Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8.
“Nyi...” ucap lirih Mbok Piyah dengan bibir dan tangan gemetar masih berusaha menghapus darah di wajah Kodasih.
Akan tetapi jantungnya berdetak lebih keras karena di kamar itu, disusul suara kaca lemari pecah, berderak tajam... dan suara tawa lirih. Dingin. Menyeramkan.
Tawa laki-laki. Tawa Tuan Menir.
Pak Karto membulatkan tekad.
“Kita tidak bisa diam saja! Kita harus bawa Nyi Kodasih keluar... atau kita semua akan ikut terperangkap!”
Tanpa ragu, ia menarik tubuh Kodasih dengan sekuat tenaga, menyeretnya perlahan lahan ke arah pintu.
Namun saat mereka melewati ambang kamar, dinding loji bergemuruh. Lantai berguncang hebat, dan dari dalam lukisan Tuan Menir, terdengar raungan yang mengguncang tulang:
“KODASIH MILIKKU... DAN KAU JUGA AKAN KUAMBIL... SATU PER SATU...”
Lampu minyak padam.
Gelap.
Dari dalam kegelapan, terdengar suara langkah kaki... bukan satu, bukan dua... tapi banyak. Seperti seluruh loji kini dihuni oleh mereka yang tak kasat mata.
“Mbah Jati... hanya Mbah Jati yang bisa mengatasi ini...” gumam Pak Karto lirih.
“Tapi sudah malam, Pak... aku tidak berani ke sana sendiri,” sahut Mbok Piyah, bibirnya gemetar ketakutan.
Tiba-tiba, dari arah belakang terdengar jeritan keras:
“Gusti... Gusti Allah, tolong...!!”
Teriakan Tiyem menggema, mengguncang udara malam yang semakin pekat. Angin dingin menerobos masuk lewat celah jendela kayu jati tua, mengibaskan gorden dan membawa aroma menyengat anyir darah... dan cerutu yang terbakar.
Pak Karto menoleh, panik.
“Tiyem?!”
“Dia mungkin akan ke sini membantu kita... atau... dia juga terperangkap di lorong ,” ucap lirih Mbok Piyah dengan tubuh dan bibir gemetar.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, telinga mereka menangkap suara lain. Suara yang lumayan keras.
Tok... tok... tok...
Tiga ketukan di pintu utama.
Lalu senyap.
Aneh... suara itu justru terasa menenangkan.
Pak Karto menelan ludah. “Siapa... siapa yang datang malam-malam begini?”
Mbok Piyah memegang lengan suaminya, erat.
“Jangan dibuka, Pak... bisa jadi itu... dia...”
Tok... tok... tok...
Kali ini, suara ketukan disusul suara parau, tua, tapi tegas. Penuh wibawa.
“Bukakan pintunya, Karto. Ini aku... Jati.”
Pak Karto terperangah. “Mbah Jati?!”
Tanpa pikir panjang, ia menerobos lorong gelap, nyaris tersandung tubuh Kodasih yang masih tak sadarkan diri. Ia membuka kunci pintu dan menarik daun pintu kayu jati tua yang berderit berat.
Di luar, berdiri seorang lelaki tua bersorjan, berkain batik, memegang keris pusaka aji pengandelnya dengan erat. Matanya menyala menyorot tajam, seolah melihat dunia yang tak tampak oleh mata biasa. Di belakangnya, asap melayang, membentuk pola pola tak wajar... seperti aksara kuno yang hidup.
Aroma harum kayu cendana menguar dari keris pusaka itu, pelan pelan masuk ke dalam rumah terbawa oleh hembusan nafas Mbah Jati.
“Terlambat aku datang... tapi belum sepenuhnya habis harapan.” Ucap Mbah Jati dengan suara pelan namun tegas.
Mbah Jati melangkah masuk ke dalam loji megah itu. Suasana menjadi lebih tenang. Lampu lampu minyak yang tadi padam dengan sendirinya. Kini juga menyala lagi dengan sendirinya. Meskipun nyalanya redup
“Mbah Jati kok tahu kami dalam bahaya?” tanya Pak Karto sambil menutup daun pintu.
“Nyi Kodasih pingsan Mbah. Tuan Menir marah. Tadi kata Mbah Jati Tuan Menir menjadi pelindung Nyi Kodasih. Tapi kok malah Tuan Menir marah besar.” Ucap Pak Karto lagi sambil melangkah di belakang Mbah Jati menuju ke kamar Kodasih.
“Telinga batinku mendengar. Semua ini... karena Kodasih menyakiti hati arwah Tuan Menir.”
Sesaat mereka sudah sampai di Lorong depan kamar Kodasih. Kodasih masih tergeletak di atas lantai ubin kelabu. Namun kini Mbok Piyah sudah ditemani oleh Tiyem, Sanah dan Pardi. Wajah orang orang itu masih terlihat pucat.
Pak Karto menunduk. “Apa yang harus kami lakukan, Mbah?”
“Siapkan kendi tanah, air sumur, daun sirih, bunga kantil, dan rambut Kodasih... .”
Pak Karto menatap Pardi, Sanah dan Tiyem. Ketiga orang itu paham arti tatapan mata Pak Karto yang menyuruh mereka bertiga menyiapkan syarat yang diminta oleh Mbah Jati.
Beberapa menit kemudian. Ketiga orang itupun telah membawa kendi tanah berisi air sumur, bunga kantil, daun sirih, dan gunting..
Mbah Jati menerima gunting dari tangan Pardi, lalu berlutut perlahan di sisi tubuh Kodasih yang masih tergeletak lemah. Dengan penuh kehati-hatian, ia menggunting sehelai rambut dari belakang telinga perempuan itu. Tangannya gemetar ringan, bukan karena takut, tapi karena beban energi gaib yang sudah mulai menyesaki ruangan.
“Air dari tanah, bunga dari langit, dan darah dari daging,” gumam Mbah Jati lirih, seolah membaca mantra yang hanya dipahami oleh mereka yang mengabdi pada ilmu leluhur.
Rambut itu kemudian dimasukkan ke dalam kendi tanah liat berisi air sumur. Mbah Jati meremas daun sirih dan menaburkan kelopaknya bersama kuntum bunga kantil putih yang nyaris mekar sempurna.
Lalu ia mulai menggumamkan doa dalam bahasa Jawa kuno. Suaranya lirih, seperti desiran angin, namun perlahan berubah menjadi gema berat yang seakan menyusup ke sela-sela dinding dan menembus ubin lantai loji.
BRAK!
Sebuah suara keras terdengar dari arah lukisan Tuan Menir di kamar Kodasih, Lukisan itu kembali mengeluarkan darah.
Bersamaan dengan angin di luar angin bertiup sangat kencang.. hingga daun daun jendela dan pintu yang tertutup rapat di loji megah itu bergerak gerak bagai tangan tangan kokoh berusaha untuk mendobrak.
“Dia murka, Mbah...” bisik Tiyem, menggenggam tangan Sanah erat.
“Tidak, ini bukan murka... ini peringatan terakhir,” balas Mbah Jati, masih dengan mata tertuju pada kendi di tangannya. “Kalau ritual ini gagal, tak hanya Kodasih... tapi seluruh desa ini akan menjadi bagian dari dunia mereka.”
Pak Karto menelan ludah. “Apa yang bisa kami lakukan, Mbah?”
Mbah Jati mengangguk kecil.
Ia mencelupkan jari telunjuk ke dalam kendi, lalu memercikkan air ke wajah Kodasih. Seketika tubuh perempuan itu mengejang. Darah si wajah Kodasih yang tadi mengering kembali menjadi basah segar. Mengerikan.
Semua yang ada di ruangan mundur setapak, kecuali Mbah Jati. Dia masih duduk sambil memangku kepala Kodasih.
“Kodasih kamu harus minta maaf pada Tuan Menir, karena kamu sudah melukai hatinya..” bisik lirih Mbah Jati.
Kodasih yang masih terpejam kedua matanya, terasa berat bibirnya untuk bergerak.. aliran darah segar yang jatuh di wajahnya terlihat juga mengenai bibir Kodasih..
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba