Merasa bosan hidup di lingkungan istana. Alaric, putra tertua dari pasangan raja Carlos dan ratu Sofia, memutuskan untuk hidup mandiri di luar.
Alaric lebih memilih menetap di Indonesia ketimbang hidup di istana bersama kedua orang tuanya.
Tanpa bantuan keluarganya, Alaric menjalani kehidupan dan menyembunyikan identitasnya sebagai seorang pangeran.
Sementara sang ayah ingin Alaric menjadi penerus sebagai raja berikut. Namun, Alaric yang lebih suka balapan tidak ingin terkekang dan tidak punya ambisi untuk menjadi seorang raja.
Justru, Alaric malah meminta sang ayah untuk melantik adiknya, yaitu Alberich sebagai raja.
Penasaran? Baca yuk! Siapa tahu suka dengan cerita ini.
Ingat! Cerita keseluruhan dalam cerita ini hanyalah fiktif alias tidak nyata. Karena ini hasil karangan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pa'tam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Satu persatu mereka semua di kalahkan. Kini mereka semua terkapar di aspal. Dexter dan keempat saudara berdiri berjejer berdekatan sambil menyilangkan tangannya di dada masing-masing.
"Kalian masih perlu banyak latihan untuk mengalahkan kami," kata Dexter.
"S-siapa sebenarnya k-kalian?" Ketua geng bertanya dengan terbata-bata.
"Hmm, kami bukan siapa-siapa. Hanya orang yang kebetulan lewat saja. Tapi ternyata ada orang yang sok jago mencari masalah dengan kami," jawab Alderich.
"Kita apakan mereka?" tanya Alberich.
"Biarkan saja, beri peluang mereka untuk hidup," jawab Alaric.
"Yuk cabut!" Denzel mengajak saudaranya pergi dari situ.
Ketua geng dan anak buahnya hanya memandangi mereka masuk ke dalam mobil. Mereka menyesal sudah salah mencari lawan.
Mereka pikir, akan seperti biasanya. Bertemu dengan orang-orang yang tidak bisa apa-apa. Tapi kali ini mereka kena batunya.
Alderich keluar lagi dari mobil. Kemudian menghampiri ketua geng yang masih belum bangun karena kesakitan.
"Aku akan ingat wajah-wajah kalian semua. Jika satu hari nanti aku melihat kalian menghajar orang lain, maka seluruh geng kalian akan lenyap!" Kalimat itu terdengar lembut, namun itu adalah ancaman bagi mereka semua.
Ketua geng mengangguk patah-patah. Kepalanya berdarah dan masih terasa pusing. Alderich meletakkan telunjuknya di lehernya. Kemudian memperagakan seperti seorang sedang memotong sesuatu.
"Dik, ayo. Kita sudah telat!" pekik Alberich.
Alderich berlari kecil menghampiri mobil. Sifat nya kadang kekanak-kanakan, kadang juga dewasa.
"Kak, mampir di tempat makan ya? Lapar nih," ujarnya pada Dexter.
Dexter tersenyum dan mengangguk. Ia melihat tingkah saudaranya itu kadang lucu menurutnya.
Mobil pun bergerak perlahan pergi meninggalkan tempat itu. Mereka masih berbaik hati membiarkan geng motor itu selamat.
Mereka berbalik arah ke jalan semula. Karena tadi mereka memang sengaja membawa geng motor itu ke tempat yang tidak banyak orang.
Mereka akhirnya tiba di sebuah warung makan. Sebenarnya waktu makan siang sudah lewat, tapi mereka belum makan siang.
"Kalian sudah terbiasa makan di tempat seperti ini, kan?" tanya Denzel.
"Jangan mengejek lah kak. Memang nya kami siapa yang tidak terbiasa makan di tempat seperti ini?" jawab Alberich.
"Ya, mana tahu. Kalian pangeran dari istana," ujar Dexter.
"Jangan banyak bicara, aku sudah lapar nih," kata Alderich.
Mereka masuk ke dalam warung makan. Pengunjung tidak terlalu ramai, karena hari sudah mulai sore.
"Pesan apa Tuan?" tanya pria pemilik warung makan.
Ia memanggilnya Tuan karena melihat mobil yang mereka gunakan. Juga pakaian mereka terlihat mahal.
Mereka saling pandang, kemudian melihat menu makanan yang ada di dinding warung.
"Aku itu saja yang ada bulat-bulat nya," kata Alderich.
"Oh bakso," ujar pria itu.
"Hah, iya itu. Aku lupa namanya," kata Alderich.
Pria itu tersenyum, terlihat sekali jika mereka bukan orang asli sini. Apalagi rambut mereka sedikit pirang dan bola mata kebiruan.
"Aku soto daging," kata Dexter.
"Samain saja Pak. Soto," kata Alaric.
Yang lain pesan soto, hanya Alderich yang pesan bakso. Di negaranya tidak pernah mereka makan makanan seperti ini. Baru di sinilah mereka bisa memakannya.
Pria itu mengangguk. Kemudian masuk ke bagian dapur untuk menyiapkan pesanan mereka.
Tidak berapa lama pria itu kembali dengan membawa pesanan mereka dengan di bantu istrinya.
Aroma kuah bakso dan kuah soto tercium dari dalam mangkuk. Mereka pun mendekatkan mangkuk tersebut ke arah mereka.
"Kayaknya enak nih," kata Alderich tidak sabar. "Bismillahirrahmanirrahim," ucapnya menambahkan.
Mereka pun mulai makan. Mungkin karena sudah lama tidak makan makanan seperti ini, Alderich pun makan dengan lahap.
"Pelan-pelan. Tidak ada yang ingin berebut denganmu," tegur Dexter.
Alderich hanya nyengir saja, kemudian melanjutkan makannya. Hingga makanan nya pun habis tidak tersisa. Bahkan kuahnya sekalipun habis.
"Pak bayar!" seru Alderich.
Pria itu segera menghampiri mereka. Alderich langsung memberikan beberapa lembar uang tunai sebagai pembayaran.
"Ini kebanyakan," ucap pria itu hendak mengembalikan dua lembar uang seratus ribuan.
"Tidak apa-apa Pak, ambil saja. Itu rezeki," kara Alaric.
"Tapi ini saja masih ada kembaliannya," ucap pria memperlihatkan uang seratus ribuan dua lembar di tangan kirinya.
"Ambil saja, nggak apa-apa," kata Dexter.
Pria itu pun berterima kasih. Kemudian mereka pun segera pergi dari situ. Hari sudah semakin sore, mereka harus secepatnya sampai di rumah.
Pria itu tersenyum memandangi mereka saat masuk ke dalam mobil. Ia memegang uang tersebut yang terlihat bersih dan baru.
"Uang orang kaya tidak kusam dan terlihat seperti baru," gumam pria itu.
"Kenapa Pak?" tanya istrinya.
"Mereka anak-anak baik Bu. Lihatlah," jawab pria itu memperlihatkan uang empat lembar seratus ribuan.
"Alhamdulillah Pak, semoga mereka selalu di limpahkan Rahmat dari yang Maha Kuasa," ucap istrinya.
Pria itu mengangguk, kemudian mengaminkan ucapan istrinya. Orang baik seperti mereka di zaman sekarang sangat sulit di temukan.
Sementara mobil Dexter dan mobil Alaric sudah melaju di jalanan. Mereka ngebut saat jalan terlihat lenggang.
Namun saat di keramaian, mereka pun mengurangi kecepatannya agar tidak terjadi kecelakaan.
Setibanya di lampu merah, mereka berpisah karena arah tujuan berbeda. Sementara Alaric dan adik-adiknya kembali ke rumah opa nya.
"Baru pulang? Bagaimana? Sudah ketemu rumahnya?" tanya Carlina saat mereka tiba di rumah.
"Sudah Oma, mulai besok aku akan pindah," jawab Alaric.
"Kamu yakin? Kenapa tidak tinggal di sini saja?" tanya Arthur.
"Tidak Opa, nanti aku sesekali akan berkunjung ke sini," jawab Alaric.
Sementara Alderich dan Alberich langsung pamit ke kamar. Mereka ingin mandi, karena setelah membersihkan rumah, mereka belum mandi sama sekali.
Sofia menghampiri Alaric. Wajahnya terlihat sedih karena putranya tetap dengan keputusannya.
"Bunda jangan sedih, masih ada ayah dan adik-adik," kata Alaric.
"Sudahlah sayang, biarkan dia ingin hidup bebas di luar sana. Dia pasti punya alasan tersendiri," kata Carlos.
Sofia mengangguk. Kemudian meminta Alaric untuk istirahat. Namun Alaric bukannya istirahat, dia malah langsung ke belakang rumah.
"Paman penjaga, tolong buka pintu kandang," pinta Alaric.
"Baik Pangeran," ujar penjaga.
Baru saja pintu kandang di buka, hewan-hewan peliharaan Carlos langsung berlari keluar.
Hewan-hewan itu menghampiri Alaric dan mengelilingi nya. Mereka duduk sambil mengibaskan ekornya masing-masing seolah ingin di manja.
"Besok aku mau pindah, kalian jangan nakal," kata Alaric seolah berbicara pada manusia.
Hewan-hewan itu malah mengaum keras. Suaranya membuat nyali pelayan menciut. Padahal mereka ada di dalam rumah, tapi tetap saja mereka tidak berani.
Hewan-hewan itu minta di elus. Alaric yang mengerti pun segera mengelus kepala mereka satu persatu.