Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Mobil mewah itu berhenti di depan gerbang tinggi yang menjulang. Ara menatap takjub pada mansion megah di hadapannya.
Bangunan itu tampak seperti istana, dengan pilar-pilar besar dan taman yang luas. Ini adalah rumah Edward, pria yang akan menjadi suaminya.
Edward keluar dari mobil lebih dulu, tanpa sedikit pun menoleh pada Ara. Ia tampak dingin dan angkuh, seolah Ara hanyalah barang yang dibelinya.
Bobby berdiri tegap dengan wajah tanpa ekspresi, segera membuka pintu untuk Edward.
"Bantu dia keluar," perintah Edward singkat, tanpa menatap Bobby.
Bobby mengangguk patuh dan bergegas menghampiri Ara.
Namun, sebelum Bobby sempat membantunya, Edward sudah melangkah pergi, memasuki mansion tanpa menoleh ke belakang.
Bobby tertegun sejenak, lalu kembali fokus pada Ara. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Ara keluar dari mobil. Namun, Ara menolak bantuannya dengan halus.
"Tidak apa-apa, saya bisa sendiri," ucap Ara lirih.
Bobby menatap Ara dengan tatapan kasihan. Ia tahu, wanita ini pasti merasa sangat tidak nyaman. Ia bisa merasakan aura kesedihan yang terpancar dari Ara.
Sayangnya, Bobby tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya seorang bawahan yang harus menuruti perintah tuannya.
Ara berusaha keluar dari mobil dengan susah payah. Tongkatnya berderit di setiap hentakan. Ia merasa canggung dan malu karena keadaannya. Ia tahu, ia tidak pantas berada di tempat seperti ini.
Setelah berhasil keluar dari mobil, Ara berdiri tegak, mencoba menutupi rasa sakit dan minder yang ia rasakan. Ia menatap mansion megah di hadapannya dengan tatapan kosong.
"Mari saya antar, Nona," ucap Bobby, mencoba bersikap ramah.
Ara mengangguk dan mengikuti Bobby menuju pintu utama mansion. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara langkah kaki dan derit tongkat Ara yang terdengar.
Sesampainya di depan pintu utama, Bobby membukakan pintu untuk Ara. Ia mempersilakan Ara masuk dengan sopan.
"Silakan, Nona," ucap Bobby.
Ara mengangguk dan melangkah masuk ke dalam mansion. Ia terpukau dengan kemewahan yang terpancar di setiap sudut ruangan.
Lampu kristal besar tergantung di langit-langit, memancarkan cahaya yang gemerlap.
Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding-dinding. Furnitur-furnitur antik tertata rapi di atas karpet Persia yang lembut.
Ara merasa seperti berada di dunia lain. Dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang selama ini ia kenal. Ia merasa kecil dan tidak berarti di tempat ini.
Tiba-tiba, seorang wanita paruh baya dengan pakaian seragam menghampiri mereka. Wajahnya tampak ramah dan hangat.
"Selamat datang di mansion ini, Nona," ucap wanita itu dengan senyum tulus. "Saya Martha, kepala pelayan di sini. Mari saya antar ke kamar Nona."
Ara mengangguk dan mengikuti Martha. Mereka berjalan melewati lorong-lorong panjang yang dihiasi dengan vas-vas bunga besar. Ara terus menatap sekelilingnya dengan tatapan takjub.
"Tuan Edward sedang ada urusan di ruang kerja," ucap Martha menjelaskan. "Beliau akan menemui Nona nanti."
Ara hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa gugup dan takut. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sesampainya di depan sebuah pintu besar, Martha berhenti dan membukakan pintu untuk Ara.
"Ini kamar Nona," ucap Martha. "Jika Nona membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk memanggil saya."
Ara mengangguk dan memasuki kamar itu. Kamar itu sangat luas dan mewah, dengan tempat tidur besar, lemari pakaian yang penuh dengan pakaian-pakaian mahal, dan kamar mandi yang dilengkapi dengan bathtub jacuzzi.
Ara merasa seperti seorang putri di negeri dongeng. Namun, nyatanya ini bukanlah dongeng. Ini adalah kenyataan yang harus ia hadapi.
Ia duduk di tepi tempat tidur dan menatap dirinya di cermin besar di depannya. Ia melihat seorang gadis cacat dengan wajah pucat dan mata sembab. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
"Kau menyedihkan, Ara." gumamnya.
"Siapa yang kau bilang menyedihkan?" tanya Edward dengan nada ketus.
Ara menoleh dan buru-buru menghapus air matanya. Entah sejak kapan pria itu ada di sana.
pernah lihat film ga Thor
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul