Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Pertemuan Tak Terduga
“Ridwan…” panggil Surya pelan, matanya menatap lekat pria yang berdiri di hadapannya.
“Surya…” jawab Ridwan dengan nada tak kalah pelan.
Tanpa memperdulikan orang di sekeliling, keduanya saling melangkah maju lalu berpelukan erat. Seolah melepas rindu yang sudah lama terpendam, raut kaku di wajah mereka perlahan berubah menjadi senyum bahagia.
Revan yang sedari tadi berdiri di belakang ayahnya hanya bisa terdiam. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi dari cara ayahnya dan tuan rumah berpelukan, jelas keduanya memiliki hubungan yang dekat.
“Apa mungkin… mereka pernah saling kenal? Kalau benar, semoga ini pertanda baik,” batin Revan penuh harap.
Wajah Sonya dan Fatma tampak ikut bahagia menyaksikan pertemuan itu, sementara Miranda hanya diam, ekspresi wajahnya sulit ditebak.
Setelah beberapa saat, Ridwan dan Surya melepaskan pelukan mereka. Keduanya masih saling menatap, dan tidak ada kata yang lepas dari bibir keduanya, seolah tak percaya bisa bertemu kembali setelah sekian lama.
“Sudah, sudah… nostalgianya nanti disambung lagi,” sela Fatma lembut. “Sekarang ayo kita masuk dulu.”
“Oh, iya, maaf, maaf,” ucap Ridwan cepat sambil tersenyum. “Ayo, silakan masuk.” lanjutnya sambil mempersilakan para tamu menuju ruangan yang telah disediakan.
Kini semua tamu telah duduk di tempat masing-masing. Suasana sempat hening beberapa saat, Surya mulai membuka pembicaraan dengan nada tenang namun penuh wibawa.
“Ridwan, Fatma… maafkan kedatangan kami yang terkesan mendadak ini. Niat kami datang malam ini adalah untuk melamar putri kalian, Eliana Salsabila, untuk putra kami, Revan Dikta Wijaya. Kami datang dengan niat tulus dan penuh kesungguhan, semoga maksud baik kami diterima oleh kalian.”
Ridwan menatap Surya, kemudian menunduk sebentar, senyumnya tipis dan terlihat tulus.
“Terima kasih, Surya. Saya dan Fatma menyambut baik niat baik kalian. Tapi walau bagaimanapun jawaban atas niat kalian biarlah putri kami langsung yang menjawab nya. Karena dialah yang akan menjalani hubungan ini. Bu, tolong panggilkan putri kita!”
Fatma mengangguk lembut, lalu berdiri.
“Permisi sebentar,” ujarnya sopan sebelum berjalan menuju kamar Eliana.
Sebelum masuk. Fatma mengetuk pintu terlebih dahulu, lalu membuka pintu kamar dengan hati-hati. Terlihat, Eliana sedang duduk di depan cermin, sementara Nadia sibuk merapikan jilbab sahabatnya.
“Sayang, waktunya sudah tiba,” ucap Fatma lembut.
Eliana menatap ibunya lewat pantulan cermin, wajahnya terlihat gugup.
“Iya, Bu…” jawabnya pelan, lalu berdiri.
Malam itu Eliana tampak begitu anggun. Ia mengenakan gamis biru muda dari bahan satin lembut dengan detail payet halus di bagian lengan dan dada. Jilbab senada membingkai wajahnya, menambah kesan lembut dan tenang. Kilau sederhana dari anting mutiara kecil di samping jilbabnya membuat penampilannya tampak sempurna.
Di sisi Eliana, Nadia berdiri dengan senyum lebar, memberi dukungan penuh pada sahabatnya.
“Kamu kelihatan cantik banget malam ini, El,” bisiknya sebelum mereka keluar kamar.
Eliana melangkah perlahan ke ruang tamu, wajahnya menunduk menahan degup jantung yang semakin kencang. Semua mata kini tertuju padanya.
Ia duduk di antara ayah dan ibunya. Ridwan menatap lembut putrinya, lalu berkata dengan suara pelan tapi jelas.
“Nak, keluarga dari Revan datang malam ini dengan niat baik. Mereka ingin melamarmu untuk menjadi pendamping hidup putra mereka. Ayah ingin kamu langsung yang memberikan jawaban."
Eliana menelan ludahnya pelan, lalu mengangkat sedikit wajahnya. Tatapannya berkeliling. Di seberang sana ia melihat Revan bersama kedua orang tuanya, juga seorang wanita yang tak lagi muda. Wajahnya terasa tidak asing bagi Eliana. Ada pula dua pria yang tampak sebaya dengan Revan, mungkin sahabat atau rekan kerjanya, dan beberapa orang pembawa seserahan.
Di sisi lain, Sonya. Tampak menatap Eliana dengan tatapan lembut. Ia tiba-tiba teringat pada gadis yang pernah menolongnya saat berbelanja tempo hari.
“Ternyata dia gadis itu…” pikir Sonya dengan senyum penuh syukur. “Ternyata Revan tidak salah pilih, semoga ia menerima lamaran cucuku.”
Sedangkan Miranda, yang duduk disebelah Surya memerhatikan Eliana dengan tatapan penuh selidik. Tapi ia mengakui kecantikan gadis itu
“Cantik memang… tapi tetap Celin yang pantas jadi menantuku.” gumam Miranda dalam hati.
Eliana menarik nafas perlahan, setelah merasa tenang. Dengan suara pelan namun mantap, ia berkata,
“Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin Allah dan restu Ayah Ibu, saya menerima lamaran Revan Dikta Wijaya.”
“Alhamdulillah,” seru para yang hadir serempak penuh syukur. Dan memenuhi ruangan
Surya kemudian berdiri, menyodorkan tangan nya kearah Ridwan seraya menyerah kan sesuatu.
“Ini, mohon diterima sedikit seserahan dari kami sebagai tanda keseriusan putra kami. Semoga membawa berkah untuk kedua keluarga.”
"Terimakasih, InshaAllah. Semoga Allah meridhoi." Ucap Ridwan sambil menerima pemberian Surya.
Sela yang duduk disudut ruangan, menatap bergantian wajah Revan dan seserahan yang tadi diserahkan untuk Eliana. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu.
“Yang begini dibilang sedikit… bagaimana yang banyaknya?” bisik salah satu tamu yang berada diruangan itu.
Sedangkan Revan tak bisa menahan senyum, wajahnya tampak jauh lebih hangat dari biasanya. Eliana pun ikut tersenyum malu-malu sambil menunduk. Entah mengapa, ada rasa lega dan bahagia yang tak bisa dijelaskan.
Tiba-tiba, terdengar deheman pelan dari Surya.
“Ehem… sudah, Revan. Kalian belum halal, jaga matamu itu,” candanya, membuat semua orang tertawa kecil, termasuk Sonya yang menepuk pelan bahu cucunya.
Surya kembali bersuara, kali ini dengan nada santai.
“InshaAllah, kalau tidak ada halangan, pertunangan akan di adakan lusa di gedung Wijaya Ballroom. Semoga semuanya berjalan lancar.”
Ridwan mengangguk setuju.
“Revan sudah menyampaikan hal itu sebelumnya, InshaAllah kami siap, Surya.”
Acara lamaran yang sederhana tapi penuh makna itu pun berakhir dengan jamuan makan malam. Suasana hangat, obrolan akrab, dan tawa kecil mengiringi suasana makan mereka.
Di tengah santapan mereka, Surya menatap Ridwan dengan senyum lebar.
“Aku benar-benar tidak menyangka, Wan. Takdir Allah sangat indah. Kita dipertemukan kembali… lewat anak-anak kita.”
Ridwan mengangguk haru.
“Kamu benar, Surya. Siapa sangka setelah sekian lama tidak bertemu. Sekali nya dipertemukan, kita bukan hanya sekedar sahabat. InshaAllah kita akan menjadi besan.”
Eliana yang tidak tau kejadian tadi menatap ayahnya dengan bingung, sementara Revan langsung menyadari, ternyata papa dan ayahnya Eliana adalah sahabat lama.
“Itulah takdir,” sela Sonya bijak. “Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan. Ia tau yang terbaik untuk hamba-Nya.” Sonya lalu melirik Miranda yang masih diam sejak tadi. “Bukan begitu, Mira?”
Miranda tersentak kecil, lalu tersenyum cepat.
“Iya, Ma… tentu saja.”
Miranda sebisa mungkin bersikap biasa saja, agar ketidak sukaannya pada hal ini tidak terbaca.
Begitu semua acara selesai, Revan dan keluarga nya berniat untuk langsung pulang ke kota. Mereka pun saling berpamitan.
"Ridwan, kami semua pulang dulu. Terimakasih atas sambutan kalian, dan maaf jika ada Kesalahan maupun kekurangan dari kami. Dan ditunggu kedatangan kalian besok."Surya mewakili rombongan berpamitan pada Ridwan.
"Terimakasih kembali Surya. Kami pun begitu, maaf jika ada kekurangan dalam penyambutan ini. InshaAllah besok kami akan berangkat setelah Zuhur." Ucap Ridwan sambil merangkul Surya.
Kini Revan dan kedua keluarga nya sudah dalam perjalanan pulang. Revan melihat dengan jelas jika mamanya tidak seantusias papa dan neneknya, tapi Revan tidak mempermasalahkannya. Revan berharap lambat laun mamanya akan menerima wanita pilihannya.