NovelToon NovelToon
MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

MY FORBIDDEN EX-BOYFRIEND

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah dengan Musuhku / Cinta Terlarang / Murid Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Enemy to Lovers
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.

Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.

My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15

Aula utama Universitas Baratha dipenuhi oleh gemuruh rendah ratusan suara. Udara ber-AC bercampur dengan aroma parfum mahal dan harapan. Podium megah dihiasi logo kampus, dikelilingi bendera. Di barisan depan, duduk para dosen dan petinggi kampus, termasuk Dekan Toto dan sang pemilik yayasan, Adi Sadewo.

Kemudian, seorang wanita berwibawa dengan rambut tersanggul rapat dan kacamata baca, berdiri mendekati mikrofon. Dia adalah Prof. Dr. Elizabeth Marta, M.Sc., Rektor Universitas Baratha.

"Selamat pagi dan salam prestasi untuk kita semua," sambutnya, suaranya jelas dan berotoritas, memancarkan ketenangan yang langsung membuat audiensium hening. Setelah sambutan tentang kemajuan kampus, dia tersenyum. "Dan pada kesempatan yang membanggakan ini, kita akan menganugerahkan penghargaan untuk Mahasiswa Berprestasi Terbaik tingkat universitas."

Dia kemudian menyebut sebuah nama yang membuat seluruh ruangan mendecak kagum. "Dia adalah sosok yang namanya sudah tidak asing lagi di tiap kompetisi nasional, pembawa harum nama Baratha. Rayyan Albar dari Fakultas Teknik Elektro!"

Sambutan riuh menggema. Sorak-sorai dan tepuk tangan membahana saat Rayyan melangkah maju. Dia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam yang bersih, kontras dengan jas almamater yang dikenakannya. Wajahnya yang tampan terlihat tenang di bawah sorot lampu, bagai sebuah patung marmer yang indah dan tak tersentuh kegembiraan.

Prof. Elizabeth menjabat tangannya dengan hangat. "Selamat, Nak. Prestasimu sangat membanggakan." Kemudian, giliran Adi Sadewo, S.E., M.B.A., Ketua Yayasan Baratha Jaya, yang maju. Dengan senyum bangga seorang pemimpin, dia menyerahkan sebuah amplop tebal—simbol beasiswa dan insentif yang lebih besar.

"Terima kasih, Pak. Terima kasih, Ibu Rektor," ucap Rayyan dengan suara rendah namun terdengar jelas, membungkuk dengan hormat sebelum menerima piala dan amplop itu. Tatapannya tetap sama, dingin dan misterius, bahkan di puncak kejayaannya.

Dari antara kerumunan, di kursi barisan khusus tak jauh dari podium, sepasang mata indah memandangnya dengan perasaan yang jauh dari kekaguman. Jessy Sadewo. Dia duduk dengan postur tegang, tangan terkepal di atas pangkuannya. Dia memperhatikan setiap tepuk tangan, setiap senyum bangga dari ayahnya, setiap pujian yang dilontarkan untuk Rayyan.

Kenapa pria itu tak menyukainya? hati Jessy berdesir sakit. Atau kenapa Rayyan tak pura-pura saja menyukainya? Dia adalah Jessy Sadewo. Anak pemilik kampus ini. Setiap pria lain akan merangkak untuk mendapat senyum darinya. Tapi Rayyan? Dia sama sekali tidak tertarik. Setiap penolakannya seperti pisau yang mengukir luka baru di jiwa Jessy yang rapuh. Dia kesal, marah, tapi anehnya, dia tak bisa membenci pria itu. Justru, keinginannya untuk memiliki Rayyan, untuk membuatnya akhirnya menyerah dan jatuh ke pelukannya, semakin membara seperti obsesi yang tak terkendali.

"Kalau nggak sama gue," bisiknya dalam hati, suara batinnya penuh dengan posesif yang gelap, "lo nggak boleh sama yang lain. Kecuali gue udah bosen sama lo."

---

Begita acara usai dan kerumunan mulai bubar, Jessy langsung beraksi. Dia menyusuri koridor kampus yang masih ramai, matanya menyapu setiap sudut. Dimana Rayyan biasanya berada? Pikirannya langsung bekerja. Jika bukan di perpustakaan, pasti di laboratorium.

Dia membuka pintu laboratorium elektro yang sepi. Dan benar, di sana, di balik sebuah meja kerja yang penuh dengan komponen elektronik, duduk Rayyan. Pria itu sedang asyik memeriksa papan sirkuit, piala dan amplop hadiahnya tergeletak tak terurus di samping tasnya.

"Rayyan..." panggil Jessy, suaranya sedikit gemetar, mencoba menutupi keraguannya.

Rayyan hanya menengok sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya, tidak menjawab.

"Rayyan. Aku mau ngomong," desis Jessy, langkahnya mendekat.

"Ngomong aja," balas Rayyan, singkat dan datar, tanpa mengangkat kepalanya.

Jessy menarik napas. "Hari ini kamu harus ke rumah lagi. Belajar private lagi," perintahnya, mencoba terdengar percaya diri.

Rayyan akhirnya mengangkat kepalanya, sebuah alisnya terangkat. "Bukannya kamu udah nggak mau?" sindirnya, mengingatkan kata-kata Jessy yang terakhir.

Wajah Jessy memerah. "Kemarin aku cuma lagi liburan! Nggak mungkin kan kamu ke rumah kalau aku nggak ada," bantahnya, mencari alasan yang terdengar masuk akal.

Rayyan terdiam. Dia menatap Jessy sejenak, matanya yang tajam seolah bisa melihat langsung melalui kebohongannya. Kemudian, dengan ekspresi yang tak terbaca, dia kembali menunduk, menyibukkan diri dengan kabel-kabel di tangannya.

Kesabaran Jessy habis. "Kok diem? Kamu mau, kan? Kamu nggak boleh nolak!" serunya, suaranya sedikit melengking, mencoba memaksakan keinginannya seperti biasanya.

Ada jeda yang membuat tegang. Udara di lab yang berbau solder dan logam terasa semakin berat. Akhirnya, dengan suara yang hampir seperti desahan, Rayyan menjawab, "Iya..."

Itu bukanlah sebuah persetujuan yang tulus, melainkan sebuah kepasrahan, sebuah pengakuan bahwa dalam permainan kekuasaan dan obsesi ini, dia—untuk saat ini—terpaksa mengalah. Dan bagi Jessy, itu adalah kemenangan kecil yang pahit, yang justru membuat hatinya semakin terjebak dalam jerat perasaannya sendiri.

***

Jessy melangkah menuruni tangga marmer, masih sedikit kesal oleh interaksi sebelumnya dengan Rayyan. Tapi begitu sampai di ruang tamu, pemandangan yang tak terduga membuatnya terpaku.

Di sofa leather yang luas, Rayyan tidak sedang sendirian. Gio, adiknya yang berusia SMA, duduk bersila di lantai karpet, wajahnya berseri-seri penuh kekaguman. Di depan mereka, sebuah robot mainan canggih yang sebelumnya diam, kini bergerak-gerak dengan sempurna, lampu-lampunya berkedip.

"Mas Rayyan hebat banget bisa benerin robot aku!" puji Gio, matanya berbinar. "Aku beli robot ini di Jepang dan limited edition. Sudah bawa ke beberapa tempat servis, nggak ada yang bisa."

Rayyan, yang biasanya dingin, justru terlihat santai dan ramah di hadapan Gio. Senyum kecil yang tulus menghiasi bibirnya. "Iya, cuma masalah konektor di board utamanya yang longgar. Kalau ada perlu apa-apa lagi, ngomong aja sama Mas," ujarnya dengan suara lembut yang jarang Jessy dengar.

Perasaan cemburu yang irasional langsung menyergap Jessy. Rayyan tidak pernah bersikap seperti itu padanya.

"Jangan gangguin dia, Gio!" seru Jessy tiba-tiba, suaranya tajam memotong keharmonisan mereka.

Gio melompat kaget. "Aku nggak gangguin kok, Kak. Iya kan, Mas?" dia memandang Rayyan meminta dukungan.

"Udah, sana pergi!" usir Jessy, tidak mau mendengar penjelasan.

Gio mendekatkan wajahnya ke Rayyan dan berbisik, cukup keras agar Jessy masih bisa mendengar, "Kok Mas Rayyan mau sih sama Kak Jessy? Dia kan galak."

Rayyan terlihat bingung. "Mau?" ujarnya, tidak memahami maksud Gio.

"Mau jadi pacar Kak Jessy," bisik Gio lagi, polos.

"Hei!" Jessy langsung mendekat dan menarik telinga adiknya, wajahnya memerah karena malu dan marah. "Dibilang suruh pergi!"

"Sakit, Kak!" Gio mengaduh.

"Kamu kasar banget sih," ujar Rayyan, suaranya datar namun penuh celaan.

Mendengar komentar itu langsung dari mulut Rayyan, Jessy buru-buru melepaskan Gio seolah tangannya tersengat listrik. "Udah, sana!" desisnya pada Gio.

"Aku bilangin Mami nanti!" ancam Gio sebelum akhirnya berlari keluar ruangan.

---

Suasana di paviliun belakang kali ini terasa berbeda. Udara sore yang hangat membawa aroma melati dari taman. Keduanya duduk di gazebo, buku-buku statistik terbentang di meja. Kali ini, Jessy tidak duduk terlalu dekat. Dia menjaga jarak yang sopan.

Yang membuat Rayyan sedikit terkejut, Jessy mengeluarkan laptop pemberiannya dari tasnya. Dia menyalakannya dengan hati-hati. "Kita pakai ini aja, biar lebih cepet," ujarnya, suaranya terdengar... normal. Tidak manja, tidak memerintah.

Jessy sendiri merasa senang saat melihat sekarang rayyan mau menggunakan laptop pemberiannya.

Jessy mencoba mengingat-ingat saran dari AI. "Tunjukkan ketertarikan yang tulus pada minat dan dunianya."

Saat Rayyan menjelaskan sebuah rumus, Jessy mendengarkan dengan saksama. Dia tidak menyela atau mengeluh. Dia bahkan mengangguk, meski mungkin tidak sepenuhnya paham. Dia mencoba untuk tidak menggoda, tidak menyentuh, dan bersikap serius. Senyumnya kecil dan natural, bukan senyum kemenangan atau senyum genit yang dipaksakan.

Rayyan, yang sudah bersiap menghadapi Jessy yang biasa, justru merasa semakin tidak nyaman. Ketenangan ini janggal. Kepatuhan ini mencurigakan. Dia merasa seperti sedang diawasi oleh versi lain dari Jessy yang tidak dikenalnya.

Setelah sekitar setengah jam dalam 'ketenangan' yang aneh itu, Rayyan tidak tahan lagi. Dia menutup buku dengan suara agak keras.

"Kamu kenapa sih?" ujarnya, memandang Jessy dengan mata menyipit penuh selidik.

Jessy terkesiap. "Hah? Kenapa?"

"Aneh banget," gumam Rayyan, lebih kepada dirinya sendiri.

Wajah Jessy langsung berubah. "Aneh?!" dia tersinggung, suaranya kembali sedikit melengking. Eksperimen 'bersikap baik'-nya langsung runtuh. "Kamu bilang aku aneh?"

"Maksud aku, sikap kamu," jelas Rayyan, masih mencoba memahami.

"Aku lagi berusaha baik, kamu malah bilang aneh," gerutu Jessy, rasa kesalnya kembali muncul. "Apa lagi selain aneh?"

Dia berdiri, rasa frustrasinya memuncak. Daripada berpura-pura, lebih baik dia bertindak. Dengan gerakan dramatis, dia mengibaskan rambutnya dan mendekatkan wajahnya ke arah Rayyan hingga hanya berjarak sejengkal. Mata hazelnya yang indah menatap langsung ke dalam mata Rayyan yang gelap.

"Begini aneh?" tantangnya, suaranya rendah dan menggoda, kembali ke karakter aslinya.

Rayyan tertegun. Dari dekat seperti ini, setiap detail kecantikan Jessy terpampang jelas. Garis alisnya yang sempurna, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan berparas. Aroma parfumnya yang mahal dan memabukkan memenuhi indranya. Dia bisa merasakan napas hangat Jessy. Jantungnya berdetak kencang, berdebar di dalam rongga dadanya, sebuah reaksi fisik yang tak bisa dibohonginya. Darah berdesir panas di bawah kulitnya.

Dia buru-buru memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan kegugupannya yang tiba-tiba. Tapi itu sudah terlambat. Jessy telah melihatnya. Dia melihat bagaimana mata Rayyan membesar sesaat, bagaimana pupilnya membesar, dan bagaimana dia dengan cepat menghindar.

Sebuah senyum kecil yang penuh kemenangan dan kepuasan akhirnya merekah di bibir Jessy. Aha! batinnya. Waktunya balas dendam. Rayyan Albar yang dingin dan misterius itu ternyata tidak kebal. Dia hanya menyembunyikannya dengan sangat baik. Dan Jessy bertekad untuk mengungkap setiap lapisan pertahanan itu, satu per satu.

***

Sesi belajar mereka berakhir persis ketika langit di luar jendela kaca paviliun berubah kelabu, dan butiran hujan besar mulai menghujam kaca dengan suara berdebum. Hujan lebat yang tak terduga, khas Jakarta, mengubah taman belakang menjadi lautan kabut dan genangan air dalam sekejap.

"Pulangnya nanti aja. Hujan," ujar Jessy, suaranya terdengar alami, tanpa maksud tersembunyi, sambil menatap ke luar.

Rayyan terdiam. Pikirannya yang analitis bekerja cepat. Dia tidak membawa jas hujan. Motornya yang tua pasti akan kewalahan menerobos hujan sebesar ini. Dan yang paling berisiko—laptop barunya, yang menjadi nyawa bagi proyek-proyeknya, bisa terkena cipratan air dan rusak parah. Keputusan yang paling logis adalah menunggu.

"Kita makan dulu aja," ajak Jessy lagi, memanfaatkan situasi.

"Nggak usah, Jes. Aku bisa makan di rumah," tolak Rayyan, rasa sungkannya muncul. Dia sudah merasa terlalu banyak berhutang budi—atau lebih tepatnya, dipaksa menerima—dari keluarga ini.

Tapi Jessy sudah berdiri. "Kamu harus cobain masakan aku," ujarnya, dengan keyakinan yang membuat Rayyan penasaran.

Jessy bisa masak? batin Rayyan, skeptis. Anak manja yang segala sesuatu bisa dibeli dengan uang ini, benar-benar bisa mengolah makanan? Rasa penasarannya mengalahkan keengganannya.

Dia mengikuti Jessy menuju dapur utama rumah yang luas. Ruangan itu lebih mirip dapur profesional di restoran bintang lima—bersih, berkilau dengan peralatan stainless steel, dan memiliki puluhan alat masak yang mungkin tidak Rayyan kenali.

Tapi yang mengejutkannya, begitu Jessy berdiri di hadapan kompor, sebuah transformasi terjadi. Gerakannya menjadi penuh keyakinan. Dia mengambil apron berbahan kain linen halus dan mengikatnya dengan cekatan. Tangannya yang biasanya hanya terlihat memegang ponsel mahal atau tas branded, kini dengan lincah memotong bawang putih dan bawang bombay. Irisannya rapi dan seragam, menunjukkan teknik yang dipelajari, bukan asal-asalan.

Rayyan diam-diam memperhatikannya. Dia melihat bagaimana Jessy menggoreng pancetta sampai garing dengan sempurna, bagaimana dia mengaduk adonan carbonara dengan suhu yang tepat agar telur tidak menggumpal, dan bagaimana dia memasak pasta hingga mencapai tingkat al dente yang ideal. Setiap gerakannya efisien dan penuh percaya diri, seperti seorang konduktor yang memimpin orkestra. Aroma bawang putih yang ditumis, keju parmesan, dan daging asap mulai memenuhi dapur, menciptakan sebuah simfoni wangi yang menggugah selera.

"Belajar masak di mana?" tanya Rayyan akhirnya, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Suaranya terdak lebih lunak dari biasanya.

Jessy tersenyum kecil, fokusnya tidak teralihkan dari wajan. "Aku minta Mami panggil chef ke rumah buat ajarin aku masak," jawabnya sambil terus mengaduk.

"Kenapa mau belajar masak?" tanya Rayyan, masih tidak percaya bahwa gadis yang serba dimanja ini mau repot-repot belajar keterampilan domestik.

"Dari kecil aku emang suka masak kok," jawab Jessy sederhana, seperti itu adalah fakta yang paling biasa di dunia. "Nggak semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Rasanya beda."

Kalimat terakhir itu menyentuh sesuatu dalam diri Rayyan. Itu adalah pernyataan yang paling tidak dia duga akan keluar dari mulut Jessy Sadewo.

Tak lama kemudian, dua piring spaghetti carbonara disajikan di meja makan marmer yang kecil di sudut dapur. Penampilannya sempurna—kriminya mengkilap, pancettanya renyah, dan taburan parsley segar di atasnya.

"Cobain," ujar Jessy, dan sebelum Rayyan bisa bereaksi, dia sudah menyuapkan sepit berisi pasta ke mulut Rayyan.

Rayyan terkejut, matanya membelalak. "Aku bisa sendiri," protesnya, suaranya terdengar agak serak dan wajahnya memerah.

Tapi rasa itu sudah menyebar di lidahnya. Dan itu adalah sebuah kejutan yang lebih besar lagi. Carbonara itu... luar biasa. Kriminya halus dan tidak terlalu berat, rasa keju parmesannya gurih dengan sempurna, pancettanya memberikan sentuhan asin dan renyah, dan pastanya matang tepat pada waktunya. Ini bukan sekadar "enak". Ini adalah hidangan yang dibuat dengan keterampilan dan—yang paling mengejutkan—hati.

Bahkan masakan ibunya, yang selalu dia anggap yang terenak, untuk sesaat tergantikan oleh kenikmatan yang baru saja dia cicipi.

"Enak?" tanya Jessy, matanya berbinar penuh harap dan sedikit keraguan, sebuah ekspresi yang sangat jujur dan jarang terlihat padanya.

Rayyan menelan suapannya. Dia tidak bisa berbohong. Dengan anggukan yang sangat halus, hampir tak terlihat, dia menjawab, "Enak."

Hanya satu kata dan sebuah anggukan. Tapi bagi Jessy, itu seperti memenangkan sebuah medali emas. Senyumnya melebar, cerah dan tulus, menghangatkan ruangan yang dingin akibat hujan.

Mereka lalu makan dalam keheningan yang nyaman, berbeda dari ketegangan yang biasanya menyelimuti mereka. Suara hujan yang terus menerjang di luar menjadi soundtrack yang menenangkan. Rayyan memandangi Jessy di seberang meja. Gadis ini penuh dengan paradoks. Dia sombong tapi rapuh, ceroboh tapi pemberani, manja tapi ternyata memiliki keterampilan yang mengesankan. Sebuah perasaan baru mulai menggerogoti dinding pertahanannya—rasa hormat. Dan mungkin, hanya mungkin, sesuatu yang lebih lembut dari itu.

Hujan masih belum reda, tapi di dalam dapur mewah itu, sebuah permulaan baru yang hangat justru lahir.

1
Sweet Girl
Bak Dewa Yunani.🤣
Sweet Girl
Kenapa Elu diem aja klo tau dr awal... malah jadi penonton sampai selesai.
jangan cuma bisa nyalahin orang aja, Elu juga salah cuma jadi penonton, Ndak malah bantuin ibunya.
Masitah Zuliani
lanjuutttty kak thorrrr
buat emaknya Rayyan luluh donk thorrrrr
Marlipus Cr Ronal
bagus itu Rayyan
Marlipus Cr Ronal
baguslah kalau begtu
Marlipus Cr Ronal
laki2 bodok
Marlipus Cr Ronal
laki2 bodok
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
terimakasih kak triple up nya...
ceritamu emang secandu ini yaa kak ..
Nona Lebah: Spam. Komen yang banyak kak. Yang panjang biar aku semangat heheheh
total 3 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
harus nunggu besok lagi yaa😄
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
ayo kejar rayyan
IndahMulya
lanjut thor.. segerakan satukan mrka lagi
Al Ghifari
lanjut seru banget
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
kok blm up kak🤭
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
gemes bgt sama Rayyan...kpn berjuang nya yaa...😄
IndahMulya
thor dikit banget, ga puas bacanya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Rayyan berjuang dongggg
IndahMulya
gedeg banget sama ibunya rayyan
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
Arsya mundur Alon Alon aja yaaa...udah tau kan Rayyan cinta nya sama Jessy...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
mengsedih.begini yaa...
kudu di pites ini si ibu Maryam
Naura Salsabila
lemah amat si rayyan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!