Berawal dari sebuah gulir tak sengaja di layar ponsel, takdir mempertemukan dua jiwa dari dua dunia yang berbeda. Akbar, seorang pemuda Minang berusia 24 tahun dari Padang, menemukan ketenangan dalam hidupnya yang teratur hingga sebuah senyuman tulus dari foto Erencya, seorang siswi SMA keturunan Tionghoa-Buddha berusia 18 tahun dari Jambi, menghentikan dunianya.
Terpisahkan jarak ratusan kilometer, cinta mereka bersemi di dunia maya. Melalui pesan-pesan larut malam dan panggilan video yang hangat, mereka menemukan belahan jiwa. Sebuah cinta yang murni, polos, dan tak pernah mempersoalkan perbedaan keyakinan yang membentang di antara mereka. Bagi Akbar dan Erencya, cinta adalah bahasa universal yang mereka pahami dengan hati.
Namun, saat cinta itu mulai beranjak ke dunia nyata, mereka dihadapkan pada tembok tertinggi dan terkokoh: restu keluarga. Tradisi dan keyakinan yang telah mengakar kuat menjadi jurang pemisah yang menyakitkan. Keluarga Erencya memberikan sebuah pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Dunia Erencya runtuh dalam hitungan detik. Kata-kata yang tertera di layar ponselnya—ditik oleh adiknya sendiri—terasa seperti palu godam yang menghantam gelembung kebahagiaan mereka hingga berkeping-keping. Koko Bryan kayaknya lewat jembatan... lihat cewek mirip Cici... pegangan tangan sama cowok...
Setiap frasa adalah sebuah tusukan. Kepalanya terasa pusing. Udara di sekitarnya yang tadinya terasa hangat dan penuh cinta, kini terasa dingin dan menyesakkan. Genggamannya di tangan Akbar sontak terlepas seolah tersengat listrik. Wajahnya, yang beberapa detik lalu merona karena bahagia, kini pucat pasi.
"Ren? Kenapa? Ada apa?" Suara Akbar yang penuh kekhawatiran terdengar seperti datang dari kejauhan.
Erencya tidak bisa menjawab. Mulutnya terasa kering. Ia hanya bisa menyodorkan ponselnya ke arah Akbar dengan tangan gemetar. Akbar membaca rentetan pesan dari Clara. Matanya melebar saat mencapai pesan terakhir. Ekspresi tenangnya langsung berubah menjadi serius dan waspada. Ia mengerti. Dalam sekejap, ia memahami skala bencana yang baru saja menimpa mereka.
"Sial," desis Lusi yang sudah mendekat, ikut mengintip layar ponsel Erencya. Ia adalah yang pertama kali sadar dari kelumpuhan. "Oke, jangan panik. Jangan panik," katanya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri. "Bryan baru 'kayaknya' lihat. Belum pasti. Yang harus kita lakukan sekarang adalah pergi dari sini. Sekarang juga!"
Pikiran Erencya akhirnya kembali berfungsi, didorong oleh adrenalin dan rasa takut yang melumpuhkan. "Kita harus pergi," bisiknya, menggemakan kata-kata Lusi. Ia menarik selendang songket biru pemberian Akbar dari bahunya dan memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan panik, seolah benda itu adalah barang bukti kejahatan.
"Tunggu!" cegah Lusi, otaknya bekerja cepat. "Pesan Clara yang soal foto! Kita harus kirim foto sekarang juga!"
Dengan sigap, Lusi menarik Erencya yang masih setengah linglung. "Ren, senyum! Pura-pura lagi foto buat proyek!" Ia mengangkat kameranya, mengambil beberapa gambar Erencya yang berdiri sendirian dengan latar belakang jembatan, memaksakan sebuah senyum yang tampak kaku dan pucat. "Akbar, kamu menyingkir dulu, jangan masuk frame!"
Akbar mundur beberapa langkah, hatinya terasa sakit melihat kepanikan di wajah Erencya. Momen indah mereka telah ternodai. Ia merasa tidak berdaya, seorang penonton dalam drama keluarga yang bukan miliknya.
Lusi dengan cepat mengirimkan foto-foto itu ke ponsel Erencya. "Cepat kirim ini ke grup keluargamu! Bilang kamu lagi sibuk, jadi baru sempat kirim!" perintahnya.
Dengan jari-jari yang gemetar, Erencya mengirimkan foto-foto itu, menambahkan keterangan singkat: Maaf baru kirim, lagi fokus ambil gambar. Ini beberapa hasilnya.
"Oke, sudah. Sekarang kita benar-benar pergi," kata Lusi tegas.
Perjalanan mereka kembali dari jembatan terasa seperti sebuah pelarian. Tidak ada lagi tawa atau sentuhan tangan yang hangat. Erencya berjalan cepat beberapa langkah di depan, seolah ingin lari dari bayangannya sendiri. Akbar dan Lusi mengikutinya dalam diam. Kota Jambi yang tadinya terasa ramah dan romantis, kini terasa mengancam, setiap pasang mata seolah menatap mereka dengan penuh tuduhan.
Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan. Lusi fokus mengemudi, Akbar duduk di belakang, menatap punggung Erencya yang tegang di kursi penumpang depan. Erencya sendiri terpaku pada ponselnya, mengetik balasan untuk Clara dengan panik.
Erencya: Itu bukan aku, Clar. Mungkin cuma orang mirip. Aku kan lagi sama Lusi.
Clara: Oh gitu ya... Soalnya Koko Bryan yakin banget. Dia udah pulang nih, lagi ngomong sama Papa di ruang kerja.
Pesan terakhir itu membuat sisa-sisa harapan Erencya hancur. Sudah terlambat. Laporan sudah sampai ke telinga ayahnya.
"Kita ke mana?" tanya Lusi pelan, memecah keheningan.
"Jangan... jangan antar Kak Akbar pulang dulu," pinta Erencya dengan suara serak. "Aku belum mau sendirian."
Lusi mengangguk mengerti. "Kita ke rumahku. Mama Papa lagi pergi ke luar kota, rumah kosong."
Rumah Lusi menjadi benteng persembunyian mereka. Begitu masuk ke dalam ruang keluarga yang sepi, pertahanan Erencya akhirnya runtuh. Ia duduk di sofa dan tangisnya pecah. Bukan tangisan yang keras, melainkan isakan tertahan yang menyiratkan keputusasaan yang mendalam.
"Ini semua salahku," isaknya di antara air mata. "Aku yang terlalu ceroboh. Aku terlalu bahagia sampai lupa kalau kita harus hati-hati. Sekarang semuanya bakal hancur."
Akbar segera duduk di sampingnya, sementara Lusi pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat. Akbar tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya meletakkan tangannya dengan ragu di punggung Erencya, mengusapnya perlahan. Sentuhannya yang biasanya terasa menenangkan, kini seakan tidak mampu menembus lapisan kepanikan gadis itu.
"Ini bukan salahmu, Ren," kata Akbar lembut. "Ini bukan salah siapa-siapa."
"Tapi ini terjadi karena aku!" Erencya mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. "Ini terjadi karena Kakak datang ke sini. Kalau... kalau kita tidak pernah bertemu..."
Kata-kata itu menggantung di udara, menyakiti mereka berdua. Akbar merasakan sebuah tusukan di hatinya. Ia tahu Erencya tidak bermaksud begitu, gadis itu hanya sedang kalut. Tapi mendengar penyesalan tersirat itu terasa begitu menyakitkan. Untuk pertama kalinya, ia merasakan betapa besar konsekuensi dari kehadiran dirinya di dunia Erencya. Ia, seorang mahasiswa sederhana dari Padang, telah membawa badai ke dalam kehidupan keluarga terpandang di Jambi.
"Jangan berkata begitu," ucap Akbar, suaranya kini lebih tegas, mencoba menarik Erencya kembali dari jurang keputusasaannya. "Dengar aku, Ren. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian. Kita mulai ini bersama-sama, kita akan hadapi ini juga bersama-sama. Apapun yang terjadi."
Lusi kembali dengan nampan berisi tiga cangkir teh. "Akbar benar, Ren. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting sekarang, apa rencanamu? Kamu harus pulang dan menghadapi mereka."
Erencya menggeleng lemah. "Aku takut."
"Apa yang paling kamu takutkan?" tanya Akbar pelan.
"Papa," jawab Erencya. "Papa memberiku kepercayaan. Dan aku menghancurkannya. Dia akan kecewa. Dan Bryan... dia pasti akan mencari tahu siapa Kakak. Dia akan menemukan semuanya. Tentang kita, tentang... perbedaan kita."
Kata terakhir itu, 'perbedaan', diucapkan dengan nada yang begitu berat. Itu adalah hantu yang selama ini mereka coba abaikan, namun kini berdiri tegak di hadapan mereka. Bukan lagi sekadar perbedaan latar belakang sosial, melainkan tembok tertinggi yang mereka tahu akan mereka hadapi suatu saat nanti.
Mereka duduk dalam keheningan yang berat, meminum teh mereka yang terasa hambar. Rencana indah mereka untuk menghabiskan tiga hari bersama kini terasa seperti kenangan yang jauh. Petualangan mereka telah berakhir bahkan sebelum benar-benar dimulai.
Akhirnya, Erencya menghapus sisa air matanya. Ada sebuah kilatan tekad di matanya yang merah. "Aku harus pulang," katanya. "Lusi, bisa tolong antar Kak Akbar kembali ke guesthouse dulu?"
Keputusan itu terasa seperti sebuah vonis. Hari kedua mereka harus berakhir di sini, di tengah sore yang kelabu, diwarnai oleh ketakutan dan ketidakpastian.
Perjalanan mengantar Akbar terasa begitu singkat dan menyakitkan. Saat tiba di depan guesthouse, Akbar menoleh ke arah Erencya.
"Kabari aku apapun yang terjadi, ya?" pinta Akbar. "Telepon aku kapan saja, tidak peduli jam berapa."
Erencya hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia tidak berani menatap mata Akbar lama-lama, takut pertahanannya akan kembali runtuh.
Akbar keluar dari mobil. Ia berdiri sejenak di trotoar, menatap mobil Lusi yang perlahan menjauh, membawa serta gadis yang telah menjadi pusat dunianya. Hari yang dimulai dengan sinar matahari yang cerah dan harapan yang melambung, kini berakhir dengan awan gelap yang menggantung dan rasa cemas yang menggerogoti hati.
Ia masuk ke dalam kamarnya yang sepi, rasa lelah yang berbeda dari kemarin kini menjalari tubuhnya. Ini bukan lelah fisik, melainkan lelah batin. Ia merebahkan diri di tempat tidur, menatap langit-langit, dan untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di Jambi, ia merasa benar-benar sendirian dan tidak berdaya. Sementara di seberang kota, Erencya sedang dalam perjalanan pulang, menuju pertempuran yang ia tahu tak akan bisa ia hindari.