Kesempatan Kedua Sang Duchess
"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke."
Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon.
Begitulah... Elena Ivor Carwyn
....
Pesta di kediaman Marquess Bernard.
"Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether."
"Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan."
"Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar."
Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan lelaki.
Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang. Tertata. Mengintimidasi.
Mervyn Dieter Carwyn.
Di sisi lain, para wanita bangsawan berkumpul.
"Pria luar biasa yang tahun lalu menjadi rebutan para keluarga bangsawan... siapa sangka, keluarga Boniface yang berhasil mendapatkannya," bisik salah satu wanita dengan senyum menyeringai.
"Benar, keluarga Baron Boniface yang nyaris bangkrut, justru menikahkan putrinya dengan Duke Carwyn. Bukankah itu menjadi berita utama kerajaan waktu itu?"disambut tawa ringan.
"Waktu itu? Sampai sekarang pun masih ramai dibicarakan... Bukankah begitu, Duchess?" Ucapan itu ditekan, dengan mata menusuk dan senyum menghakimi.
Semua kepala menoleh. Mata mereka kini menatap Elena.
Elena menunduk, jemarinya saling menggenggam gugup. Wajahnya pucat. Tak ada sepatah kata pun terucap.
"Aku bahkan dimarahi ayahku karena gagal mendekati Duke Carwyn kala itu,"- keluh seorang wanita.
"Tapi apa boleh buat... keputusan Duke Carwyn saat itu sungguh mengejutkan. Apalagi soal tunangannya yang dulu, Lady A-"
"Saya... mohon izin undur diri. Sepertinya... saya ti-tidak enak badan," Elena berdiri tergesa-gesa, membungkuk sedikit, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan.
Tawa pelan terdengar.
"A-a-a... dia melarikan diri lagi."
Tawa itu pecah lebih jelas.
Mereka tertawa bukan karena lucu. Mereka tertawa karena kemenangan. Sekali lagi, Elena Carwyn Duchees boneka berjalan pergi dengan kepala tertunduk.
Dan Elena mendengarnya.
Dengan jelas.
Elena melangkah cepat keluar aula, mencengkeram gaunnya, suara sepatunya terdengar jelas di lantai marmer.
Taman kediaman Marquess Bernard terasa begitu sunyi berbeda dengan aula pesta yang begitu bising. Mungkin ini memang tempatku seharusnya, pikirnya.
Ia duduk di bangku taman, melepas sepatu hak tingginya. Kakinya bengkak. Saat membungkuk untuk memeriksanya, tetesan air jatuh. Itu air matanya.
"Meski kalian tak mengatakannya, aku juga tau. Aku tahu aku tidak cocok dengannya," gumam Elena, menyeka air matanya perlahan.
"Kamu juga pasti berpikir begitu, kan, Mervyn..." Suaranya terdengar lemah.
"Jika tidak, tak mungkin kamu mengabaikanku selama ini," Ucap Elena sedih.
Srak...
Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak.
"Siapa di sana?" seru Elena cepat, menoleh ke arah asal suara.
Dari kegelapan, sosok berpakaian hitam muncul. Wajahnya tertutup kain, pedang tergenggam erat di tangannya.
....
Sementara itu, di aula pesta...
Riuh... riuh...
Mervyn melirik ke arah tempat para wanita berkumpul. Ekspresinya berubah, terkejut dan cemas. Ia segara memanggil seorang pelayan.
"Di mana istriku?" tanyanya tegas.
Pelayan itu membungkuk sedikit dan menjawab cepat, "Tadi saya melihat Duchess berjalan keluar dengan tergesa-gesa."
Mendengar itu, wajah Mervyn semakin cemas. Ia bergegas keluar dari aula sambil memanggil para kesatria.
"Temukan Duchess!" perintahnya tegas.
Semua mata tertuju pada sang Duke yang kini tampak diliputi kegelisahan.
"Aakkkhhh.....!"
Teriakan itu terdengar sangat kencang.
Sang Duke yang mendengarnya langsung berlari cepat menuju arah datangnya suara. Para tamu di pesta pun tampak terkejut dan ikut menyusul ke sumber suara tersebut.
Seorang wanita terduduk di tanah. Wanita itu perlahan memundurkan tubuhnya, matanya membelalak, tangannya gemetar tak terkendali.
Di hadapannya. Seorang wanita lain tergeletak bersimbah darah, membasahi gaun mewah yang semula tampak indah. Salah satu sepatu berhak tinggi yang berkilau terlepas dan ikut berlumur darah.
Gaun itu... sepatu itu... semuanya terasa sangat familiar bagi Mervyn.
"Tidak... tidak... kumohon... bukan dia," gumamnya dengan suara parau.
Dadanya sesak, napasnya tercekat, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ia melangkah mendekat, tertatih dan kehilangan keseimbangan.
Ketika wajah wanita itu terlihat jelas di hadapannya, dunia Mervyn runtuh. Ia berlari, lalu berlutut dan mendekap tubuh yang bersimbah darah itu, wanita yang tadi ia mohon bukanlah dirinya.
Sang Duchess kini terbaring di pelukannya, diam.... bersimbah darah.
Para tamu berdatangan. Beberapa berteriak histeris, yang lain membeku. Tuan rumah pesta pun tampak tak kalah terkejut oleh pemandangan yang tersaji di hadapannya.
Dengan tangan yang gemetar, Mervyn menyentuh wajah Elena. Dingin. Tak ada respon.
"Dokter... panggil dokter! Cepat!" perintahnya keras, nadanya tercampur antara panik dan tak percaya.
Marquess Bernard segera menyuruh kepala pelayan memanggil tabib pribadi keluarga.
Tak butuh waktu lama, sang dokter tiba dan langsung memeriksa tubuh sang Duchess.
Setelah beberapa saat, ia diam. Matanya terpejam, lalu ia menggeleng perlahan.
Mervyn mengguncang tubuh Elena, seolah mencoba mengembalikannya. Napasnya tersenggal. Emosinya meledak. Ia marah. Ia hancur.
"Panggil kereta kuda, sekarang. Aku tidak percaya ini... panggil Alwen. Dia harus sudah bersiap sebelum aku tiba," ucap Mervyn tajam.
Dengan penuh kehati-hatian, ia mengangkat tubuh Elena dalam pelukannya. Mervyn berdiri, matanya menatap lurus ke depan. Ia berjalan tanpa berkata apa pun, tanpa menoleh ke belakang, membawa Elena yang tak lagi bernyawa di pelukannya.
"Perintahkan seluruh kesatria di Ducy untuk menyelidiki. Sisanya yang ada di sini, mulai lakukan pencarian sekarang juga. Jangan biarkan satu pun detail terlewat," ucapnya dingin, tanpa emosi.
Ketegasannya membuat para kesatria bergidik. Tanpa berani membantah, mereka langsung bergerak.
Marquess Bernard bergegas menyusul dan berkata,
"Duke, kami pun akan membantu penyelidikan."
Tak ada jawaban.
Kereta kuda itu melaju, meninggalkan kediaman Marquess dalam keheningan yang mencekam.
Di dalam kereta kuda...
"E-eh, itu kan... tubuhku? Kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?"
Elena mengangkat kedua tangannya dan membolak-baliknya.
"Kenapa tanganku tembus pandang...?"
Ia terdiam sejenak.
"Begitu, ya... aku sudah mati."
Elena termenung sedih. Tatapannya tertuju pada tubuhnya sendiri yang terbaring di pangkuan sang suami.
"Mervyn... kenapa kamu terlihat begitu sedih? Bukankah kamu tidak pernah mempedulikanku?" ucap Elena lirih, suaranya lembut namun terasa pedih.
Mervyn menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong. Namun tangannya tetap menggenggam tubuh Elena erat. Air mata mulai mengalir dari matanya.
Tangis Mervyn pecah. Elena refleks berdiri dan menghampirinya. Ia ingin menyeka air mata itu, namun...
Tangannya menembus wajah Mervyn.
"Kenapa kamu menangis seperti ini...? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentangku? Berhentilah menangis... kumohon..." ucap Elena sambil terus mencoba menyentuh wajah pria itu.
Air mata Elena mengalir... ia memeluk Mervyn meskipun tahu sentuhannya tak akan pernah bisa sampai.
Tubuhnya perlahan memudar... dan mulai menghilang.
Aakkhh...
Elena tersentak bangun, napasnya memburu, air mata masih menggenang di pelupuk matanya....
Dia hidup kembali.
Tidak, ia mengulang kehidupan itu sekali lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments