Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: MALAM PENGAKUAN
#
Hujan turun sejak maghrib—bukan hujan biasa, tapi hujan deras yang terdengar seperti ribuan drum kecil dipukul bersamaan di atap seng warung. Petir menyambar sesekali, cahaya putih terang sebentar lalu hilang, meninggalkan kegelapan yang lebih pekat dari sebelumnya.
Elang duduk di teras kecil yang beratap—satu-satunya tempat yang teduh tapi masih bisa lihat hujan. Udara dingin menusuk kulit meskipun ia pakai jaket tebal. Di tangannya, segelas kopi yang sudah dingin tapi belum habis. Ia hanya menatap hujan dengan pikiran yang jauh—entah di Jakarta, di masa lalu, atau di tempat yang bahkan ia sendiri gak tau dimana.
Langkah kaki pelan dari belakang. Anya keluar dengan selimut tebal di bahu, membawa segelas teh hangat untuk dirinya sendiri. Ia duduk di kursi samping Elang tanpa bicara, ikut menatap hujan yang seperti tirai air di depan mereka.
Mereka diam lama—nyaman dalam kesunyian yang cuma diisi suara hujan dan petir jauh. Tapi Anya bisa rasain ada yang berat di pikiran Elang—ia bisa lihat dari cara Elang menggenggam gelas terlalu erat, dari cara rahangnya tegang, dari cara matanya menatap sesuatu yang gak ada di depan.
"Mas," akhirnya Anya bicara pelan—nyaris bisikan, tapi cukup keras untuk terdengar di atas suara hujan. "Ceritain dong masa lalu mas yang sebenarnya."
Elang tersentak sedikit, menoleh ke Anya dengan mata yang kaget. "Nya—"
"Anya tau mas punya masa lalu yang berat," Anya memotong dengan lembut, menatap Elang dengan mata yang jujur dan tanpa hukuman. "Anya tau mas lagi perang sama orang yang sakitin mas. Tapi Anya gak pernah tau detailnya. Gak tau kenapa sampai sejahat itu. Gak tau kenapa mas harus ganti identitas. Gak tau... gak tau siapa mas sebenarnya sebelum jadi Galang."
Pertanyaan itu menggantung di udara basah. Elang menatap gelas di tangannya—kopi dingin yang gak enak tapi ia gak mau buang karena Anya yang bikin. Bibirnya bergerak kayak mau ngomong beberapa kali, tapi kata-kata gak keluar.
"Mas gak harus cerita kalau mas gak mau," Anya menambahkan cepat, takut ia terlalu memaksa. "Anya cuma... Anya cuma pengen ngerti. Biar Anya bisa bantu mas dengan lebih baik."
Elang diam lama. Lalu ia taruh gelas kopi di lantai dengan pelan, condong ke depan dengan siku di lutut dan kepala di tangan—postur orang yang lelah banget, yang gak tau harus mulai dari mana.
"Gue dulu CEO," akhirnya ia bicara dengan suara yang rendah, nyaris kalah sama suara hujan. "Direktur utama perusahaan modal ventura. Garuda Investama. Gue bangun itu dari nol. Dari kantor kontrakan dua kamar di Bekasi sampai gedung di SCBD dengan ratusan karyawan."
Anya mendengarkan dengan napas tertahan, gak mau interrupt.
"Gue termuda di bidang itu. Tiga puluh dua tahun udah jadi CEO dengan valuasi perusahaan trilyunan. Semua orang ngeliatin gue—kagum, iri, apapun. Tapi gue gak peduli. Gue cuma fokus ke kerja, ke visi, ke mimpi bikin Indonesia punya lebih banyak perusahaan rintisan yang berhasil." Suaranya bergetar sedikit. "Gue punya segalanya. Uang. Status. Kekuasaan. Dan dua orang yang gue pikir paling gue percaya: Brian Mahendra dan Zara Anastasya."
Nama-nama itu keluar dengan kesulitan—kayak muntahin racun yang sudah lama mengendap di perut.
"Brian itu sahabat gue. Dari kuliah. Sama-sama kos, sama-sama makan indomie karena gak ada duit, sama-sama bermimpi punya perusahaan sendiri. Dia jadi CFO—kepala keuangan—dan gue percaya dia dengan semua transaksi, semua uang, semua keputusan finansial." Elang tertawa pahit. "Bodoh, kan? Percaya orang sampai titik buta gitu."
"Mas gak bodoh," Anya berbisik. "Mas cuma... cuma terlalu baik."
"Terlalu baik itu bodoh di dunia kayak gitu, Nya." Elang menatapnya dengan mata yang basah—gak nangis, tapi berkaca. "Dan Zara... Zara itu calon istri gue. Tiga tahun pacaran. Cantik, pintar, ngerti dunia bisnis gue. Gue udah rencana lamar dia pas perusahaan merger dengan investor besar dari Singapura. Gue pikir itu momen perfect—puncak karir, puncak kehidupan pribadi."
Hujan turun lebih deras. Petir menyambar dekat, bunyi menggelegar yang bikin Anya tersentak.
"Malam merger itu, pesta besar di Hotel Mulia. Lima ratus tamu. Champagne. Pidato. Semua sempurna sampai—" Suaranya patah. "Sampai polisi dateng. Tangkap gue di depan semua orang dengan tuduhan korupsi dan penggelapan dana lima ratus miliar. Dan bukti yang mereka punya? Dokumen dengan tanda tangan gue. Rekaman transaksi illegal atas nama gue. Semua sempurna. Semua dipalsukan."
Anya menutup mulut dengan tangan, mata melebar dengan shock.
"Brian yang rencanain semuanya," Elang melanjutkan dengan suara yang makin serak. "Dia falsuin dokumen, dia bayar orang jadi saksi palsu, dia atur semuanya selama dua tahun tanpa gue tau. Dan Zara? Zara udah selingkuh sama Brian setahun sebelum itu. Mereka berdua—dua orang yang gue cintai paling banyak di dunia—mereka kompor untuk jatuhkan gue. Ambil perusahaan gue. Dan pas gue ditangkap, Zara berdiri di samping Brian, pegang tangannya, dan bilang—" Napasnya tercekat, "—dia bilang dia butuh pria pemenang. Dan gue udah kalah."
Air mata jatuh—Elang gak coba sembunyiin lagi. Air mata panas yang udah ditahan bertahun-tahun, air mata yang di penjara gak boleh keluar karena nangis itu kelemahan, air mata yang sekarang keluar karena ada seseorang yang bener-bener dengerin tanpa hukuman.
"Gue dipenjara tiga tahun. Vonis awal tujuh tahun, tapi dikurangin. Dan di penjara itu—" Suaranya gemetar hebat, "—gue kehilangan semua. Reputasi gue. Nama gue. Mimpi gue. Bahkan harapan gue untuk hidup. Setiap hari gue bangun di sel kecil itu, mikirin kenapa gue gak mati aja. Kenapa gue harus terus bernapas kalau hidup cuma siksaan."
Anya menangis sekarang—air mata mengalir deras di pipi tapi ia gak berusaha lap, cuma mendengarkan dengan seluruh hati yang remuk.
"Makanya mas balas dendam?" tanyanya dengan suara yang bergetar hebat. "Karena sakit hati? Karena mereka ambil semua dari mas?"
Elang mengangguk pelan. "Bukan cuma sakit hati, Nya. Mereka hancurkan hidup gue. Mereka bikin semua orang pikir gue jahat. Mereka ambil perusahaan yang gue bangun dengan keringat dan darah. Mereka... mereka ketawa di atas penderitaan gue. Dan sekarang mereka hidup mewah dengan uang yang mereka curi dari gue. Mereka harus bayar. Mereka harus ngerasain apa yang gue rasain—kehilangan, pengkhianatan, penjara. Semua."
Keheningan yang berat—lebih berat dari hujan, lebih berat dari petir. Anya menatap Elang dengan mata penuh air mata dan sesuatu yang lebih kompleks: kasihan yang bercampur dengan pengertian yang bercampur dengan kesedihan yang dalam.
Lalu ia geser kursinya lebih dekat, tanpa bilang apa-apa ia raih tangan Elang yang dingin dan gemetar—genggam erat dengan kedua tangannya yang kecil dan hangat.
"Aku ngerti kenapa mas marah," bisiknya dengan suara yang penuh empati. "Aku ngerti kenapa mas pengen balas. Kalau Anya di posisi mas, Anya mungkin juga gak tau harus gimana selain pengen orang-orang itu menderita. Tapi mas—" Ia angkat tangan Elang, tekan ke pipinya yang basah air mata, "—dendam gak akan bikin mas bahagia. Dendam cuma akan bikin mas makin gelap. Makin jauh dari cahaya. Makin jauh dari... dari Elang yang asli, yang baik, yang masih bisa senyum tulus."
"Gue gak tau lagi siapa Elang yang asli," Elang bisik dengan keputusasaan yang telanjang. "Gue gak tau lagi gimana jadi orang baik kalau dunia udah buktiin bahwa orang baik selalu kalah."
"Orang baik gak selalu kalah," Anya berkata dengan keyakinan yang entah dari mana datangnya. "Orang baik cuma butuh waktu lebih lama untuk menang. Dan menangnya bukan dengan cara jahat, tapi dengan cara yang bikin mereka tetep bisa tidur nyenyak di malam hari."
Elang menatapnya—gadis muda ini yang hidupnya jauh lebih sederhana dari dia, yang gak pernah pegang uang milyaran atau duduk di ruang rapat mewah, tapi entah kenapa punya kebijaksanaan yang ia gak punya meskipun ia dua kali lipat lebih berpengalaman di dunia.
Tanpa pikir panjang, tanpa rencana, Elang tarik Anya ke pelukannya—pelukan yang desperate, yang butuh, yang bilang "tolong pegang aku karena aku udah gak kuat pegang diri sendiri". Anya gak nolak, ia peluk balik dengan erat, kepala di dada Elang yang naik turun cepat karena napas yang gak teratur.
"Mungkin lo bener," Elang berbisik di rambut Anya yang wangi shampo murah tapi hangat. "Mungkin dendam gak akan bikin gue bahagia. Tapi setidaknya—setidaknya mereka gak akan ketawa di atas penderitaan gue. Setidaknya mereka tau bahwa gue gak mati. Bahwa gue masih di sini. Bahwa gue masih bisa lawan."
Anya gak jawab—cuma peluk lebih erat, biarkan Elang nangis di bahunya dengan tangisan yang ditahan-tahan, tangisan cowok yang udah terlalu lama kuat sendirian dan akhirnya nemuin tempat yang aman untuk lemah sebentar.
Hujan terus turun. Petir terus menyambar. Tapi di teras kecil itu, dua orang saling pegang—satu yang hancur tapi berusaha bangun, satu yang utuh tapi rela remuk dikit demi pegang yang hancur supaya gak berantakan total.
---
**[Bersambung ke Bab 27