SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Hitam di Pagi yang Suci
🍰 2009, Pagi (Revisi Fokus)
Pagi di tanggal 13 Januari 2009. Sinta, yang baru berusia 12 tahun namun sudah cekatan, berdiri bersama keluarganya di teras Toko Donat "Rezeki Halal." Sambil menunggu Adam membuka gembok, Sinta tak sabar ingin segera menguleni adonan.
(Monolog Batin Sinta): Aku harus bisa membuat donat lubang sempurna hari ini. Ibu bilang, donat yang sempurna adalah donat yang jujur. Aku ingin jujur pada rezeki yang Allah berikan.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Adam pelan setelah pintu terbuka.
Keluarga itu segera berhambur masuk. Sinta dan Ida langsung menuju dapur, sementara Adam dan Alim (usia sekitar 17 tahun) sibuk merapikan etalase dan meja.
Pelanggan Pertama dan Peringatan
Belum lama Sinta mulai membuat bulatan adonan di samping Ida, seorang wanita paruh baya, pelanggan setia, masuk.
"Assalamualaikum, Bu Ida," sapa pelanggan itu sambil tersenyum ramah.
Ida tersenyum membalas. "Waalaikumussalam, Bu Rima. Alhamdulillah, pagi-pagi sudah mampir. Mau donat yang mana hari ini?"
Bu Rima menunjuk etalase. "Saya ambil satu saja, Bu. Yang gula halus ini." Ia mengeluarkan uang. "Saya ingin mencicipi manis yang murni di pagi hari. Donat Rezeki Halal ini selalu pas, tidak berlebihan manisnya. Semoga rezeki Ibu dan keluarga selalu semanis donat ini, Bu, berkah dan tidak pernah habis."
Ida menerima uang itu dengan kedua tangan dan mengembalikannya. "Aamiin ya Rabbal Alamin. Terima kasih banyak, Bu Rima. Semoga langkah kaki Ibu hari ini selalu berada di jalan yang diridai, dan kebaikan Ibu dibalas berlipat ganda."
Bu Rima mengangguk dan segera pamit.
Saat Bu Rima keluar, Alim yang sedang menata kursi di teras toko, matanya terpaku pada sosok yang datang dari arah berlawanan.
Seorang bapak-bapak, bertubuh kurus, mengenakan pakaian serba hitam—jubah panjang, tas selempang usang, kacamata gelap, dan songkok hitam yang menutupi dahinya. Sosoknya tampak asing, seperti keluar dari dimensi waktu yang berbeda.
Mata Alim dan mata bapak itu bertemu sejenak. Alim merasakan dingin menjalar di punggungnya, meski udara pagi terasa hangat. Bapak itu kemudian melangkah masuk ke dalam toko. Ia tidak langsung menghampiri etalase, melainkan hanya berdiri di ambang pintu, matanya menyapu seluruh ruangan: Sinta dan Ida yang tertawa kecil di dapur, serta Adam yang sedang menghitung kembalian.
Alim berusaha mengatasi rasa takutnya. Ia mendekati pria itu.
"Assalamualaikum, Bapak," sapa Alim ramah, menawarkan senyum profesionalnya. "Silakan, Pak. Kami punya donat gula, cokelat, dan keju yang baru matang. Mau yang mana? Dijamin halal dan dibuat dengan cinta."
Pria berjubah hitam itu tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, sangat dalam, seperti orang yang baru saja menahan napas terlalu lama. Bau tanah dan dupa yang samar menguar dari tubuhnya.
"Kamu..." Suaranya serak dan berat, seperti batu yang bergesekan. "...Jangan. Keluar. BAHAYA!"
Alim menyipitkan mata, kebingungan. "Maaf, Pak? Bahaya apa? Maksud Bapak—"
Pria itu memotong cepat, nadanya berubah menjadi ancaman penuh misteri.
"Kalau kamu ingin berada di dalam kubur yang damai, dan TIDAK disiksa... lebih baik kamu dan keluargamu TINGGAL di dalam sini. Jangan keluar. Dunia di luar sana... sudah terlalu kotor."
Alim hendak bertanya lagi, namun pria itu berbalik cepat, melangkah keluar toko tanpa menoleh lagi.
Ledakan yang Menghancurkan
Di luar toko, tiba-tiba terdengar keramaian yang tidak biasa. Rupanya banyak orang mulai mengerumuni kios pasar.
Ida dan Adam, yang melihat Alim terlihat syok setelah berbicara dengan pria misterius itu, segera keluar untuk mengalihkan pikiran Alim dan sekaligus mempromosikan donat mereka. Sinta ikut berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan ke arah keramaian.
Adam maju selangkah. "Ayo Bapak-Bapak, Ibu-Ibu! Donat Rezeki Halal! Baru matang, masih hangat! Sarapan berkah untuk hari yang berkah!"
Ida menambahkan, sambil mengangkat loyang, "Khusus hari ini, beli tiga gratis satu! Jangan biarkan perut lapar mengganggu fokus ibadah dan kerja keras Anda!"
Alim, yang masih terpaku pada sosok pria berjubah hitam yang sudah menghilang di keramaian, merasakan firasat buruk yang hebat.
Tiba-tiba, dari tengah keramaian pasar yang riuh, terdengar suara lantang dan menyeramkan.
DENGAN NAMA TUHAN!!!!!
DUARRRTTT!
Ledakan yang sangat dahsyat dan memekakkan telinga merobek udara pagi. Api dan asap hitam seketika menyembur, diikuti pecahan kaca, kayu, dan puing-puing toko yang hancur. Guncangan kuat menghantam segalanya.
Semua yang ada di dalam toko, di luar toko, dan mobil-mobil di sekitarnya hancur luluh lantak dalam sekejap.
Sinta dan Alim yang masih berada di ambang pintu, terpental keras ke dalam puing-puing sisa Toko Rezeki Halal. Tubuh kecil mereka tertutup debu, telinga mereka berdenging tajam. Mereka hanya bisa terkesima, syok, dan memandang lurus ke depan—ke tempat Ayah dan Ibu mereka berdiri, yang kini hanya tersisa reruntuhan dan asap tebal.🚨 Pasca Tragedi
Dunia Sinta dan Alim kini hanya berupa warna abu-abu. Debu dan bau mesiu.
Mereka selamat, namun bukan tanpa luka. Sinta mengalami memar parah dan luka gores di lengan, sementara Alim mengalami trauma pendengaran ringan akibat dentuman yang mematikan. Beberapa jam setelah tragedi yang menghancurkan Toko "Rezeki Halal" dan menewaskan puluhan orang, Sinta dan Alim berada di sebuah ruang interogasi kecil di kantor polisi setempat.
Meskipun baru berusia 12 tahun, raut wajah Sinta tampak datar, kosong tanpa ekspresi. Matanya menatap lurus ke meja besi dingin di depannya, seolah jiwanya sudah melayang jauh bersama asap ledakan tadi.
Sebaliknya, Alim terlihat sangat tegang. Ia menggenggam tepi kursinya, napasnya tersengal, dan air mata yang mengering meninggalkan jejak lumpur di pipinya.
Seorang petugas polisi dengan wajah lelah masuk ke ruangan. Ia membawa sebuah bungkusan plastik berisi sepotong kecil kain hitam yang terbakar sebagian.
"Kami minta maaf atas musibah yang menimpa kalian, Nak," ujar polisi itu dengan nada simpatik, ditujukan terutama pada Alim. "Tapi kami harus profesional. Alim, apa kamu ingat orang yang kau ajak bicara tadi? Pria berjubah hitam itu."
Polisi itu meletakkan bungkusan di meja. "Ini... kami temukan tidak jauh dari lokasi. Mirip tas selempang yang dikenakan pria itu. Apa kamu ingat dia memberikan sesuatu, atau menitipkan barang?"
Alim menggeleng cepat, air matanya kembali membasahi pipi. "Enggak, Pak. Saya cuma nawarin donat. Dia cuma bilang... cuma bilang jangan keluar toko. Dia bilang bahaya..." Suara Alim tercekat.
Saat Alim mulai terisak, Sinta, yang sejak tadi membisu, tiba-tiba memotong dengan suara yang dingin dan ketus, tanpa sedikit pun perubahan ekspresi di wajahnya yang kotor.
"Udah, Pak. Enggak ada apa-apa lagi. Cuma itu saja."
Polisi itu terdiam, terkejut melihat ketenangan yang mengerikan dari anak 12 tahun yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya.
Tiba-tiba, dari kejauhan—mungkin dari ruang penyimpanan barang bukti atau gudang—terdengar suara benda berat jatuh yang cukup nyaring. DUAR!
Alim terlonjak dan menutup telinganya, tubuhnya gemetar.
Sinta? Dia bahkan tidak berkedip. Ekspresinya masih sama tanpa ekspresi.
Polisi itu menghela napas panjang. Ia mengambil bungkusan plastik itu kembali. "Baiklah. Kami akan lanjutkan proses identifikasi jenazah orang tua kalian. Kalian bisa menunggu di luar, Nak." Ia pun segera keluar ruangan.
Pelampiasan Amarah dan Trauma
Begitu pintu tertutup, semua pertahanan Sinta seolah runtuh, namun bukan menjadi tangisan. Dia berdiri, mencengkeram rambutnya yang acak-acakan.
"Aku dongkol banget! Ngapain banget aku lama-lama di sini?! Menyebalkan!" bentaknya keras. Ia menendang kaki meja dengan frustrasi.
Alim menatap kakaknya, air mata deras membasahi kerah bajunya. Ia mendekati Sinta, ingin mencari perlindungan.
"Kak... Sinta..." Alim merangkul kaki kakaknya, suaranya parau dan penuh ketakutan. "Kita mau ke mana? Ibu sama Bapak... udah enggak ada. Toko kita aja udah rusak, Kak!"
Bukannya menghibur, Sinta malah menghampiri adiknya dan mengomelinya dengan suara tinggi.
"Diem, Lim! Jangan cengeng! Ayah sama Ibu selalu bilang kita harus kuat! Kamu enggak lihat aku? Aku enggak nangis!" Sinta menarik paksa dirinya dari pelukan Alim. "Kamu kenapa sih nangis mulu?! Cuma nangis! Itu enggak akan mengembalikan mereka, tahu!"
(Monolog Batin Alim): Aku takut. Aku cuma punya Kak Sinta sekarang. Kenapa Kak Sinta seperti ini? Dia seperti tidak peduli. Dia tidak merasakan sakit yang sama?
Sinta mendorong Alim pelan. Ia tidak tahan lagi berada di dalam ruangan yang menyesakkan itu. Ia berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar kantor polisi.
"Aku pulang!" putus Sinta.
Jalan Pulang yang Menyeramkan
Jalanan menuju rumah mereka adalah jalan yang sama yang dilewati menuju pasar, kini berubah total. Polisi memasang garis kuning, tetapi Sinta melewatinya begitu saja.
Ia berjalan di samping puing-puing sisa ledakan. Pemandangan itu jauh lebih buruk dari yang dibayangkan. Reruntuhan, asap tipis, dan bau anyir yang tajam menyerang hidungnya.
Di situ banyak sekali... mayat. Mayat-mayat yang sudah tidak lagi berbentuk manusia utuh. Tubuh-tubuh yang hancur, tergeletak tak berdaya.
Sinta terus berjalan, berusaha untuk tidak melihat, berusaha menjaga ekspresi datarnya. Namun, ia tidak melihat ada genangan besar di depan kakinya. Itu adalah genangan tebal, pekat... darah.
Sinta kepeleset di genangan darah itu. Tubuhnya terpelanting, dan ia jatuh keras. Matanya terbelalak saat sadar ia jatuh menimpa mayat seseorang yang tubuhnya remuk. Darah dan daging segar menempel di pipi dan lengannya.
Barulah saat itu, pertahanan mental Sinta runtuh. Bukan karena takut akan darah atau mayat, tetapi karena kenyataan yang tak terhindarkan itu menempel langsung di kulitnya.
Ia menjerit kecil, bukan jeritan ketakutan, melainkan jeritan jijik dan kaget. Sinta segera bangun dengan tergesa-gesa, mengusap-usap pakaiannya dengan panik. Tanpa menoleh lagi, tanpa menunggu Alim, Sinta terus pulang ke rumahnya, lari sekencang-kencangnya, meninggalkan kekacauan, trauma, dan adiknya sendirian di kantor polisi.