Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8. Gosip Baru
Angin pagi di kota tepi laut itu membawa aroma asin dari ombak yang bergulung tak jauh dari lokasi syuting. Aldrich berjalan santai di sepanjang area hotel tempat para kru menginap, dengan Allen setia mengikuti di belakangnya sambil membawa map berisi jadwal dan naskah.
Sudah dua hari mereka berada di sana untuk syuting film baru Aldrich. Dan dalam dua hari itu pula, semua orang di lokasi mulai memperhatikan betapa berbeda perlakuan sang aktor senior terhadap asistennya yang baru.
Aldrich, yang biasanya tertutup dan menjaga jarak, kini tampak lebih hangat, membiarkan Allen ikut duduk bersamanya saat makan, bahkan sesekali bercanda ringan. Sesuatu yang jarang ia lakukan.
Di mata kru, pemandangan itu seperti anomali. Di mata wartawan gosip yang selalu lapar akan cerita sensasional, itu adalah amunisi emas.
Beberapa kamera ponsel mencuri gambar: Aldrich berjalan berdampingan dengan Allen, menepuk bahunya dengan akrab, bahkan sempat menunduk memperbaiki kerah kemeja asistennya di depan publik.
Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, foto-foto itu tersebar di berbagai portal hiburan.
“Aktor Senior Aldrich Hugo Punya Asisten Spesial?”
“Chemistry di Luar Nalar, Fans Pertanyakan Kedekatan Aldrich dan Pria Muda Ini.”
Judul-judul seperti itu menghiasi beranda media sosial.
Ketika berita itu sampai ke telinga Aldrich, ia hanya menatap layar tablet-nya beberapa detik, lalu menaruhnya kembali di meja.
“Seperti biasa,” katanya datar. “Gosip lama dengan wajah baru.”
Allen, yang baru saja membawakannya kopi, hampir menjatuhkan cangkir.
“Mas… aku gak tahu kenapa orang bisa berpikir sejauh itu. Aku-aku minta maaf kalo... ”
Aldrich mengangkat tangan, menghentikan ucapannya.
“Gak perlu minta maaf untuk sesuatu yang gak kamu lakukan, Allen.”
“Tapi itu mencoreng nama Mas Aldrich,” balas Allen cemas. “Apalagi mereka menulis seolah... ”
“Bahwa aku menyukai laki-laki?” Aldrich menyelesaikan kalimatnya sendiri, lalu tersenyum samar. “Itu bukan pertama kalinya.”
Allen tertegun. “Maksud Mas…?”
Aldrich menatap jendela, membiarkan cahaya matahari menyinari wajahnya yang tampak jauh lebih tenang daripada yang seharusnya.
“Sejak dulu, media suka membuat cerita sendiri. Waktu aku gak punya pasangan, mereka bilang aku pria kesepian. Saat aku terlalu dekat dengan lawan main, mereka bilang aku playboy. Dan ketika aku bersikap baik pada seorang asisten, mereka bilang aku... ” ia mengangkat bahu ringan, “... berbeda orientasi.”
Nada suaranya ringan, tapi Allen bisa merasakan ada sesuatu di baliknya, kelelahan, semacam luka yang tidak diakui.
Allen duduk perlahan di kursi seberang. “Emang Mas gak merasa kesal atau bahkan… marah?”
Aldrich menatapnya lama sebelum menjawab.
“Kesal mungkin iya, sebentar. Dan marah hanya memberi mereka kekuatan. Aku udah terlalu lama hidup di dunia di mana kebenaran tidak penting selama cerita mereka laku.”
Allen menunduk, merasa bersalah tanpa tahu kenapa.
“Aku seharusnya gak membuat situasi ini lebih sulit.”
“Kamu gak buat apa pun jadi sulit kok.” Aldrich berdiri, berjalan mendekat. Ia menepuk bahu Allen dengan lembut. “Aku memilih kamu ikut ke luar kota karena aku percaya sama kamu. Dan aku gak akan membiarkan omongan orang merusak hal yang baru mulai terasa… nyaman.”
Allen menatapnya, bingung antara tersentuh dan gugup.
“Mas…”
Aldrich tersenyum kecil, tapi kali ini tatapan matanya dalam dan hangat. “Santai aja, Allen. Dunia luar boleh aja berisik. Yang penting, di sini tetap tenang.”
Di luar, kamera-kamera masih mencari momen berikutnya. Tapi di ruang itu, hanya ada dua orang, seorang aktor yang mulai membuka diri lagi pada dunia, dan seorang perempuan dalam penyamaran yang mulai kehilangan batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata.
*
Hari itu, lokasi syuting tampak lengang selepas makan siang. Kru tengah beristirahat, dan Aldrich memilih berdiam di ruang make-up sambil menatap naskah di tangannya. Lampu kuning di meja rias memantulkan bayangan wajahnya yang tenang, tapi menyimpan lelah yang sulit disembunyikan.
Pintu ruang make-up diketuk pelan.
“Masuk aja,” katanya tanpa menoleh.
Suara lembut menyusul. “Aku gak mau ganggu, tapi aku pikir… kamu perlu ini biar seger terus.”
Aldrich menatap lewat cermin. Di sana berdiri Meilin, lawan mainnya dalam film itu, cantik, anggun, dengan aura bintang yang tetap memancar bahkan tanpa make-up. Di tangannya ada wadah transparan berisi potongan buah segar dan sekantong kecil camilan.
Aroma manis melon dan semangka memenuhi ruangan saat ia meletakkannya di meja.
“Buah potong,” ujarnya dengan senyum ragu. “Aku denger dari kru, ini kesukaan kamu sejak dulu.”
Aldrich meletakkan naskah, lalu menatapnya sekilas. “Terima kasih, Meilin. Kamu repot-repot banget.”
“Gak repot kok. Aku cuma pikir… kamu kelihatan capek akhir-akhir ini. Syutingnya berat ya?”
Aldrich mengangguk pelan. “Sedikit. Tapi aku udah terbiasa.”
Hening sejenak. Meilin menatap Aldrich, berharap sedikit percakapan lebih hangat. Tapi yang didapatnya hanya jawaban singkat dan tatapan datar yang sukar dibaca.
Ia memberanikan diri duduk di kursi seberang. “Kamu tahu gak, dulu waktu aku baru debut, aku sering nonton film-film kamu. Bahkan aku hafal dialog kamu di Sampai Akhir Senja.”
Aldrich tersenyum tipis, tanpa benar-benar menatapnya. “Film yang udah lama banget.”
“Lama, tapi bagus. Kamu tahu gak, banyak aktor generasi baru yang bilang ingin bisa sedewasa dan se-tenang kamu.”
Aldrich menatap cermin lagi, lalu menghela napas. “Tenang bukan berarti bahagia, Meilin.”
Kata-kata itu membuat Meilin terdiam. Ia menatapnya dalam diam, wajah pria yang mungkin dulu ia kagumi, kini terasa begitu jauh, dingin, dan sulit dijangkau.
“Aku cuma mau kamu tahu,” ucapnya pelan, “banyak orang di sini peduli sama kamu. Termasuk aku.”
Aldrich akhirnya menatapnya langsung. Ada sesuatu di mata Meilin, ketulusan, tapi juga harapan yang ia tahu tidak bisa dibalas.
“Terima kasih,” katanya pelan, tulus tapi tetap datar. “Kamu baik banget.”
Meilin memaksakan senyum, tapi matanya mulai memerah. “Cuma itu aja? Gak ada sedikit pun... apresiasi yang lebih personal, gitu?”
Aldrich menunduk sebentar, lalu menatapnya dengan lembut, bukan karena rasa, tapi karena empati.
“Meilin, jangan salah paham. Aku menghargai perhatian kamu. Tapi aku... bukan orang yang bisa membalasnya seperti dulu.”
“Seperti dulu?” ulang Meilin, lirih. “Maksud kamu kayak waktu kamu masih mencintai seseorang di masalalu, ya?”
Aldrich tak menjawab. Tapi keheningan itu cukup memberi jawaban.
Meilin mengangguk pelan. “Ayumi, kan?”
Aldrich terdiam lebih lama kali ini. Matanya beralih ke wadah buah yang belum tersentuh.
“Media selalu pandai mengingatkan kita pada hal-hal yang sudah seharusnya dilupakan.”
Meilin menelan ludah. “Tapi kamu belum benar-benar melupakannya, ya?”
“Melupakan itu mudah,” ucap Aldrich, lirih. “Yang sulit adalah berhenti berharap bisa memutar waktu.”
Kalimat itu menggantung di udara, menembus dada Meilin yang mulai terasa perih. Ia berdiri, berusaha menjaga harga diri yang mulai retak.
“Kalo gitu,” katanya dengan senyum getir, “nikmatilah buahnya. Aku harap, setidaknya itu bisa sedikit manis hari ini.”
Ia berbalik meninggalkan ruangan, menyembunyikan air mata yang mulai jatuh.
Aldrich menatap punggungnya menjauh, lalu menatap buah potong di meja. Tangannya terulur, mengambil sepotong melon, tapi ia tidak langsung memakannya. Ia hanya menatap warna kuning lembut itu lama-lama, seolah mencari sesuatu yang hilang.
Di luar, Allen sempat melihat Meilin keluar dengan wajah menunduk, dan tatapan khawatirnya beralih ke Aldrich yang tetap diam di dalam ruangan.
Ia tahu, ada luka lama yang baru saja disentuh lagi.
"Ada apa, Mas?" Tanya Allen begitu perhatian.
.
YuKa/ 081025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍