Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 33
“Suami?”
Amira mengulang kata itu pelan, nadanya meninggi, jelas terkejut saat mendengar Kinara menyebut orang yang menelponnya barusan.
“Iya,” jawab Kinara tegas, menatap lurus ke arah Amira.
“Suamiku.”
Rome refleks melangkah mendekat. Tangannya meraih pergelangan tangan Kinara tanpa sadar.
“Bagaimana mungkin?” suaranya bergetar. “Kamu … kamu sudah punya suami, Kinara? Selama ini aku tahu kamu berjuang sendiri. Kamu selalu sendirian,” ucapnya, jelas tak percaya.
Kinara menarik napas, lalu perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Rome. Tatapannya tenang, meski ada garis tegas di wajahnya.
“Aku pernah bilang pada Tuan Rome,” katanya pelan namun jelas. “Kalau semuanya sudah berubah.”
Rome menelan ludah.
“Aku juga pernah bilang,” lanjut Kinara, “ada seseorang yang memberiku mobil. Orang itu … ya suamiku.”
Kata-kata itu seperti tamparan.
Rome terdiam, lalu perlahan melepaskan tangan Kinara sepenuhnya. Wajahnya memucat, rahangnya mengeras, seakan kenyataan itu terlalu berat untuk diterima.
Di sisi lain, Amira tersenyum tipis, bukan senyum ramah, melainkan senyum penuh arti. Matanya mengamati Kinara dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Jadi,” ucap Amira akhirnya, suaranya halus tapi menusuk,
“kamu sudah menikah.”
Ruangan itu kembali sunyi, namun kini sunyinya terasa lebih tajam karena masing-masing dari mereka tahu, pengakuan Kinara barusan bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit.
Kinara menghela napas pelan, berusaha menjaga wajahnya tetap profesional meski jantungnya masih berdegup tak beraturan.
“Kalau memang tidak ada urusan penting lainnya,” ucapnya sambil menatap bergantian ke arah Rome dan Amira, “saya izin pulang. Hari ini hari libur saya. Seharusnya saya baru datang besok.”
Rome tersentak, seolah baru tersadar bahwa ia telah menyeret Kinara datang tanpa alasan yang benar-benar mendesak. Bibirnya terbuka, ingin berkata sesuatu, namun tak ada kata yang keluar.
Amira justru melangkah mendekat satu langkah. Senyumnya tetap terpasang, tapi kini ada sorot tajam di matanya.
“Tentu saja,” katanya ringan. “Aku hanya ingin mengenalmu, tidak lebih.”
Kinara mengangguk singkat. “Kalau begitu, izinkan saya pamit.”
Ia membalikkan badan, melangkah menuju pintu tanpa menunggu jawaban. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu ketika suara Amira kembali terdengar.
“Kinara,” panggilnya. Kinara berhenti, menoleh setengah badan.
“Suamimu…” Amira tersenyum samar. “Dia pasti pria yang sangat beruntung.”
Kinara membalas dengan senyum tipis, penuh makna.
“Dan aku juga beruntung,” jawabnya singkat.
Pintu itu pun tertutup pelan. Tinggal Rome dan Amira di dalam ruangan, terdiam dalam pikiran masing-masing Rome dengan kehilangan yang baru benar-benar ia sadari, Amira berbalik dengan wajah memerah, suaranya meninggi, tak lagi berusaha tenang.
“Jadi sekarang kamu jatuh cinta pada istri orang lain, Rome?”
Rome menatap kakaknya tajam.
“Aku benar-benar tidak tahu apa pun soal pernikahan itu,” jawabnya tegas. “Dan aku yakin Kinara tidak menikah karena cinta.”
Amira mencibir.
“Kamu terlalu membela dia.”
“Karena aku mengenalnya,” balas Rome cepat. “Kinara bukan perempuan bodoh. Dia pintar, punya harga diri. Kalau dia menikah sekarang, pasti ada alasan besar. Dan aku yakin ... dia dipaksa. Demi uang dan demi bertahan hidup.”
Amira terdiam sesaat, lalu berkata dingin,
“Bagaimanapun alasannya, dia tetap istri orang lain.”
Rome tertawa pahit.
“Sama seperti Kakak.”
Amira menoleh tajam. “Apa maksudmu?”
“Bukankah Kakak juga mengejar cinta sejati ke London,” ujar Rome tanpa ragu, “saat suami Kakak lumpuh dan terpuruk? Apa itu tidak kejam?”
Wajah Amira mengeras.
“Itu tidak sama,” bantahnya cepat. “Bagas berbeda dari Kinara. Bagas adalah cinta masa kecilku.”
Rome menggeleng.
“Tidak, Kak. Yang berbeda hanya caramu membenarkan diri sendiri.”
Amira menarik napas, emosinya mulai tak stabil.
“Aku memilih Arman dulu karena aku pikir dia mampu. Keluarganya terpandang. Hidupku akan aman. Tapi nyatanya Tante Ratna tidak pernah menyukaiku.”
Rome menyela, suaranya rendah namun menusuk,
“Karena Kakak terlalu menuntut.”
Amira menatapnya tak percaya.
“Kakak menuntut Kak Arman sukses,” lanjut Rome.
“Menuntut dia selalu membela Kakak. Menuntut rumah, status, kehidupan mapan ... saat dia sendiri sedang berjuang.”
Amira terdiam.
“Soal Arman…” ucap Amira pelan, lalu melirik ke arah jendela. “Aksa dibesarkan olehnya, bukan?”
Rome mengangguk.
“Aku menyerahkan Aksa,” kata Amira datar. “Dia memberikan sebagian hartanya asal aku pergi.”
Rome menatap kakaknya lama, matanya penuh kekecewaan.
“Kakak sadar tidak apa yang Kakak lakukan waktu itu?”
Amira terdiam.
“Kakak meninggalkan pria yang hancur,” lanjut Rome, suaranya bergetar.
“Dan sekarang aku harus jujur mengatakan sesuatu.”
Amira menoleh perlahan.
“Saat ini,” kata Rome tegas, “Kak Arman telah menjadi pria yang sangat sukses. Perusahaannya jauh lebih besar dari perusahaan farmasi ini. Bahkan dalam kondisi duduk di kursi roda ... hidupnya terlihat … bahagia. Stabil dan sangat utuh.”
Amira membeku.
“Kakak mungkin pergi lima tahun lalu,” lanjut Rome pelan,
“tapi dunia tidak berhenti menunggu Kakak kembali.”
“Dan sekarang,” kata Rome menutup pembicaraan,
“di sisinya pasti sudah ada perempuan lain.”
Amira mengepalkan tangannya. Di kepalanya, satu nama kembali menggema, nama Arman.
"Hal yang Kakak remehkan dulu, sekarang pasti sudah menjadi sosok yang dikejar banyak orang." Kata Rome berbalik ingin meninggalkan ruangannya.
"Satu lagi kak, perusahaan Farmasi dan Mission Bar, baru saja kerja sama," lanjut Rome, Amira terpaku pada kenyataan yang dia anggap tak mungkin sempurna, nyatanya kini sangat sempurna.
Awas kalau nanti ketemu dan kamu tergoda lagi dengan Amira
Enak sekali Amira ngomong ingin ketemu Aksa, setelah 5 tahun tiba2 pergi.
udah mendengar bagaimana Arman sudah sukses yg jelas jadi gatel dia...
Sekarang Arman sudah sukses, jangan harap kamu bisa kembali lagi Amira
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍