Shaqila Ardhani Vriskha, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berada di ujung kewarasan.
Enam belas kali skripsinya ditolak oleh satu-satunya makhluk di kampus yang menurutnya tidak punya hati yaitu Reyhan Adiyasa, M.M.
Dosen killer berumur 34 tahun yang selalu tampil dingin, tegas, dan… menyebalkan.
Di saat Shaqila nyaris menyerah dan orang tuanya terus menekan agar ia lulus tahun ini,
pria dingin itu justru mengajukan sebuah ide gila yang tak pernah Shaqila bayangkan sebelumnya.
Kontrak pernikahan selama satu tahun.
Antara skripsi yang tak kunjung selesai, tekanan keluarga, dan ide gila yang bisa mengubah hidupnya…
Mampukah Shaqila menolak? Atau justru terjebak semakin dalam pada sosok dosen yang paling ingin ia hindari?
Semuanya akan dijawab dalam cerita ini.
Jangan lupa like, vote, komen dan bintang limanya ya guys.
Agar author semakin semangat berkarya 🤗🤗💐
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rezqhi Amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Istri
Ruang makan keluarga Adiyasa selalu tampak hangat bagi siapa pun yang berkunjung, lampu kuning lembut, aroma sup ayam yang menguap dari dapur, dan rak kayu penuh foto masa kecil yang berjejer sepanjang dinding. Namun bagi Reyhan malam itu, suasananya terasa seperti ruang interogasi.
Ia bahkan belum sempat meletakkan tas ketika suara ibunya, Melati menyambutnya dengan nada yang terlalu antusias untuk hari yang melelahkan. "Reyhan, mama sudah siapkan makanan. Kamu harus makan banyak. Kamu terlihat makin kurus."
Reyhan menghela napas halus. “Perasaan badanku begini-begini aja ma,"
Ayahnya , Wijaya menatap tajam dari ujung meja. Pria itu berusia enam puluhan, sosok disiplin yang membuat Reyhan tumbuh menjadi pria yang perfeksionis. Rambutnya sudah memutih di beberapa bagian, tapi sorot matanya masih setajam dulu.
"Kamu pasti tidak baik-baik saja," katanya sambil meletakkan koran. "Kantong matamu makin dalam. Satu hari nanti kesehatanmu menurun, dan kamu belum memiliki istri untuk mengurusmu."
Reyhan mengusap lehernya, mencoba menahan letih yang menguasai tubuh.
"Pa, Reyhan tidak memilikinya waktu untuk itu saat ini. Universitas sedang banyak kasus. Aku harus menyelesaikan laporan. Banyak mahasiswa yang butuh—"
"Mahasiswa, mahasiswa, mahasiswa!" ibunya memotong dengan suara naik.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini. Usiamu sekarang sudah tiga puluh empat tahun. Lihat teman-teman sebayamu, mereka sudah menikah. Bahkan anak mereka ada yang sudah sekolah," ucap Melati lagi.
"Kalau kamu punya keluarga, punya anak dan istri maka kamu akan memiliki semangat baru dalam bekerja. Kamu juga memiliki tujuan hidup yang baru," lanjutnya
Reyhan mengangkat tatapannya perlahan.
"Ma ta-"
"Kamu kira Mama nggak malu sama keluarga besar? sepupu-sepupu kamu yang umurnya bahkan dibawah kamu sudah punya anak dua, bahkan ada yang mau punya anak ketiga!" potong Melati.
Ayahnya mengangguk. "Kamu ini seorang dosen, berprestasi, gaji besar, pekerjaan tetap. Masa tidak ada yang mau sama kamu."
Reyhan menghela napas panjang, menekan pelipisnya.
Percakapan ini sudah seperti kaset rusak yang terus diputar.
'Pa, Ma… pernikahan bukan sekadar memilih. Dulu aku pernah—"
"Kamu jangan bawa masa lalu lagi!" Melati menunjuk menunjuk dengan sendok sup
"Kamu harus bangkit!"
Pundak Reyhan menegang.
Perempuan itu.
Luka itu.
Pengkhianatan yang membuatnya begitu dingin, begitu menjaga jarak dari siapa pun terutama perempuan yang mencoba mendekat.
Ayahnya melanjutkan dengan nada lebih pelan, tapi tetap keras. "Kami bukan memaksamu untuk jatuh cinta sekarang juga. Kamu bisa mulai pelan-pelan. Kenalan dulu, mamamu sudah siapkan beberapa calon—"
"Tidak." Reyhan langsung memotong.
Ibunya memicingkan mata.
"Sudah berapa kali mama lakukan hal ini, selalu menyomblangiku dengan beberapa gadis seperti diriku tidak laku saja," protes Reyhan.
"Lalu apa? apa kamu memiliki pilihan lain?" tanya Melati.
Wanita itu menahan napas dramatis, "kamu tidak pernah membuka hati, Reyhan. Tidak ada perempuan yang berani mendekati kamu. Bahkan Mahasiswa di kampus saja menghindarimu."
Hening seketika menyelimuti ruangan.
'Reyhan… mama tahu kamu pernah terluka. Tapi bukan berarti kamu harus menutup hidupmu selamanya. Perjalananmu masih panjang nak. Masa generasi keluarga kita hanya sampai pada kamu, bukan anak cucumu," ucap Melati dengan nada rendah.
Reyhan memijat pangkal hidung.
"Ma, Pa… saat ini Reyhan sedang sibuk. Ada banyak mahasiswa yang harus Reyhan bimbing untuk skripsi. Lain kali saja bahas hal ini."
"Kamu selalu punya alasan pekerjaaaan!" ibunya berseru.
"Pekerjaan tidak akan memeluk kamu saat kamu pulang malam. Pekerjaan tidak akan mengurus kamu saat kamu jatuh sakit. Pekerjaan tidak akan ada ketika kamu…. ketika kamu sudah tidak kuat!"
Nada suaranya bergetar di akhir kalimat, dan Reyhan tahu mamanya menahan tangis.
Reyhan menelan ludah, tenggorokannya terasa kering saat melihat mamanya menangis karena dirinya.
Melati menatapnya lekat.
"Mama hanya ingin kamu bahagia. Itu saja!"
Reyhan ingin mengeluarkan tawa sinis, tapi ia menahan diri.
Bahagia? kata yang selalu terasa terlalu jauh untuk dijangkau.
"Kalau kamu tidak suka mama pilihkan perempuan, kamu bisa cari sendiri. Perempuan yang bisa menemani kamu. Bukan cuma saat suka tapi juga disaat duka. Perempuan yang bisa kamu jadi rumah untuk pulang saat lelah," ucap Melati. Kali ini suaranya cukup tenang.
Reyhan menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, dan melepasnya perlahan.
Papanya menimpali dengan nada tegas. "Kami beri kamu waktu satu bulan. Kalau kamu tidak bertemu seseorang, mau tidak mau kamu harus menikah dengan perempuan yang dipilih mamamu. Keputusan papa sudah bulat. No tawar menawar."
Reyhan langsung menegakkan tubuh.
Reyhan membeku.
Melati menyentuh lengan suaminya. "Pa… jangan terlalu keras."
"Ini untuk kebaikannya, ma. Pokoknya keputusan papa sudah bulat." Jawab Wijaya mantap.
Reyhan mengepalkan tangan, kukunya hampir menusuk kulit.
Satu bulan?
Menikah?
Yang benar saja, itu bukan waktu yang lama. Satu bulan, tiga puluh hari dan dia harus menikah dengan pilihannya. Sedangkan untuk saat ini dia tidak memiliki pilihan. Hidupnya di habiskan untuk mengajar di Universitas Harapan.
Reyhan mengusap wajahnya pelan, mencoba mengumpulkan sisa-sisa logika yang masih terselamatkan dari serangan orang tuanya. Suap sup ayam yang masih mengepul di meja tiba-tiba terasa seperti hukuman. Ruang makan itu berubah menjadi kotak sempit yang menekan dadanya.
"Pa… Ma…" Reyhan berdeham, suaranya serak.
"Kalian tidak bisa memaksakan ini tanpa memikirkan kondisiku."
Wijaya mengangkat alis, "kondisimu apa? sibuk? semua orang sibuk, Reyhan. Bedanya, mereka tetap punya kehidupan pribadi yang wajar, sedangkan kamu tidak."
Reyhan mengatup rahangnya, jemarinya mengepal di pangkuan.
"Reyhan... maksud kami baik. Umur kami semakin tua, kami tidak akan bisa selamanya mengurusmu. Ada saatnya kami dipanggil oleh sang pencipta. Dan sebelum hal itu terjadi kami hanya ingin memastikan bahwa kamu sudah memiliki keluarga." ucap Melati.
Perkataan itu membuatnya tersentuh. Ia sudah bisa menangkap maksud dari orang tuanya. Namun permasalahannya ia belum siap untuk berumah tangga.
Ia masih ingin bebas menikmati pekerjaannya tanpa ada tuntutan peran lain.
Pria itu sudah beres dengan makanannya. Ia berdiri lalu mengambil tasnya yang tadi belum sempat ia simpan di kamar.
"Reyhan ke kamar dulu."
"Reyhan—"
"Mama…" Reyhan memotong, tapi kali ini suaranya sangat lembut. "Tolong biarkan aku sendiri dulu. Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini."
Tanpa menunggu jawaban, Reyhan keluar dari ruang makan, langkahnya panjang tapi berat seakan setiap jejaknya menambah tekanan lain di dadanya.
Begitu pintu kamarnya tertutup, ia bersandar pada kayu dingin itu dan menutup mata rapat-rapat.
Satu bulan.
Mencari seseorang?
Untuk menikah?
Ia ingin tertawa pahit, tapi suaranya malah pecah menjadi desahan frustrasi.
Karena frustasi ia mengacak-acak rambutnya.
Hai hai hai besti-bestiku,
Gimana kabar kalian hari ini😅
Seperti biasa author minta dukungan kalian ya😅
Jangan lupa tinggalkan jejak🤗🤗
tapi bener juga sih instruksi dan kata-kata tajamnya itu.. skripsi itu mengerti apa yang dikerjakan😌