpihan dari kegagahannya yang dulu. Tapi kebenciannya terlalu pekat untuk membiarkannya rebah.

Langkah-langkah mereka menembus gelap malam, dikejar waktu, dikejar takut, dikejar luka. Ranting-ranting mencakar kulit mereka, sungai menghempas tubuh mereka, tapi tak satu pun dari mereka berhenti.

Dan saat langit mulai merekah di ujung timur, di antara gemuruh hutan dan napas-napas yang putus, mereka temukan sebuah gua—terselip di balik dinding batu yang curam. Gua itu bagaikan tangan ibu yang merengkuh anaknya dari hujan.

Mereka masuk. Diam. Lelah. Mata mereka menyimpan ketakutan yang belum pergi.

Liana duduk di sudut gua. Darah di wajahnya mulai mengering, mengikat kulitnya dalam perih yang menyayat. Johan, dengan tangan gemetar, mengobati luka-luka itu. Ia membersihkan tiap goresan seolah itu luka di hatinya sendiri.

“Maaf, Lia... Ini pasti sakit...” bisiknya.

Liana mengangguk pelan, menahan nyeri, menggigit bibirnya. Tak ada keluhan. Matanya tetap menatap mulut gua, berjaga. Ia tahu ini belum berakhir.

Kalmi berbaring tak jauh. Wajahnya pucat, tapi untuk pertama kali sejak lama, matanya menyimpan secercah cahaya—cahaya harapan.

Johan berdiri. Tatapannya menyapu wajah-wajah yang kelelahan namun masih bernyawa. Suaranya tenang, meski getir menggantung di ujung nada.

“Gua ini cukup aman... Untuk sekarang.”

“Kita istirahat di sini. Tapi jangan nyalakan api. Jangan tinggalkan jejak. Jangan buat suara.” Ia menarik napas. “Aku akan cari sesuatu untuk dimakan. Kita butuh tenaga.”

Liana menoleh, suaranya lembut tapi mengandung tekad baja. “Kita harus tetap tak terlihat. Jika mereka menemukan jejak kita... maka semua ini sia-sia.”

Dan malam pun berlalu perlahan. Dalam dingin gua yang sunyi, di tengah luka dan ketakutan, tumbuh seutas harapan. Mereka belum selamat. Tapi untuk pertama kalinya, mereka tahu arah jalan pulang: ke tempat di mana manusia tak lagi diperbudak, dan jiwa mereka tak lagi dirantai oleh rasa takut.

1
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!