Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intrik dan Sorotan
Lampu-lampu kristal menghiasi jalan menuju mansion keluarga Valens, berderet hingga ke pintu utama. Musik pesta terdengar riuh bahkan dari luar, bercampur dengan tawa dan percakapan para bangsawan. Malam itu bukan sekadar perayaan, pesta keluarga Valens dikenal sebagai ajang bergengsi di mana posisi sosial diuji, sekutu dipamerkan, dan rahasia-rahasia terselubung kerap terungkap di balik senyum anggun para undangan.
Elena berdiri sejenak di ambang pintu, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali. Baginya, setiap langkah akan menjadi ujian, dan ia tahu, satu kesalahan kecil dapat menjadi bahan bisikan sepanjang musim.
“Duchess Elena Ivor Carwyn memasuki aula pesta!” suara lantang penjaga pintu menggema, seketika meredam riuh.
Tak… tak…
Langkah-langkah Elena bergema di lantai marmer putih aula yang luas. Semua kepala berbalik, seolah satu tubuh dengan mata yang sama, menatapnya lekat-lekat.
Sejenak, keheningan menjerat ruangan itu. Tatapan para bangsawan terhenti bukan pada gaun indahnya, melainkan pada kilauan yang tersemat di lehernya.
Kalung safir biru itu, kalung yang sarat dengan sejarah dan simbol kekuasaan keluarga Carwyn.
“Bukankah itu… kalung mendiang Duchess sebelumnya?” bisik seorang wanita dengan wajah terkejut.
“Bagaimana bisa dia… memakainya?” gumam seorang pria setengah berbisik, penuh kecurigaan.
“Apakah dia mencurinya? Atau… memaksakan dirinya agar diakui sebagai Duchess?” suara lain muncul, tajam menusuk udara.
Bisik-bisik itu menyebar cepat, bagai riak yang membesar di danau tenang. Elena tetap melangkah, meski setiap kata yang terlontar dari bibir para bangsawan terasa menusuk ke kulitnya.
...
Segerombolan bangsawan segera mengerubungi Elena, tatapan mereka penuh selidik, pertanyaan-pertanyaan deras menghujani dari segala arah.
“Dari mana kau mendapatkan kalung itu?”
“Itu benar-benar kalung mendiang Duchess, bukan?”
“Apakah Duke yang memberikannya padamu?”
Suara-suara berdesakan, semakin menekan. Elena berusaha menjaga wajahnya tetap tenang meski dadanya sesak. Kilasan kesadaran menyambar pikirannya kalung ini bukan sekadar perhiasan, melainkan simbol kedudukan resmi seorang Duchess Carwyn. Dan sekarang, semua mata menuntut jawabannya.
Tiba-tiba, seorang wanita melangkah maju. Langkahnya anggun, gaunnya berkilau, namun senyum yang melengkung di bibirnya penuh ejekan.
“Wah…” ucapnya lantang, suaranya sengaja dibuat jelas agar semua orang mendengar, “ini pertama kalinya aku melihat kalung safir mendiang Duchess Carwyn… secara langsung.”
Elena menoleh perlahan, sudut matanya terangkat menatap wanita itu. Ekspresinya yang semula tenang berubah matanya menyipit, sorotnya menusuk.
Wanita itu melanjutkan dengan nada menyeringai, “Sepertinya kalung itu… terasa berat, bukan? Katakanlah, apakah Duke sendiri yang memberikannya padamu?”
Kerumunan menahan napas.
Elena sempat menunduk, membiarkan jeda yang cukup lama hingga rasa tegang menggantung di udara. Lalu, perlahan ia mengangkat wajahnya, bibirnya melengkung tipis.
“Benar,” jawabnya tenang, namun suaranya cukup lantang hingga terdengar jelas. “Duke sendiri yang memberikannya padaku.”
Sejenak, aula seakan membeku.
Bisik-bisik kembali meledak.
“Tidak mungkin…”
“Dia mengatakannya dengan begitu yakin…”
“Apakah benar Duke mengakui dia sepenuhnya…?”
Wajah wanita itu menegang, senyumnya pudar seketika. “Itu… tidak mungkin,” ucapnya terbata, tatapannya goyah meski mencoba mempertahankan wibawa.
Tak…
Elena melangkah maju, setiap ketukan hak sepatunya bergema tajam, memotong riuh rendah pesta. Ia berhenti hanya selangkah di hadapan wanita itu, menundukkan sedikit wajahnya hingga sorot mata mereka bertemu.
“Tidak ada yang tidak mungkin,” ucap Elena dingin namun penuh keanggunan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang tajam. “Lagipula…” Elena menoleh singkat ke arah kerumunan, lalu kembali menatap wanita itu. “…dia kan suamiku. Bukan begitu, Lady Cecilia?”
Suara tawa kecil terdengar entah dari mana, menambah rasa canggung dan panas di udara. Lady Cecilia tercekat, wajahnya pucat namun tak mampu membalas. Sementara itu, bisik-bisik para tamu semakin menjadi, kali ini bukan hanya mempertanyakan Elena… tapi juga mulai meragukan Lady Cecilia yang baru saja dipermalukan di depan semua orang.
Segerombolan bangsawan yang tadi mengepung Elena perlahan bubar, meski bukan karena mereka puas. Bisikan-bisikan tetap mengikuti langkahnya, menusuk telinga lebih tajam daripada tatapan mereka.
“Tetap saja, dia datang sendirian.”
“Ucapannya belum tentu benar.”
“Kalung itu tidak akan mengubah kenyataan, Duke tidak mendampinginya.”
Setiap kata membuat langkah Elena terasa semakin berat. Ia berusaha menjaga wajahnya tetap tenang, tapi di dalam dada, rasa sepi merayap tak tertahankan. Myra tidak ada di sisinya. Dan itu, entah bagaimana, terasa menyakitkan.
Beberapa langkah lagi, ia sudah berdiri di hadapan Viscount Edmund Valens, pemimpin keluarga besar yang dihormati. Aula pesta seakan menahan napas; semua mata terpaku padanya, menunggu bagaimana Duchess Carwyn ini akan mempersembahkan dirinya.
Elena memegang sisi gaunnya dengan anggun, lalu menunduk dalam.
“Terima kasih telah berkenan mengundang saya, Viscount Edmund Valens.”
Pria tua itu hanya diam. Tatapannya tajam, menimbang lama, sementara Elena masih tetap menunduk. Waktu yang berlalu seolah diperlambat, membuat keringat dingin mengalir di punggungnya.
Seperti yang kuduga… sama seperti kehidupanku sebelumnya. Dia tidak menyukaiku. Berapa lama lagi aku harus terus menghadapi sikap ini?
Batin Elena getir.
Dari balik postur anggun para bangsawan, senyuman sinis dan tawa tertahan muncul, seakan menunggu ia tergelincir dalam rasa malu.
Akhirnya Edmund membuka mulut.
“Lalu, dimana Duke?” suaranya berat, tajam, seolah ujian.
Elena mengangkat wajahnya perlahan, mencoba menjawab dengan tenang meski hatinya berguncang.
“Ada sedikit urusan yang harus dia selesaikan”
...
Seolah sudah kehilangan minat, Edmund mengalihkan pandangannya dari Elena lalu bertepuk tangan singkat, memberi isyarat agar pesta dimulai.
Elena justru merasa lega. Ia tidak perlu lagi memaksakan percakapan yang kaku dengannya. Begitu alunan musik memenuhi aula, para pasangan bangsawan melangkah maju, memenuhi lantai dansa dengan gerakan anggun dan senyum yang penuh kepura-puraan.
“Dia hanya berdiam diri seperti itu?” bisik seorang wanita yang sedang berdansa sambil melirik ke arah Elena.
Memuakkan… Aku ingin segera keluar dari sini. Setidaknya aku butuh udara segar.
Batin Elena terasa getir, jemarinya mengepal ringan di sisi gaunnya.
Namun sebelum ia sempat melangkah, seorang pria menghadangnya.
Ia menunduk sopan, lalu mengulurkan tangan, senyum ramah terpampang di wajahnya. “Duchess, maukah Anda berdansa bersama saya?”
Berdansalah denganku. Aku akan memanfaatkan ini… Jika aku menari dengan Duchess Carwyn, semua orang akan membicarakannya. Namaku akan terkenal.
Senyumnya tampak hangat, namun niatnya bergetar jelas di balik tatapan penuh ambisi itu.
Sekeliling mereka mulai berbisik, mata-mata penasaran menunggu jawaban.
“Apakah dia akan menerimanya?”
“Terima saja, lebih baik daripada hanya berdiri sendiri.”
“Memalukan bila ia menolak.”
Elena menahan napas. Pandangan seluruh aula menekan ke arahnya, menunggu keputusan. Perlahan, ia mengangkat tangannya, seolah hendak menerima uluran pria itu.
Namun tepat sebelum jemarinya menyentuh tangan sang pria—
“Duke Mervyn Dieter Carwyn memasuki aula pesta!” teriak lantang penjaga, menggema hingga sudut-sudut ruangan.
Suasana pecah. Musik terhenti, langkah-langkah dansa terputus. Semua kepala serentak menoleh ke arah pintu utama.
Mervyn melangkah masuk dengan tenang, seolah kehadirannya memang ditakdirkan untuk mendominasi ruangan itu. Kemeja putih membalut tubuh tegapnya, kontras dengan jas biru tua yang menempel rapi, warnanya persis seperti langit malam. Setiap detail penampilannya memancarkan wibawa, dan yang paling mencolok pakaiannya selaras sempurna dengan gaun yang dikenakan Elena.
Riuh kagum dan bisikan tak percaya memenuhi aula pesta. Namun Elena sama sekali tak bergerak. Tangannya masih terangkat, hanya beberapa inci dari jemari pria asing yang menunggunya.
Di tengah hiruk pikuk itu, Mervyn menghentikan langkahnya. Tatapannya jatuh tepat pada Elena… lalu bergeser ke tangan yang hampir menyentuh tangan pria itu.