Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6. DIBELI
"Kalau kau sungguh berniat membawa Olivia," ujar Natalie perlahan, seakan tengah menimbang, "kau harus tahu bahwa kau sedang mengambil beban besar. Gadis itu bukan hanya gila, dia adalah bencana yang merusak apa pun yang disentuhnya. Tapi jika kau ... benar-benar mau membayar, mungkin aku bisa mengizinkannya."
Davian menghela napas pendek, suaranya tegas, tanpa keraguan. "Uang tidak menjadi masalah. Aku tidak peduli berapa yang kau minta, selama Olivia bisa kubawa hari ini juga."
Olivia yang sejak tadi duduk di lantai, kini berdiri perlahan. Tatapannya tertuju lurus pada Davian, seakan sedang berusaha menembus wajah dan tubuh pria itu dengan mata yang setengah waras, setengah terbakar amarah. Bibirnya kembali bergetar, kali ini lebih keras, hampir seperti teriakan yang pecah dari luka dalam yang tak pernah sembuh:
"Bayiku! Mana bayiku?!" seru Olivia.
Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang dinding kamar yang sudah porak poranda. Tangannya meraih apa pun yang ada di dekatnya; bantal, kertas, bahkan bingkai foto yang kacanya pecah, lalu melemparkannya sembarangan. Salah satunya hampir mengenai Davian, namun pria itu tidak bergeming. Ia berdiri kokoh, menatap Olivia dengan sorot yang penuh tekad, meski jauh di dalam matanya ada rasa iba yang tak bisa disembunyikan.
Natalie beringsut ke belakang, wajahnya dipenuhi rasa jijik sekaligus takut. "Lihat sendiri! Dia tidak bisa dikendalikan. Dia akan merusak apa pun. Kau benar-benar ingin membawanya? Untuk apa, Mr. Meyers?!"
Davian menoleh singkat ke arahnya. "Itu bukan urusanmu."
Nada suara Davian dingin, penuh kewibawaan. Seakan setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah perintah yang tidak boleh ditawar.
Natalie menggigit bibirnya, lalu kembali menampilkan senyum palsu yang penuh kelicikan. Ia tahu pria seperti Davian tidak akan mundur sekali ia sudah memutuskan. Maka satu-satunya cara untuk tetap untung adalah dengan menerima tawaran itu dan tentu saja, menetapkan harga yang tinggi.
"Aku bisa membiarkanmu membawanya," ucap Natalie akhirnya, sambil memainkan cincin di jarinya. "Tapi kau harus bayar mahal. Olivia adalah tanggungan keluarga Morgan. Kalau kau ingin membawanya, kau harus membayar setidaknya setengah dari apa yang telah dikeluarkan keluarga ini untuk merawatnya selama dua bulan terakhir."
Peter mendengus pelan. "Merawat? Kau menyebut mengurungnya di kamar pengap ini sebagai merawat?"
Tatapan Natalie menusuk tajam ke arah Peter, namun ia tak membalas dengan kata-kata. Ia tahu, lebih baik berurusan dengan Davian daripada orang kedua di sampingnya.
Davian mendekat, langkahnya mantap. Ia berhenti hanya beberapa inci dari Natalie, menundukkan kepala sedikit, sehingga sorot matanya benar-benar menghantam mata wanita itu. "Sebutkan harganya."
Natalie menelan ludah. Beberapa detik ia terdiam, lalu dengan suara nyaris berbisik namun penuh hasrat tamak, ia menyebutkan nominal yang sangat tinggi. Angka yang bahkan bisa membeli sebuah rumah mewah di pusat kota.
Peter sempat terperanjat, ingin membantah, tetapi Davian hanya mengangkat tangannya. Ia menatap Natalie tanpa kedip, lalu berkata tenang, "Aku akan bayar. Setelah ini aku akan mengurus semua surat-surat penyerahan Olivia ke pada kami."
Senyum licik itu pun kembali merekah di wajah Natalie. Seolah ia baru saja memenangkan permainan. "Baiklah, Mr. Meyers. Kalau begitu, Olivia adalah milikmu sekarang."
Olivia mendengar kata-kata itu, dan reaksinya berbeda. Ia meraung, menjerit, lalu menghantamkan tangannya ke pintu di sebelah wajah Natalie. "Aku bukan barang! Aku bukan milik siapa pun! Kau hanya jalang, jangan sok berkuasa! Kau tidak akan mendapatkan apa pun!"
"Dasar tidak tahu diri. Wanita gila sepertimu, masih untung ada yang menginginkanmu," decih Natalie penuh kebencian.
Tangannya berdarah karena pecahan kaca yang menempel di kusen, namun ia tidak peduli.
Davian menatapnya lama, dadanya terasa sesak melihat pemandangan itu. Sungguh, jauh di dalam lubuk hati, ia tak pernah berniat memerlakukan Olivia seperti barang dagangan. Tetapi untuk Cassandra, untuk putrinya yang membutuhkan sesuatu yang hanya bisa diberikan seorang ibu, ia rela menanggung apa pun.
Peter, yang sejak tadi mengamati dengan seksama, mendekat ke telinga Davian. Suaranya rendah, hampir tak terdengar. "Percayalah padaku, Davian. Bawa dia, demi Cassandra dan juga wanita ini."
Davian mengangguk perlahan. Tatapannya kembali pada Olivia yang kini menangis histeris, memukul-mukul dinding seakan ingin merobek semua yang mengurungnya.
Natalie menutup mulutnya dengan telapak tangan, berpura-pura syok, padahal jelas terlihat ada rasa lega sekaligus gembira karena beban yang selama ini ia anggap sampah akhirnya bisa dilepaskan, bahkan dengan imbalan uang yang tak sedikit.
"Kalau begitu," katanya sambil menoleh ke arah seorang pelayan yang berdiri jauh di ujung koridor, "siapkan Olivia. Mr. Meyers akan membawanya."
Pelayan itu menunduk, lalu bergegas pergi.
Davian berdiri diam, memandang Olivia sekali lagi sebelum melangkah keluar kamar. Suara jeritan dan tangisan wanita itu masih menggema di telinganya. Kata 'bayi' yang tadi diucapkan Olivia seakan terpatri dalam benaknya, memanggil sesuatu yang selama ini berusaha ia kubur.
"Bayiku ...," bisik itu seolah menempel pada bayangannya sendiri.
Koridor rumah Morgan dipenuhi dengan bayangan sore yang merayap pelan, menyisakan cahaya samar dari jendela besar yang memantulkan kilau emas pucat. Suasana itu menambah kesan mencekam ketika Olivia dipaksa keluar dari kamarnya oleh dua pelayan pria bertubuh besar. Tangan wanita itu dipegang kuat-kuat, sementara tubuhnya meronta liar, suaranya serak akibat terus menjerit.
"Lepaskan aku! Bayiku! Aku harus mencari bayiku!" teriak Olivia, suaranya pecah penuh putus asa.
Jeritan itu menusuk telinga Davian. Setiap kata yang diucapkan Olivia seperti menghantam hatinya, menimbulkan pertanyaan yang enggan ia jawab: benarkah bayi itu meninggal? Atau ada rahasia lain yang tersembunyi di balik tragedi itu? Namun Davian menahan diri untuk tidak bertanya. Saat ini bukan waktunya.
Natalie berjalan anggun di belakang mereka, seakan sedang menyaksikan pawai kemenangan. Senyum tipisnya tak pernah hilang. "Kalian lihat sendiri, bukan? Dia tidak bisa lagi disebut wanita normal. Membawa Olivia berarti membawa kegilaan. Tapi karena kau sudah membayar mahal, Mr. Meyers, aku tidak akan menghentikanmu."
Peter menoleh sekilas ke arah wanita itu, tatapannya penuh rasa muak. Ia tahu Natalie senang karena telah menyingkirkan 'beban' dengan keuntungan berlipat. Namun, ia juga yakin bahwa di balik kegilaan Olivia ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Natalie sendiri tidak mampu pahami.
Olivia masih berusaha melepaskan diri. Rambutnya yang panjang dan kusut menutupi sebagian wajahnya, matanya liar, tetapi di balik itu tampak genangan air mata. "Kalian mencurinya! Bayiku! Kalian sembunyikan bayiku dariku!"
Olivia mengigit tangan salah satu orang yang menahannya, lalu mengambil pajangan keramik terdekat dan melemparkannya ke arah Natalie hingga mengenai kepala perempuan itu.
Para pelayan panik dan langsung memegangi erat Olivia dan melihat keadaan Natalie yang dahinya kini mengalir darah segar.
"Kalian mencurinya! Bayiku!" raung Olivia.
Kata-kata itu membuat Davian terhenti sejenak di tengah koridor. Ia menoleh menatap Olivia, kali ini lebih dekat, lebih dalam. Ada semacam bisikan halus yang muncul di kepalanya, sebuah keraguan sekaligus firasat buruk. Namun sebelum ia bisa menanyakan lebih jauh, Olivia meronta begitu kuat hingga hampir menjatuhkan salah satu pelayan.
Peter sigap melangkah maju. Dengan suara rendah, ia menenangkan Olivia, meski tahu itu hampir mustahil. "Olivia ... dengarkan aku. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Kau tidak akan dikurung di kamar itu lagi. Kau akan keluar dari rumah ini."
Namun Olivia menatapnya penuh curiga, lalu kembali berteriak histeris. "Kalian semua pembohong! Kalian mencuri bayiku! Bayiku tidak mati!"
Pelayan menyeretnya turun ke tangga besar yang berkarpet merah, sementara Olivia berusaha menggigit tangan mereka, menendang, bahkan menabrakkan tubuhnya ke dinding. Beberapa bingkai foto keluarga jatuh berdebam, kaca pecah berserakan di lantai.
Davian akhirnya melangkah cepat, menghentikan langkah para pelayan. "Cukup. Biarkan aku yang menanganinya."
Pelayan itu ragu, menoleh pada Natalie. Wanita itu mengangkat bahu ringan, seolah tidak peduli, lalu memberi isyarat agar mereka menurut.
Davian mendekati Olivia, lalu berlutut sedikit agar sejajar dengan wajahnya. Gadis itu masih bergetar, air mata menetes dari sudut matanya. Matanya liar, namun di balik kegilaan itu, Davian melihat sekilas sorot yang lain, sorot putus asa, sorot seorang ibu yang kehilangan bagian jiwanya.
"Olivia?" suara Davian rendah, berat, tetapi menenangkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi aku bisa memberimu pilihan. Tinggal di sini, terus dikurung, atau ikut denganku keluar dari neraka ini. Kau ingin bertemu bayimu, 'kan? Aku akan mempertemukanmu dengan bayimu."
Olivia menatapnya lama, seolah sedang menimbang kata-kata itu. Namun kemudian, dengan suara lirih yang hampir tak terdengar, ia berbisik, "Bawa aku ... ke bayiku."
Davian menghela napas panjang. Ia tahu kata-kata itu bukan jawaban waras. Tetapi tetap saja, ada sesuatu di dalamnya yang membuatnya yakin bahwa keputusannya membawa Olivia tidak sepenuhnya salah. Hari dimana Davian melihat wanita ini mengendong dan menyusui Cassandra penuh dengan kelembutan, membuat Davian yakin kalau Olivia tidak akan menyakiti Cassandra walau dalam keadaan Olivia seperti ini.
Peter, yang berdiri di belakangnya, mengangguk pelan, sebuah tanda setuju, tanda bahwa ia juga merasakan hal yang sama.
Dengan lembut namun tegas, Davian menggenggam lengan Olivia, mengangkatnya berdiri. Gadis itu masih goyah, sesekali meronta kecil, tetapi kini tidak lagi berteriak. Air mata terus mengalir membasahi pipinya.
Natalie mengibaskan tangannya seakan urusan sudah selesai. "Baiklah. Bawalah dia. Aku tidak peduli kemana pun kalian pergi. Asalkan dia tidak kembali ke rumah ini. Dasar anak gila."
Senyum puasnya membuat Peter semakin ingin memuntahkan sumpah serapah, tetapi ia menahan diri.
Davian tak menoleh lagi. Ia membawa Olivia menuruni tangga, keluar dari pintu besar rumah Morgan, menuju mobil hitam yang menunggu di halaman. Angin sore menerpa wajah mereka, membawa aroma tanah basah dan bunga mawar dari taman. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Olivia menghirup udara luar dengan bebas.
Namun bukannya tenang, gadis itu justru menangis lebih keras. Tangannya meraih dada Davian, mencengkram pakaian pria itu dengan kekuatan penuh. "Bayiku ... aku ingin bayiku ... kembalikan padaku."
Davian terdiam, membiarkan tubuh rapuh itu menempel padanya, meski terasa berat oleh histeria. "Kau akan segera bertemu dengannya," dustanya.
Ketika akhirnya mereka berhasil memasukkan Olivia ke dalam mobil, Davian duduk di sampingnya, sementara Peter mengambil alih kursi pengemudi. Pintu mobil tertutup dengan suara berat, memutus jeritan Olivia dari udara bebas, menyisakan ruang kecil yang kini dipenuhi tangisan, bisikan 'bayi' yang terus diulang, dan perasaan aneh yang menyelubungi mereka bertiga.
Mobil itu pun meluncur keluar dari halaman keluarga Morgan. Dari jendela lantai dua, Natalie Morgan berdiri mengamati dengan senyum puas. Ia tidak tahu, atau mungkin tidak peduli, bahwa keputusan hari itu akan menjadi pintu masuk menuju kisah yang jauh lebih kelam dari yang ia bayangkan.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi