NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:612
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3

Nathan menatap kembali berkas di depannya, berusaha memaksa dirinya fokus. Jika tidak, perusahaan yang dibangun ayahnya mungkin benar-benar akan bangkrut dalam waktu seminggu, seperti yang dikatakan Alea. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya. Seharusnya ia sudah mulai belajar sejak dulu, bukan sekarang, ketika situasi memaksanya.

Di usianya yang sudah 27 tahun, teman-temannya sudah mapan, membangun bisnis sendiri, atau setidaknya memiliki karier yang jelas. Sementara dirinya? Ia baru mulai memahami bagaimana cara bekerja, bagaimana membaca angka-angka yang terasa seperti hieroglif di depannya. Selama ini, ia terlalu nyaman dengan kemewahan tanpa perlu memikirkan bagaimana uang itu dihasilkan.

Alea memperhatikannya dari seberang meja, lalu berkata, "Kalau Anda terus menatap angka itu tanpa membaca, mereka tidak akan berubah menjadi lebih mudah dipahami."

Nathan mendesah. "Aku mencoba."

"Bagus. Sekarang coba jelaskan dari laporan yang Anda baca, bagaimana kondisi perusahaan bulan lalu?"

Nathan mengerutkan kening, melirik laporan keuangan di depannya. Ia membaca beberapa baris dengan saksama sebelum menjawab, "Pendapatan naik... eh, tapi di sini ada angka negatif... oh, pengeluaran juga naik..."

Alea menghela napas. "Jadi?"

"Jadi... perusahaan masih untung?" jawab Nathan dengan nada ragu.

Alea menggeleng, ekspresinya tetap tenang. "Coba lihat lebih dalam. Bandingkan dengan bulan sebelumnya."

Nathan membuka halaman lain, menelusuri angka-angka yang terasa asing. "Oh... jadi bulan sebelumnya untungnya lebih besar?"

"Tepat." Alea menautkan jemarinya di atas meja. "Itu artinya ada yang harus diperbaiki. Sekarang coba cari tahu kenapa keuntungan kita menurun bulan ini."

Nathan kembali membaca. Matanya bergerak dari satu kolom ke kolom lain, mencoba mencari pola. Ia mulai menemukan beberapa catatan di bawah laporan. Kenaikan biaya produksi, penurunan penjualan di salah satu divisi, serta peningkatan biaya pemasaran.

"Sepertinya biaya produksi naik," katanya akhirnya.

"Betul," Alea mengangguk. "Dan itu karena?"

Nathan membaca catatan tambahan. "Harga bahan baku naik?"

Alea tersenyum tipis. "Ya. Dan kalau harga bahan baku naik, apa yang bisa kita lakukan?"

Nathan berpikir. "Cari bahan baku lain yang lebih murah?"

"Pilihan, tapi harus hati-hati. Jangan sampai kualitas turun drastis," jelas Alea. "Apa lagi?"

"Kita bisa menaikkan harga jual?"

"Bisa, tapi itu juga berisiko. Pelanggan bisa lari ke kompetitor jika harga kita terlalu mahal."

Nathan mulai mengerti. "Jadi kita harus mencari keseimbangan? Antara biaya produksi, harga jual, dan kualitas produk?"

"Persis." Alea menyandarkan diri ke kursi. "Dan itu baru satu aspek kecil dari pekerjaan Anda sebagai CEO. Masih banyak yang harus Anda pelajari."

"Aku tidak yakin bisa cepat menguasai semua pekerjaan Ayah."

Alea menatap Nathan tanpa ekspresi berlebihan, tetapi nada suaranya tetap tegas. "Tidak ada yang meminta Anda untuk menguasai semuanya dalam sehari, Tuan. Semua butuh proses. Orang-orang di perusahaan ini akan memahami bahwa Anda memerlukan waktu untuk beradaptasi dan belajar. Kami tahu kehidupan Anda sebelum hari ini berbeda jauh dari dunia bisnis, jadi wajar jika Anda merasa terbebani. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana Anda berusaha sungguh-sungguh untuk memimpin perusahaan ini dengan baik, seperti pemimpin sebelumnya. Yang Anda butuhkan saat ini adalah belajar, bukan mengeluh atau merasa tidak percaya diri."

Nathan menghela napas panjang. Ia tahu Alea benar, tapi kata-katanya tetap menohok. Tidak percaya diri? Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya benar-benar ingin berada di posisi ini. Tapi pilihan apa yang ia miliki?

"Jangan mengalihkan waktu untuk ngobrol, Tuan. Tolong fokuslah dengan apa yang seharusnya Anda pelajari. Semakin Anda cepat belajar, semakin cepat pula Anda memahami."

Nathan meremas pelipisnya, mencoba meredam frustrasi yang mulai merayap. Ia tahu Alea benar, tapi itu tidak membuat segalanya jadi lebih mudah. Bagaimana mungkin ia bisa fokus jika setiap angka di depannya terasa seperti teka-teki yang tidak masuk akal?

Namun, ia tidak punya pilihan. Perusahaan ini bergantung padanya. Ia bisa saja menyerah, tapi bayangan ayahnya, sosok yang selalu tegas dan penuh wibawa dalam memimpin membuatnya merasa bertanggung jawab.

Dengan helaan napas berat, Nathan menegakkan punggungnya dan kembali menatap laporan di depannya. "Oke, aku akan mencoba lebih serius," katanya akhirnya.

Alea mengangguk, matanya masih mengawasi. "Bagus. Supaya lebih cepat, biarkan saya memberikan penjelasan seringkas-seringkasnya."

Alea mulai menjelaskan pelajaran pertama hari ini dengan nada tegas dan tanpa basa-basi. Ia memaparkan secara ringkas dasar-dasar laporan keuangan, menjelaskan bagaimana membaca laporan laba rugi, memahami arus kas, dan mengidentifikasi pengeluaran yang tidak efisien.

Nathan mencoba mengikuti, meskipun setiap angka yang disebutkan Alea terasa seperti kode rahasia yang sulit dipecahkan. Ia mencatat beberapa poin penting, tetapi kepalanya mulai terasa penuh hanya dalam beberapa menit pertama.

Tanpa membuang waktu, Alea beralih ke strategi pemasaran. Ia menjelaskan pentingnya segmentasi pasar, bagaimana menentukan target konsumen, serta cara menganalisis tren industri. Ia juga menyinggung strategi promosi yang sedang berjalan dan mengapa beberapa di antaranya tidak memberikan hasil yang maksimal. Nathan mendengarkan, meskipun pikirannya masih sibuk mencerna materi sebelumnya.

Materi terus berlanjut ke struktur organisasi perusahaan. Alea menunjukkan bagan manajemen, menjelaskan tanggung jawab setiap divisi, serta bagaimana komunikasi internal seharusnya berjalan. Nathan baru menyadari betapa kompleksnya sistem yang selama ini berjalan di bawah kepemimpinan ayahnya. Ia juga menyadari bahwa selama ini ia nyaris tidak mengenal siapa pun di perusahaan selain beberapa orang di lingkaran terdekat ayahnya.

"Tunggu Alea, kamu menjelaskan semuanya padaku. Ada bagian yang mengurusnya, kan?" Nathan akhirnya menyela, mengernyitkan dahi.

Alea menatapnya datar. "Tentu saja ada. Tapi sebagai pemimpin, Anda harus mengerti bagaimana semuanya bekerja. Anda tidak bisa hanya mengandalkan orang lain tanpa memahami dasar-dasarnya."

Nathan menghembuskan napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi. "Tapi aku bukan ayahku. Dia punya naluri bisnis sejak lahir. Aku? Aku bahkan butuh waktu lama hanya untuk memahami laporan keuangan."

"Justru karena itu Anda harus belajar lebih keras," Alea membalas tanpa ragu. "Jangan berharap bisa langsung paham dalam sehari. Ini bukan sekedar hafalan, Tuan Nathan. Anda harus mengerti pola, sebab-akibat, dan cara mengambil keputusan dari semua informasi ini."

Beberapa hari berlalu dengan ritme yang sama. Belajar, bertanya, berdebat. Ada saat di mana Nathan benar-benar ingin menyerah, membanting pena, dan pergi. Namun, setiap kali bayangan ayahnya muncul di benaknya, ia bertahan.

Di hari 25, kesabaran Alea hampir habis. "Tuan! Berapa kali saya harus menjelaskan kalau laporan keuangan itu bukan hanya tentang melihat angka di kolom terakhir?" suaranya meninggi, membuat Nathan mendengus kesal.

"Aku sudah berusaha!" Ia membalas dengan nada frustasi. "Kamu pikir aku menikmati ini? Aku tidak pernah peduli soal bisnis, dan sekarang tiba-tiba aku harus memahami semuanya dalam hitungan hari?"

Alea menghela napas, menekan emosinya. "Baik. Kalau begitu, kita berhenti di sini. Jika Anda mau jadi pemimpin tanpa memahami apa yang sedang Anda pimpin, silakan. Saya tidak akan buang-buang waktu lagi."

Nathan terdiam. Ini pertama kalinya Alea benar-benar terlihat ingin menyerah padanya. Ia menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, lebih pelan kali ini, "Aku tidak mau gagal."

Alea mendengar ketulusan di balik kata-kata itu. Ia menatap Nathan sejenak, lalu meraih pena dan kembali ke pekerjaannya. "Kalau begitu, fokus. Saya tahu, Anda secerdas orang tua Anda."

Hari-hari berikutnya, sesuatu mulai berubah. Nathan masih kesulitan, masih sering mengeluh, tapi kini ia lebih berusaha. Ia mulai mengajukan pertanyaan sebelum Alea sempat menyudahi penjelasannya. Ia mulai bisa menebak pola di laporan keuangan dan laporan-laproan lainnya. Ia mulai melihat bahwa bisnis bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang strategi dan keputusan yang tepat.

Ketika Alea akhirnya melontarkan pertanyaan hari ini, Nathan menegakkan punggungnya. Ia tahu jawabannya. Untuk pertama kalinya, ia tidak hanya menebak, ia benar-benar mengerti.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!