Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan di Balik Tirai Putih
Kadang, bahaya datang bukan dengan suara pedang atau sihir, tapi dengan langkah pelan dan senyum lembut yang terlihat terlalu sempurna.
Aku baru sadar itu malam ini — malam ketika istana kembali bergetar oleh rahasia.
Sudah beberapa hari sejak aku tahu tentang Lady Reina, tunangan Akira yang meninggal tujuh tahun lalu.
Aku berusaha tidak memikirkannya, tapi wajahnya muncul di setiap sudut pikiran — wajah yang tak pernah kulihat tapi seolah menghantui langkahku.
Dan mungkin… aku mulai mengerti kenapa Akira sering menatapku dengan cara yang aneh.
Bukan karena aku dari dunia lain, tapi karena aku mengingatkannya pada seseorang yang pernah ia cintai.
Hari itu, istana sedang mempersiapkan upacara perayaan kecil untuk merayakan kemenangan kecil pasukan barat.
Aku duduk di taman sambil membantu Yuna menyortir bunga putih untuk dekorasi.
“Kenapa semuanya harus putih?” tanyaku sambil mengeluh.
“Karena warna putih itu suci,” jawab Yuna. “Dan katanya, untuk mengundang keberuntungan.”
“Putih juga warna duka, tahu.”
Yuna terdiam sebentar. “Iya, tapi di istana ini… susah bedain mana pesta, mana pemakaman.”
Aku tertawa kecil. “Kau benar juga.”
Saat itulah aku melihat Akira berjalan bersama seseorang — wanita berkimono putih, rambut panjang hitam, langkahnya anggun tapi matanya dingin.
Aku berdiri tanpa sadar. “Siapa itu?”
Yuna ikut menoleh, lalu berbisik pelan, “Itu… Lady Reina.”
Aku menoleh cepat. “Apa? Tapi—”
“Dia memang sudah meninggal,” bisik Yuna cepat. “Tapi Permaisuri bilang wanita itu datang dari biara utara. Katanya mirip sekali dengan Lady Reina… sampai semua orang terpana.”
Jantungku berdetak kencang.
Mereka berjalan melewati taman, dan untuk sesaat, mata kami bertemu.
Tatapan wanita itu membuat bulu kudukku berdiri — dingin, tapi familiar, seperti déjà vu.
Dia tersenyum samar padaku sebelum melanjutkan langkah.
“Dia bahkan tersenyum kayak hantu,” gumam Yuna.
Aku hanya bisa diam.
Malamnya, pesta dimulai. Lentera putih bergantung di setiap lorong.
Musik lembut terdengar dari aula utama, dan semua bangsawan datang memakai pakaian terbaik mereka.
Aku duduk di pojok ruangan, tidak ingin menarik perhatian, sementara Akira berdiri di depan, berbicara dengan beberapa jenderal.
Lalu pintu aula terbuka.
Lady “Reina” masuk — atau siapa pun dia — dan semua orang menunduk hormat.
Kimono putihnya berkilau seperti salju, dan setiap langkahnya membuat lantai kayu seakan bergetar.
Bahkan udara di ruangan berubah dingin.
Akira menoleh, wajahnya jelas terkejut.
Wanita itu menunduk sopan. “Yang Mulia,” katanya lembut. “Sudah lama.”
Aku menatap mereka berdua.
Suasana di ruangan tiba-tiba berubah.
Bisikan mulai terdengar: “Dia hidup?” “Mungkinkah dia kembali?”*
Akira perlahan berjalan mendekat. “Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Reina,” jawabnya pelan. “Rohku tidak pernah pergi. Aku kembali… karena masih ada yang belum selesai.”
Setelah pesta bubar, aku tidak bisa tidur.
Kepalaku penuh pertanyaan.
Bagaimana mungkin seseorang yang sudah mati kembali? Apakah dia benar-benar Reina… atau sesuatu yang lain?
Aku memutuskan keluar kamar untuk mencari udara. Lorong-lorong istana sepi, hanya diterangi cahaya lentera.
Saat melewati ruang doa, aku melihat tirai putih yang menggantung bergerak pelan.
Ada bayangan di baliknya.
Aku mendekat perlahan.
Dan di balik tirai itu — Lady Reina, berdiri membelakangiku, menatap patung dewa waktu dengan tangan terlipat.
“Aku tahu kau di sana, Mika,” katanya tanpa menoleh.
Aku berhenti di tempat. “Kau tahu namaku?”
Dia berbalik perlahan. Wajahnya pucat sempurna, senyum di bibirnya tipis tapi aneh.
“Tentu saja. Namamu sering disebut Akira… dengan nada yang sama seperti dulu dia menyebut namaku.”
Aku menelan ludah. “Kau… siapa sebenarnya?”
“Aku Reina. Setidaknya, bagian dariku yang masih tertinggal.”
“Bagian?”
Dia mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. “Kau harusnya tidak ada di sini, Mika. Dunia ini bukan untukmu.”
“Aku tidak memilih datang ke sini.”
“Tapi kau tetap datang. Dan karena kau datang, semuanya berubah.”
Matanya menatap tanganku. “Tanda itu… simbol Penjaga Gerbang Waktu. Aku mengenalnya.”
“Bagaimana bisa?”
“Karena akulah alasan tanda itu muncul.”
Aku mematung.
“Dulu, sebelum aku mati, aku berdoa agar waktu bisa berbalik. Agar aku bisa hidup lagi bersama Akira.”
Dia menatapku dengan mata kosong. “Tapi waktu tidak mendengarkan doa tanpa harga. Jadi aku dikurung di antara dua dunia.”
Aku mundur setapak. “Jadi kau… roh?”
Dia tersenyum tipis. “Mungkin. Atau mungkin aku hanya kenangan yang menolak mati.”
Hening beberapa detik.
“Aku tidak ingin menyakitimu, Mika,” katanya pelan. “Tapi keberadaanmu membuka gerbang yang seharusnya tetap tertutup. Jika itu terus terbuka… dunia ini akan hancur.”
Aku menggenggam tangan kiriku yang berdenyut pelan. “Aku tidak tahu bagaimana menutupnya.”
“Kau akan tahu, saat waktunya tiba. Tapi kau harus siap membayar.”
“Bayar apa?”
“Pilihan.”
Dia mendekat sampai wajahnya hanya sejengkal dari wajahku.
“Jika kau tetap di sini, waktu akan mengambil sesuatu darimu. Dan mungkin… orang yang kau cintai.”
Aku terpaku.
“Akira?”
Dia hanya tersenyum samar, lalu berbalik dan berjalan melewati tirai putih itu.
Begitu kainnya berayun… dia menghilang.
Seperti bayangan yang ditelan malam.
Keesokan paginya, aku langsung mencari Akira.
Dia sedang di pelataran, memberi perintah pada Riku dan Ren. Saat melihatku, dia tahu ada sesuatu yang salah.
“Kau pucat. Ada apa?”
“Kita perlu bicara. Sekarang.”
Kami masuk ke ruang pribadi di menara istana. Aku menceritakan semuanya — dari kemunculan Reina sampai kata-katanya tentang gerbang waktu.
Dia mendengarkan diam-diam, tanpa memotong satu pun kalimatku.
Akhirnya dia berkata, “Aku melihatnya juga semalam.”
Aku menatapnya kaget. “Kau melihat?”
“Ya. Tapi bukan di ruang doa — di mimpi. Dia memanggilku. Dan di belakangnya… ada cahaya biru seperti pusaran waktu.”
Aku merinding. “Dia bilang waktu akan mengambil sesuatu dariku kalau aku tetap di sini.”
“Dia salah,” kata Akira cepat.
“Bagaimana bisa kau yakin?”
“Karena aku tidak akan biarkan siapa pun—bahkan waktu—mengambilmu dariku.”
Dia menggenggam bahuku, matanya serius.
“Mika, apapun yang terjadi nanti, jangan percaya pada apa pun yang datang dari tirai putih.”
“Tirai putih?”
“Simbol dunia perantara — tempat roh dan manusia bertemu. Reina mungkin bukan lagi dirinya. Dia bisa jadi hanya bayangan yang dikendalikan oleh sesuatu yang lebih gelap.”
Aku menatapnya. “Sesuatu?”
“Ya. Sihir yang dulu memusnahkan setengah kerajaan. Sihir yang sama yang kini berdenyut di tanganmu.”
Aku memejamkan mata, merasa pusing. “Jadi aku membawa bencana?”
“Tidak,” katanya cepat. “Kau membawa pilihan.”
Kami berdiri dalam diam beberapa saat.
Di luar, angin bertiup lembut, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang berat di udara — seperti badai yang menunggu waktu untuk pecah.
Aku menatap Akira. “Kalau semuanya berakhir karena aku…”
Dia memotong cepat, “Aku akan melawan takdir itu.”
Aku hampir menangis mendengarnya.
“Kenapa kau selalu bilang hal-hal seperti itu?”
“Karena kalau aku tidak bicara, kau akan mulai percaya kau sendirian.”
Dia memegang pipiku, jemarinya dingin tapi lembut.
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Mika. Tapi kalau dunia ini hancur karena kehadiranmu, maka aku akan hancur bersamamu.”
Aku tak sanggup menjawab.
Hanya menatapnya dalam, sampai satu-satunya hal yang kudengar hanyalah detak jantung kami yang bersatu dengan suara angin.
Malamnya, aku berdiri di balkon, menatap taman di mana tirai putih itu bergoyang lembut.
Bulan terlihat besar malam ini, menggantung di langit seperti mata yang diam mengamati.
Aku mendengar bisikan samar di telinga, suara lembut tapi dingin.
“Waktu tidak bisa dilawan, Mika…”
Aku menatap sekeliling, tapi tidak ada siapa pun.
Angin menerbangkan kelopak bunga plum, menari di udara sebelum jatuh ke tanah.
Dan di ujung taman, di balik tirai putih, aku melihat sosoknya lagi — Lady Reina — berdiri diam, tersenyum padaku.
Tapi kali ini, matanya bukan lagi mata manusia.
Gelap. Dalam. Seperti langit tanpa bintang.
Aku tahu saat itu juga… bayangan ini bukan sekadar kenangan.
Ia adalah peringatan.
Dan mungkin, awal dari akhir.