Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2b. Kisah Lembide: Penunggu Laut Tawar
Ratusan tahun yang lalu, di sebuah gampong kecil di tepian Laut Tawar, hiduplah seorang janda muda bernama Mutia, atau akrab dipanggil Tia. Wajahnya jelita, tutur katanya lembut, namun hidupnya penuh kesepian sejak suaminya gugur dalam perang. Satu-satunya penghibur hatinya adalah Dino, putra semata wayangnya yang baru berusia 12 tahun.
Meski hidup sederhana, Tia dikenal oleh warga sebagai perempuan tabah. Namun kecantikannya membuat banyak lelaki terpikat.
Dino adalah anak laki-laki yang ceria, dengan mata bening dan senyum yang selalu merekah. Ia dikenal di gampong ( desa ) sebagai anak yang periang, jujur, dan mudah berteman. Hampir setiap sore, ia akan berlari bersama teman-temannya ke tepian danau Laut Tawar, bermain lempar batu, berkejaran di rumput, dan tentu saja—berenang di air yang jernih dan sejuk.
“Dino paling jago menyelam!” seru salah seorang kawannya.
Anak-anak lain bersorak saat Dino muncul kembali ke permukaan dengan tawa renyah, rambut basah menempel di dahinya.
Bagi Tia, Dino bukan sekedar putra semata wayang, tapi juga harapan dan cahaya hidupnya. Setiap malam ia akan menyisir rambut anaknya sambil bercerita, menasihati agar Dino tumbuh menjadi lelaki yang baik dan berani
Usia Dino sudah memasuki masa remaja. Tubuhnya mulai meninggi, suara mulai berat, tanda-tanda akil baligh tampak jelas. Namun, berbeda dengan kawan-kawannya yang rajin mengaji selepas magrib, Dino lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain di tepi danau—melempar batu, berenang, atau berlarian di kebun kopi.
“Anakmu itu baik, Tia, tapi sayang belum bisa mengaji…” kata salah seorang tetua perempuan desa pada suatu sore.
“Benar. Kalau sudah akil baligh, wajib hukumnya bisa membaca Qur’an,” tambah yang lain.
Mutia hanya bisa menunduk, wajahnya malu. Ia tahu, sebagai seorang janda, ia sering jadi bahan gunjingan. Kini, kebodohan anaknya dalam mengaji menambah bahan omongan warga.
Malam itu, Mutia menegur putranya dengan lembut.
“Dino, mulai besok kau harus ikut belajar mengaji di surau bersama teman-temanmu yang lain. Kau sudah beranjak dewasa dan Ibu tidak mau orang-orang menuduh kita lalai.”
Dino mengerutkan kening. “Tapi Bu… aku lebih suka bermain. Mengaji sulit…”
“Anakku,” suara Tia bergetar, “mengaji itu cahaya. Tanpa cahaya, hatimu gelap. mau sampai kapan kau seperti ini, Jangan kau bikin ibumu malu di depan orang kampung.”
Dino terdiam. Ia tahu ibunya sudah terlalu banyak menanggung beban. Dengan berat hati, ia mengangguk. "Iya Bu... Dino akan belajar ngaji."
Namun, di dalam hati kecilnya, ia merasa tertekan. Semakin ia mencoba, semakin ia merasa gagal. Kata-kata Al-Qur’an seakan menari di matanya, tak bisa ia ikuti dengan lancar. Ia malu di depan guru dan teman-temannya.
Dan di situlah, pelan-pelan, Dino mulai menghindar. Setiap malam saat azan Isya berkumandang, ia pura-pura tertidur atau diam-diam kabur ke tepi danau. Di sanalah ia merasa bebas—bermain dengan riak air, bercermin pada bulan yang tenang, seolah danau itu lebih memahami dirinya ketimbang manusia.
Tia tidak tahu… kebiasaan kecil ini kelak akan membawa anaknya pada takdir yang tragis, ketika riak air Laut Tawar membuka pintu bagi kutukan yang tak pernah bisa ditutup lagi.
Desa di tepian Laut Tawar memang sederhana, tapi urusan agama sangat dijunjung tinggi. Hampir setiap malam, suara anak-anak mengaji terdengar dari pondok kayu di tengah kampung, dipimpin oleh seorang guru ngaji tua yang dihormati: Teungku Bide.
Orang-orang menyebutnya begitu karena usianya yang sudah lanjut, rambutnya memutih, tapi wibawa dan ilmunya masih tajam. Konon, selain pandai membaca Qur’an, Teungku Bide juga memahami ilmu hikmah dan rahasia gaib yang diwariskan turun-temurun.
“Kalau kau mau anakmu belajar sungguh-sungguh, serahkan dia pada Teungku Bide,” kata seorang tetangga kepada Tia.
Tia mengangguk. Hatinya masih pilu, tapi ia ingin Dino tumbuh jadi anak baik.
Malam itu, setelah shalat Maghrib, Tia membawa Dino ke pondok pengajian Teungku Bide. Dino berjalan malas, kepalanya menunduk. Di dalam, puluhan anak duduk bersila dengan mushaf di tangan, sementara Teungku Bide duduk di depan, matanya tajam namun teduh.
“Assalamu’alaikum, Teungku,” ucap Tia pelan.
“Wa’alaikum salam,” jawab Teungku Bide. Pandangannya jatuh ke arah Dino dan Mutia. “Inilah anakmu?”
“Ia, Teungku. Namanya Dino. Tolong bimbing ia… sebab usianya sudah masuk akil baligh, tapi belum bisa membaca Qur’an.”
Teungku Bide mengangguk perlahan. Ia menatap Dino lama, seolah sedang membaca sesuatu yang tak kasat mata. Bibirnya bergerak pelan:
“Anak ini… hatinya ringan, tapi jiwanya resah. Dia lebih suka air dan bermain, bukan huruf dan bacaan. Tapi jangan khawatir, insya Allah bisa kita bimbing.”
Arif merasakan tatapan itu menusuk, membuatnya gelisah. Ia berusaha menghindari mata sang guru, tapi di dalam hatinya, ada getaran aneh—seolah Teungku Bide tahu rahasia terdalam dirinya.
Malam-malam berikutnya, Dino mulai belajar dengan Teungku Bide. Namun, setiap kali ia salah baca, wajahnya memerah. Teman-temannya menahan tawa. Kadang ia pulang dengan hati kesal, bahkan menangis diam-diam.
Di saat-saat seperti itu, bisikan dari danau seakan memanggilnya: suara samar yang hanya ia dengar. Suara itu lembut, seolah seorang ibu yang menenangkan:
“Kalau kau lelah, datanglah padaku… air ini akan memelukmu lebih lembut daripada dunia…”
Di mata warga, Teungku Bide adalah sosok alim dan penuh wibawa. Tak ada yang berani meragukan ilmunya. Namun, di balik sorot matanya yang teduh, tersembunyi sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan terang-terangan: obsesi pada Mutia, janda muda berwajah jelita, ibu dari Dino.
Setiap kali Mutia datang menjemput anaknya di pondoknya, tatapan Teungku Bide kerap berlama-lama pada wajahnya. Parasnya yang lembut, senyum tipisnya yang penuh kesabaran, membuat darah tua dalam diri Teungku bergejolak.
“Cantik… bahkan setelah ditinggal suami, ia masih seperti bunga mekar di musim hujan,” gumamnya lirih suatu malam.
Rasa itu awalnya hanya kekaguman, tapi perlahan menjelma menjadi hasrat berbahaya. Teungku Bide tahu, banyak lelaki di desa yang diam-diam menaruh hati pada Mutia. Namun posisinya sebagai guru agama membuatnya merasa seolah memiliki hak lebih.
Ia mulai mencari alasan agar Mutia sering datang ke surau.
“Mutia,” katanya suatu malam, “Dino ini butuh bimbingan lebih. Ia sulit sekali menangkap bacaan. Akan lebih baik kalau kau juga hadir mendampinginya.”
Mutia hanya menunduk, meski hatinya ragu. Ia tidak ingin menimbulkan fitnah, tapi demi anaknya, ia menuruti. Malam-malam berikutnya, ia duduk di pojok pondok, memperhatikan Dino belajar.
Dan di situlah, diam-diam, obsesi Teungku Bide semakin tumbuh. Setiap lantunan ayat yang ia baca untuk murid-muridnya, sesekali ia sisipkan doa-doa yang samar, doa yang tak semua orang pahami. Seakan ada ikatan gaib yang ingin ia lemparkan kepada Mutia.