Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Menghindar
Setelah kepergian Rania, Bumi berdiam diri selama beberapa menit. Ia menangis dan mulai menenangkan diri agar tidak terlihat berantakan saat bertemu Ambar nanti. Bukan apa, ia hanya tidak mau berbicara banyak dengan perempuan itu, apalagi harus mencari alasan.
Menarik napas, kemudian dihembuskan secara perlahan. Bumi merasa lebih baik sekarang. Maka dari itu, ia mulai masuk ke pekarangan rumah dan mengunci gerbang sebelum masuk ke dalam rumah.
"Nak Bumi."
Bumi yang baru saja selesai mengunci pintu utama, bergerak memutar tubuh ke arah sumber suara. Lantas berusaha melempar senyuman begitu berhadapan dengan ibu mertuanya, meski terlihat sangat amat terpaksa.
"Ibu? Belum tidur?" Menyapa lebih dulu.
Mina menggelengkan kepala dibarengi dengan senyuman tipis. "Katanya tadi ingin mengambil barang dirumah, tapi dimana barangnya? Ibu tidak melihatnya," Melirik ke-dua sisi tangan Bumi yang terlihat kosong.
Bumi mengikuti arah pandang ibu mertuanya, menatap tangan kanan-kiri bergantian, lalu kembali menatap wajah Mina.
"Saya menaruhnya dimobil," Sebelum Mina kembali bertanya, Bumi lebih dulu menyela. "Kalau begitu, saya pamit untuk istirahat. Selamat malam."
Bola mata Mina bergulir mengikuti pergerakan Bumi yang mulai menjauh dan berakhir tidak terlihat lagi. Sebetulnya, Mina sudah sejak tadi ada disana, mendengar semua pembicaraan Bumi dan Rania dari awal sampai akhir meski hanya sayup-sayup.
Tetesan likuid bening mengalir melewati pipi yang mulai berkerut karena faktor usia. Dirasa tak kuat menahan bobot tubuhnya sendiri, Mina memutuskan untuk duduk disofa.
"Kenapa anak-anakku menjadi seperti ini?"
...----------------...
"Aku tidak mau pindah, aku ingin tetap tinggal disini bersama ayah dan ibu."
Bumi memijat pangkal hidungnya. Merasa sangat frustasi dengan ucapan sang istri, yang tak lain dan tidak bukan adalah Ambar.
Pagi hari saat sarapan, Bumi memulai topik tentang niatnya membawa Ambar pindah ke rumah yang sudah ia siapkan. Tentu saja berbeda dengan rumah yang akan dia tinggali bersama Rania, Bumi menyiapkan bangunan lain untuk Ambar. Meski tidak semewah rumah pertama, setidaknya rumah kali ini akan nyaman jika dihuni.
"Kita harus pindah dari sini," Kata Bumi lagi.
Bukan tanpa alasan Bumi mengajak Ambar pindah dari rumah ini, tentu alasan utamanya adalah Rania. Tinggal dibawah atap yang sama hanya akan menyakiti satu sama lain, dan yang pasti, Bumi ingin membuat Rania merasa nyaman dirumahnya sendiri.
Tapi semua rencananya dipersulit oleh Ambar yang tidak mau pindah. Entah apa yang ada dipikiran perempuan itu, apa ia tidak merasa bersalah pada kakaknya sendiri?
"Sudah aku bilang, aku tidak mau pindah! Aku tidak bisa jauh-jauh dari ayah dan ibu."
"Setidaknya pikirkan kakakmu. Apa kamu masih punya muka bertemu dengannya?"
"Benar kata Bumi, kamu harus pindah dari sini, Ambar."
Mendengar hal itu, Ambar menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. "Ibu mengusirku? Ibu tidak menyayangiku lagi?"
"Bukan seperti itu. Tapi kamu sudah menikah, dan sudah seharusnya ikut kemanapun suamimu pergi karena kamu adalah tanggung jawabnya."
Ibu sudah tidak bisa diharapkan lagi! Batin Ambar. Kini, ia beralih menatap sang ayah yang sedang menyantap makanan dengan tenang.
"Apa ayah juga akan mengusirku?"
"Tidak ada yang mengusir mu, nak. Tapi benar kata Bumi dan ibu, kamu harus pergi. Hargai perasaan kakakmu, dan hormati keputusan suamimu."
"Kenapa kalian semua terus memikirkan perasaan mbak Rania? Apa kalian tidak memikirkan perasaanku? Aku sedang hamil, loh! Tidak boleh banyak pikiran."
Helaan napas panjang terdengar dari kubu Bumi. Ia menunduk menatap sendok yang bergerak acak diatas nasi. "Jika kamu merasa tertekan, lebih baik tidak usah menjadi istriku."
Tidak hanya Ambar yang merasa terkejut, tapi Anton dan Mina pun merasakan hal sama. Mereka tak menyangka Bumi berani menggertak Ambar dihadapan ke-dua orang tuanya langsung.
Anton berdehem dan meletakkan sendok. "Ambar, dengarkan saja suamimu, menurut saja pada keputusan yang diambil oleh nak Bumi."
Sebetulnya Anton tahu bahwa putri bungsunya tidak suka kalau Anton memihak pada Bumi. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Anton merasa tak enak pada Bumi. Mau menikah dengan Ambar dan bertanggung jawab saja sudah syukur.
Suara gesekan kaki kursi dan lantai terdengar, mengundang beberapa pasang mata mengamati pergerakan Mina.
"Ibu ingin memanggil Rania dulu, dia belum turun dari tadi."
Tanpa menunggu jawaban, Mina melenggang pergi dari ruang makan. Namun tidak sampai lima menit, Mina sudah kembali ke ruang makan. Sendirian. Yang katanya ingin memanggil Rania, nyatanya sang empu tidak terseret sampai ruang makan.
"Loh, Bu? Dimana Rania?"
Menghembuskan napas panjang. "Ibu sudah memanggil sampai tenggorokan ibu sakit, tapi tidak ada jawaban. Mungkin dia kelelahan kemarin dan masih tidur sekarang."
"Kelelahan? Bukankah dia tidak beraktivitas berat kemarin?"
Atas pertanyaan Anton, Mina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Spontan ia melirik ke arah Bumi yang masih fokus mengaduk-aduk makanan.
"Bu?"
"Ibu juga tidak tahu, yah. Tapi sepertinya dia ke rumah teman dan berkumpul disana sampai malam. Ya, mungkin. Rania tidak berpamitan pada ibu kemarin."
Sejujurnya Anton tidak percaya pada ucapan istrinya. Mina tergagap saat menjelaskan, mencuri-curi pandang ke arah lain saat berbicara. Tak biasanya Mina seperti ini saat membahas Rania.
Baru saja ingin bertanya lebih lanjut, untuk ke-dua kali suara gesekan kaki kursi dan lantai terdengar. Kali ini Bumi adalah pelakunya.
Bumi berlagak melirik arloji yang melingkar ditangan kanannya. "Saya akan menjadi orang pertama yang pergi dari sini. Jadi, saya harus berangkat sekarang, takut telat. Permisi," Bumi lekas membawa langkahnya menjauh dan berakhir tidak terlihat.
Sebetulnya Bumi sudah mengambil cuti selama beberapa hari, yang niatnya akan mengisi waktu cuti tersebut bersama Rania disalah satu tempat wisata yang sudah mereka pesan dari jauh-jauh hari. Tapi nasib dan kenyataan tidak sesuai harapan.
Jadi, untuk mengisi cuti dihari pertama, Bumi memutuskan untuk pergi ke suatu tempat bersama teman-temannya. Ya, setidaknya ia masih punya teman yang masih mau menemaninya.
Tepat setelah menutup pintu mobil bagian kemudi, dering notifikasi pesan masuk terdengar. Bumi segera mengambil ponsel dari saku celana dan membuka ruang pesan.
Tapi sebelum membuka ruang pesan grub, Bumi salah fokus pada nomor Rania yang masih ia sempatkan paling atas. Tadinya foto profil pesan diisi dengan foto lucu mereka berdua, sekarang sudah tidak ada lagi. Rania tidak memasang foto pada profil nya.
[Sandy: Dimana orang yang katanya ingin ditemani? Kita sudah berkumpul dirumah Gio.]
[Gio: Ya! Cepat datang karena mereka semua terus memakan cemilan istriku! Pasti aku akan dimarahi istriku saat pulang liburan nanti.]
[Bumi: Aku akan segera sampai, siapkan barang-barang yang perlu dibawa.]
[Kai: CEPAT!]
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....