NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

07_Makan malam

Asher meletakkan kantong-kantong belanjaan itu di meja dapur dengan rapi. Ia tidak banyak bicara—gerakannya cepat, efisien, seolah ia sudah terbiasa membantu pekerjaan rumah seseorang.

Lauren berdiri tidak jauh, menggenggam kompres dingin yang baru saja ia ambil dari lemari es. Perutnya mengencang oleh rasa gugup yang bahkan ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya.

Ia mendekat perlahan.

“Asher…” panggilnya pelan.

Asher menoleh. “Ya?”

Lauren menatap lebam kebiruan di lengan itu dan mengambil napas. “Boleh aku lihat tanganmu sebentar?”

Asher melihat lengannya, lalu kembali memandang Lauren. “Ini? Nggak apa-apa kok.”

“Tetap saja… aku penyebabnya. Jadi izinkan aku mengompresnya.”

Nada Lauren lembut namun tegas. Ia ingin ia mengatakannya tanpa terdengar terlalu khawatir, tapi kekhawatirannya terlalu jelas.

Asher ragu sejenak, lalu mendekat dan duduk di kursi. “Kalau kamu memaksa… boleh.”

Lauren duduk di depan Asher, jarak mereka hanya sejangkauan tangan.

Pelan-pelan ia memegang pergelangan tangan Asher—kulitnya hangat dan terasa kuat di bawah sentuhan Lauren.

Begitu kompres dingin menyentuh lebam itu, Asher hanya berkedip sedikit.

Lauren fokus pada pekerjaannya. “Sakit?”

“Nggak.”

Suara Asher rendah, hampir seperti bisikan.

Lauren menatap lebam itu tanpa berani mengangkat pandang. Asher justru menatap Lauren dengan intens—hinggi membuat udara di antara mereka terasa berubah.

Hening panjang menyusup, sampai Asher memecahnya.

“Kamu selalu gini?” tanya Asher tiba-tiba.

Lauren mengangkat kepala sedikit bingung. “Gini bagaimana?”

“Asal perhatian ke orang yang hampir nggak kamu kenal?”

Lauren tersenyum kecil. “Kamu menolongku, Asher. Bukan hal kecil. Aku cuma… merasa harus memastikan kamu nggak terluka.”

“Hm.”

Asher menatapnya lama—sangat lama—sampai Lauren merasa tidak tenang.

“Kamu tahu?” lanjut Asher pelan, “nggak semua orang bakal peduli kayak gini.”

Lauren tersipu, menunduk lagi. “Aku cuma… berterima kasih.”

“Asal kamu tahu,” Asher menyandarkan punggung ke kursi, matanya tetap menatap Lauren, “aku nggak apa-apa. Dan aku bukan anak kecil.”

Lauren mengerjap.

“Aku nggak bilang kamu anak kecil.”

“Tapi kamu lihat aku seperti itu.”

Lauren terkejut. “Tidak! Maksudku bukan… Asher, kamu sudah dewasa. Hanya saja… kamu jauh lebih muda dariku.”

Asher mengangkat satu alis. “Itu bukan masalah bagiku.”

Jantung Lauren berdetak lebih cepat.

Ia baru sadar jarinya masih memegang pergelangan tangan Asher. Wanita itu cepat-cepat melepasnya dan menarik diri.

“Selesai.” Lauren berdiri dengan kikuk. “Semoga lebamnya cepat hilang.”

Asher tetap duduk, menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak. “Kalau semua orang kayak kamu, lebam bukan masalah.”

Lauren hampir tersedak napasnya sendiri.

“A-apa maksudmu?”

Asher berdiri perlahan—tingginya membuat Lauren harus mendongak sedikit saat melihatnya.

“Maksudku… kamu baik.”

Lauren merasakan wajahnya memanas. “Aku… hanya melakukan apa yang seharusnya.”

Asher memiringkan kepala sedikit. “Jadi kamu akan selalu melakukan ini kalau aku terluka?”

Lauren membuka mulut, bingung harus menjawab apa. “Asher…”

“Candaan,” ucap Asher akhirnya, meski senyumnya tipis dan matanya sama sekali tidak terlihat bercanda.

Lauren berusaha tertawa, meski terdengar gugup. “Jangan bercanda seperti itu. Aku jadi bingung.”

Asher menatapnya lembut. “Lauren.”

“Ya?”

“Terima kasih.”

Lauren mengangguk kecil, sambil menatap kompres di tangannya untuk menghindari tatapan itu. “Sama-sama.”

Hening lagi. Kali ini lebih nyaman, meski tetap ada ketegangan halus di udara.

Setelah beberapa detik berpikir, Lauren memberanikan diri mengangkat wajah.

“Asher,” panggilnya pelan.

Asher menoleh cepat, seolah menunggu Lauren bicara sejak tadi.

“Hmm?”

Lauren menelan ludah. Ini ide impulsif, tapi… ia ingin melakukannya.

“Kalau… kalau kamu tidak keberatan…”

Ia mengatur napas.

“Sebagai tanda terima kasih… maukah kamu makan malam di rumahku? Malam ini?”

Asher mematung. Matanya melembut perlahan.

“Kamu ngajak aku makan malam?” suaranya rendah, hampir tak terdengar.

Lauren mengangguk kecil. “Iya. Maksudku… tidak ada yang mewah. Tapi aku merasa harus membalas kebaikanmu.”

Asher menatapnya lama—pandangan yang sulit ditebak antara bingung, tersentuh, atau sesuatu yang lebih dalam.

Kemudian, bibirnya terangkat sedikit dalam senyum kecil.

“Baik,” jawab Asher pelan. “Aku datang.”

_____

Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB ketika Lauren menata mangkuk terakhir di atas meja makan. Aroma sup ayam hangat bercampur kecap manis dan lada memenuhi ruangan, memberi kesan rumah yang rapi dan damai—sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Lauren menatap jam—sekilas gugup.

“Aku harap dia datang…”

Ding dong.

Bel berbunyi.

Jantungnya terlonjak.

Lauren merapikan rambutnya cepat-cepat lalu berjalan ke pintu. Ia membuka pintu… dan di sana berdiri Asher.

Pemuda itu mengenakan celana olahraga hitam dan kaus abu-abu sederhana, rambutnya masih sedikit basah seperti baru saja mandi. Cahaya lampu teras membuat mata abu-abu Asher terlihat lebih tajam namun tenang.

“Hai,” sapa Lauren dengan senyum kikuk.

“Hai,” jawab Asher pelan, tangannya berada di saku celana. “Aku nggak terlambat, kan?”

“Tidak… tepat waktu.”

Lauren mempersilakan Asher masuk. Pemuda itu melangkah masuk dengan diam, matanya menyapu ruangan rumah yang hangat namun sunyi. Lauren menutup pintu pelan, lalu memimpin Asher menuju meja makan.

Mereka duduk di kursi saling berhadapan.

Hening sejenak.

Lauren mengambil napas. “Terima kasih sudah datang.”

Asher menyandarkan siku di meja. “Kamu yang ngajak. Aku cuma menepati janji.”

Lauren terkekeh kecil. “Iya, tapi… aku takut kamu berubah pikiran.”

Asher menatapnya lama, tanpa berkedip. “Aku nggak pernah berubah pikiran soal hal-hal yang… aku mau.”

Lauren cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk mengambil sendok. Pipinya panas.

Ia mendorong salah satu piring ke arah pemuda itu. “Silakan dicoba. Semoga kamu suka.”

Asher mengambil sendok, mencicipi sedikit.

Ia diam. Terlalu diam.

Lauren menunggu dengan tegang—takut rasanya tidak enak.

Sampai Asher menelan dan berkata:

“Ini enak.”

Suara rendah yang nyaris berat.

“Sangat enak.”

Lauren mengembuskan napas lega sambil tersenyum lembut. “Syukurlah.”

Mereka makan beberapa menit dalam keheningan nyaman, sampai Asher bertanya:

“Kamu selalu makan sendirian?”

Pertanyaan itu sederhana, namun menusuk tepat di tempat yang paling tidak ingin Lauren sentuh.

Lauren terdiam sejenak. “…Sering.”

“Asal kamu tahu,” potong Asher sambil memutar sendoknya, tatapannya tajam, “kamu nggak pantas makan sendirian.”

Lauren mendongak. “Asher… kamu bicara apa?”

“Aku cuma bilang apa yang aku lihat.”

Asher menyandarkan punggung, menatapnya lama.

“Kau kerja seharian di rumah, masak, beres-beres… dan pada akhirnya kamu makan sendirian. Itu nggak adil.”

Lauren menghela napas, tidak tahu harus tersenyum atau marah. “Kadang… hidup memang tidak adil.”

Asher menunduk sebentar, jari-jarinya mengetuk meja. Lalu ia bertanya pelan:

“Suamimu pulang jam berapa biasanya?”

Lauren terdiam.

“Entahlah,” jawabnya lembut. “Tergantung.”

“Tergantung apa?”

Nada Asher berubah dingin.

“Tergantung pekerjaannya.”

“Hm.” Asher menatapnya tajam, seolah tahu lebih dari yang Lauren katakan.

Lauren cepat mengganti topik. “Bagaimana kuliahmu hari ini?”

Asher hanya mengangkat bahu. “Sama seperti biasa.”

“Sibuk?”

“Tidak juga.”

Asher melirik Lauren, sudut bibirnya terangkat sedikit.

“Kalau kamu tanya, aku selalu punya waktu.”

Untuk pertama kalinya di malam itu, Lauren memilih tidak menanggapi.

Jantungnya terlalu cepat.

Di luar, angin malam berhembus pelan, menabrak jendela.

Di dalam rumah, hanya suara peralatan makan yang saling beradu dan detak waktu yang terasa begitu lambat.

Setelah beberapa menit, Lauren berkata:

“Asher, terima kasih… sudah mau datang. Aku tahu makan malam bersama tetangga yang jauh lebih tua darimu mungkin bukan hal yang menarik.”

“Siapa bilang?” Asher menunduk sedikit, menatapnya lewat bulu mata.

“Aku suka.”

Lauren menggigit bibir bawahnya, berusaha menyembunyikan rasa gugup.

“Kalau kamu tidak keberatan… mungkin kita bisa makan bersama lagi lain waktu,” lanjut Lauren hati-hati.

Asher berhenti makan.

Ia meletakkan sendok.

Menatap Lauren tanpa berkedip.

“Kamu serius?”

“Iya. Maksudku, kalau kamu mau. Kamu selalu terlihat… sendirian juga.”

Alis Asher terangkat pelan. Ada sesuatu di matanya—tak dapat dibaca, antara senang dan sesuatu yang lebih gelap.

“Kalau itu permintaanmu,” bisik Asher perlahan,

“aku datang kapan pun.”

Lauren merasakan hatinya bergetar tanpa alasan.

.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!