Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34.Rumah yang Tidak Perlu Dijaga
Hari libur Athaya dimulai tanpa alarm.
Bukan karena lupa bangun, tapi karena ia sengaja mematikannya malam sebelumnya. Ponselnya dibiarkan tergeletak di meja samping tempat tidur—tanpa notifikasi prioritas, tanpa pengingat rapat. Untuk pertama kalinya, Athaya mengizinkan dunia berjalan tanpa dirinya mengendalikan setiap detail.
Pagi di mension terasa berbeda. Lebih hidup, tapi tidak menekan.
Ruang makan dipenuhi suara—gelas yang bersentuhan, langkah kaki, obrolan yang saling tindih. Rajendra duduk di ujung meja, membaca berita dengan tenang. Revan di seberangnya, menyesap teh hangat sambil sesekali tersenyum mendengar perdebatan kecil anak-anaknya.
Mahesa dan Galen membahas topik ringan yang biasanya akan berubah serius. Arsaka melontarkan candaan receh. Elena dan Alesha tertawa kecil, saling menyela tanpa beban.
Athaya duduk di tengah semua itu.
Tidak memimpin. Tidak mengarahkan. Tidak memperbaiki.
“Kamu gak ke kantor?” tanya Rajendra akhirnya, nada suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Athaya menggeleng. “Ambil libur, daddy.”
Revan mengangkat pandangan dari cangkirnya. “Libur beneran?”
“Iya, papiku sayang.”
Jawaban itu membuat Revan tersenyum kecil. Tidak lebar, tapi cukup untuk menunjukkan ia lega.
Sarapan berlangsung lebih lama dari biasanya. Athaya bahkan ikut membantu membereskan piring—gerakannya cekatan, tidak kaku. Alesha memperhatikannya dengan alis terangkat.
“Kamu kebiasaan di dapur ya?” godanya.
“Dulu pas di cam..."jawab Athaya singkat. “Sebelum semuanya jadi rumit dan hancur.”lanjutnya
Siang hari, Athaya memilih menyendiri di ruang belakang mension—ruangan yang jarang ia gunakan. Dindingnya dipenuhi lukisan lama, sebagian besar karyanya sendiri. Ia membuka lemari kayu, mengeluarkan kanvas kosong dan kotak cat minyak yang kelihatan sudah lama tak di sentuh.
Begitu kuas menyentuh kanvas, gerakannya langsung pasti.
Tidak ada ragu. Tidak ada coba-coba.
Sapuan warnanya tegas, komposisinya matang. Athaya melukis dengan teknik yang jelas—perpaduan cahaya dan bayangan tertata rapi, ekspresi wajah terbentuk perlahan tapi hidup. Ini bukan kegiatan pengisi waktu. Ini sesuatu yang pernah ia dalami dengan serius.
Wajah yang muncul di kanvas adalah Gio.
Sorot matanya lembut, tubuhnya sedikit condong, satu tangan bertumpu di perutnya. Athaya menambahkan detail kecil—bayangan halus di bawah mata, garis bahu yang menegang, cahaya hangat yang jatuh dari samping.
Ia mundur selangkah, menatap lukisan itu lama.
“lumayan,” gumamnya pelan. “Gw tenang.”lanjutnya
Sore hari, Elena lewat dan berhenti di ambang pintu. Ia menatap lukisan itu cukup lama tanpa bicara.
“Kamu gak pernah kehilangan sentuhan sama sekali” katanya akhirnya.
Athaya tidak menoleh. “Gw cuma berhenti bentar bukan selamanya.”
Malam menjelang, Athaya berpindah ke ruang musik kecil. Piano hitam berdiri di sudut ruangan. Ia duduk, membuka penutupnya, lalu mulai bermain.
Nada pertama mengalir mulus.
Bukan lagu sederhana. Komposisinya kompleks, dengan perubahan dinamika yang halus. Jarinya bergerak cepat tapi terkontrol. Setiap nada terdengar bersih, penuh emosi, seolah ia sedang bercerita tanpa kata.
Revan berdiri di balik pintu, mendengarkan tanpa mengganggu.
Saat Athaya selesai, Revan masuk pelan. “Kamu masih sehebat itu.”
Athaya tersenyum kecil. “aku gak pernah berhenti main.”
“Hanya berhenti nunjukkin ke kita,” balas Revan lembut.
Athaya mengangguk.
Malam itu, Athaya duduk di balkon, memandang langit yang bersih. Tidak ada jadwal esok hari. Tidak ada kewajiban yang mengejar.
Dan untuk pertama kalinya, rumah ini tidak terasa seperti markas.
Rumah ini terasa… rumah.
-bersambung-